SBY pun langsung turun tangan dan menggelar juga konferensi pers atas nama dirinya sebagai Ketua Majelis tinggi PD. Dengan tampilan yang kalem namun mendidih menahan geram yang terpendam, membeberkan sejumlah butir yang termaktub dalam AD/ART Partai Demokrat, untuk menguatkan bukti kepada publik bahwa KLB Partai Demokrat versi Moeldoko, cacat hukum dan liar. SBY pun mengungkapkan penyesalannya yang telah memberi kepercayaan kepada Moeldoko untuk menjabat sebagai Panglima TNI semasa dirinya menjabat sebagai Presiden.
Penyesalan SBY ini terdengar memilukan dan sangat melo saat dirinya meminta maaf kepada rakyat pendukungnya dan juga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesalahan dirinya memberi kepercayaan kepada Moeldoko sebagai Panglima TNI. Kepada publik SBY ingin menyampaikan betapa seorang Moeldoko adalah manusia tanpa rasa terima kasih dan tega menusuk mantan bos yang juga seniornya di Angkatan Darat, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tapi yang menguntungkan Moeldoko, publik politik justru teringat kembali bagaimana Megawati melontarkan hal yang sama, rasa sakit ditusuk dari belakang oleh SBY yang saat itu menjabat sebagai Menko Polkam-nya.Di sisi lain, dengan cara yang sangat politis dan santun, berkali SBY menyatakan keyakinannya bahwa Jokowi tak mungkin mau mendukung perbuatan tak terpuji ini. Namun lewat penegasan SBY bahwa sampai saat ini Moeldoko masih menjabat sebagai Kastaf Presiden Jokowi, maka secara tidak langsung meyakini bahwa Jokowi mengetahui semua ini. Logika politik dan dari sisi budaya kekuasaan ala istana pun, sangat menggiring munculnya kesimpulan; apa iya orang di sirkel satunya bergerak begitu jauh memasuki medan pertempuran yang nilai politiknya sangat besar dan sensitif, Pak Presiden tidak tahu? Masa menghadiri KLB nyelonong begitu saja? Tanpa minta izin dan restu terlebih dahulu?
Tudingan keras bahwa Jokowi berada di balik manuver politik Moeldoko menggusur AHY ini bukan tanpa alasan dan latar belakang yang tak jelas. Bagaimana sentilan SBY terhadap kinerja Jokowi yang sering dilontarkan secara santun, halus, tapi sangat ‘nyelekit’ bagi telinga orang Solo, menjadi juga alasan yang memperkuat. Karena sebagai orang Solo yang juga santun, tidak mungkin meladeni sentilan SBY ini dengan melakukan ‘head on’, saling berhadapan secara terbuka. Maka membiarkan Moeldoko melakukan manuver politik yang membuat SBY terhenyak karena ditelikung mantan anak buahnya, bukan tidak mungkin merupakan pesan terselubung dari Jokowi menjawab nyinyiran SBY selama ini. Setidaknya nyinyiran SBY dijawab dengan langkah yang menyudahi predikat SBY sebagai sang pakar ahli strategis politik paling handal.
Untuk jawabannya bisa dibaca lewat bagaimana selanjutnya sikap Jokowi dalam proses politik penetapan Partai Demokrat versi mana yang paling berhak secara hukum, baik melalui penetapan SK Menteri Hukum dan HAM, maupun lewat penetapan pengadilan. Bila Jokowi dengan santai mengatakan bahwa dirinya sebagai presiden tak akan mencampuri urusan internal partai, dan menyerahkan sepenuhnya kepada departemen terkait dan lembaga pengadilan, maka tinggal selangkah lagi kepastian jawaban sempurna akan terpenuhi.Bahwasanya Jokowi akan menyatakan hal tersebut, sudah dapat dipastikan. Tapi apakah benar-benar ia lakukan hal tersebut? Atau, di belakang layar justru bermanuver politik menempatkan dirinya sebagai pengarah dan penentu keputusan politik sehubungan dengan penentuan Partai Demokrat versi mana yang harus dimenangkan. Seperti yang dilakukan Pak Harto terhadap Suryadi Ketua Umum PDI pro Orde Baru yang selalu didukung dan difasilitasi untuk melawan kubu Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan. Pak Harto memberikan dukungan penuh kepada Suryadi, tidak untuk digusur dari sirkel politiknya, tapi digunakan untuk menghancurkan kubu Megawati yang tidak disukainya.