Di Balik Kabinet Gendut

Di Balik Kabinet Gendut


banner 800x800

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Radhar Tribaskoro

Hajinews.co.id – Kabarnya Prabowo sedang menyiapkan kabinet gendut. Ia mau merangkul semua kekuatan, dari presiden pertama sampai ketujuh. Ia mengakomodasi semua partai, semua kelompok politik di Indonesia. Ia ingin pemerintahannya mewakili seluruh kelompok kepentingan di Nusantara. Seperti yang selalu ia dengungkan dalam kampanye pilpresnya: All In.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kabinet gendut Prabowo dapat dilihat sebagai pengulangan atas kabinet Jokowi II (2019-2024). Kabinet itu itu menyerap 7 dari 9 partai politik lolos parlemen. Hanya partai PKS dan Demokrat berada di luar pemerintahan. Jokowi bahkan menyerap Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo Subianto yang dua kali bersaing melawan dirinya pada Pilpres 2014 dan 2019.

Apa sebetulnya yang dikehendaki Prabowo dari kabinet gendutnya itu.

Menurut saya ada sedikitnya ada 4 narasi yang dipompakan untuk membenarkan keinginannya itu. Berikut ini akan saya uraikan keempat narasi itu dan menunjukkan kekeliruannya.

Narasi Pemerintahan Majoritas, Siapa Butuh?

Secara objektif narasi kabinet gendut (all in, persatuan, stabilitas politik, rekonsiliasi) dipergunakan untuk menutupi kenyataan bahwa partai pendukung Prabowo-Gibran di parlemen adalah minoritas. Keempat partai pendukung Prabowo-Gibran (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat) hanya mengumpulkan 280 kursi atau 48,3%. Sementara 4 partai lain yang mengusung Anies-Muhaimain (Nasdem, PKB, PKS) dan Ganjar-Mahfud (PDIP) mengumpulkan tidak kurang dari 300 kursi atau 51,7%. Pemenang pillres itu ternyata hanya memiliki kekuatan minoritas di parlemen.

Kenyataan objektif itu, mau tidak mau, mendorong Prabowo untuk memperoleh dukungan dari partai politik yang melawannya dalam Pilpres 2024. Ia butuh setidaknya 1 partai tambahan untuk membentuk pemerintahan majoritas. Dengan kata lain kebutuhan untuk memperoleh dukungan partai baru berasal dari kubu Prabowo sendiri.

Oleh karena itu publik jangan terombang-ambing oleh isu yang didengungkan oleh Prabowo bahwa Indonesia butuh persatuan nasional. Kebutuhan itu ada pada Prabowo sendiri. Lebih tidak penting lagi adalah isu “Indonesia sedang krisis politik sehingga membutuhkan rekonsiliasi nasional” yang dihembuskan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Maruarar Sirait. Ketua MPR itu sepertinya sedang membangun peran politiknya pada kabinet mendatang, ia ingin menjadi mak comblang bagi kubu politik yang ingin bergabung dengan pemerintahan.

Narasi Kestabilan Politik, Ilusi?

Narasi kedua adalah pentingnya kestabilan politik. Menurut narasi ini, setiap presiden, tidak terkecuali Prabowo, menginginkan pemerintahan yang stabil. Kestabilan politik adalah kondisi yang dibutuhkan oleh setiap pemerintahan untuk bekerja secara efektif tanpa gangguan yang signifikan, seperti kekerasan politik, kerusuhan besar, atau pergantian pemerintahan yang sering dan tidak teratur.

Berkaitan dengan itu perlu ditegaskan bahwa ada kestabilan politik yang positif, dan ada pula yang negatif. Kestabilan politik positif ditandai oleh adanya pemerintahan yang konsisten, kebijakan yang predictable , dan ketiadaan konflik politik yang parah atau krisis internal yang mengancam keberlangsungan operasional negara. Sementara kestabilan politik negatif adalah semata kelangengan kekuasaan, dan untuk itu segala hal boleh dilakukan.

Pertanyaannya: apakah kestabilan politik mempersyaratkan kabinet gendut?

Dari pengalaman Kabinet Jokowi I dan II, ternyata kestabilan itu relatif. Memang Jokowi tidak digulingkan, kabinet utuh, sementara partai politik dan DPR memilih bungkam. Dalam situasi ini Jokowi mungkin menganggap kekuasaannya bertahan, namun di luar pemerintahan media sosial bergejolak dan jalanan dipenuhi oleh demonstrasi.

Oposisi Rakyat bertumbuh dan berkembang dengan pesat. Kekuatan Oposisi Rakyat setidaknya adalah 42% orang yang tidak memilih Prabowo. Mereka adalah orang yang tidak tergiur oleh iming-iming Jokowi, tidak terpikat oleh Bansos dan tidak percaya pada “kegemilangan kinerja” Jokowi. Terdapat lebih 60 juta orang yang marah oleh nepotisme presiden dan kemunduran demokrasi yang parah.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *