Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH.MH
Sederhananya, UU Ciptaker itu ditangguhkan masa berlakunya sebelum ada perbaikan. Aturan-aturan turunan yang berdasarkan undang-undang itu tidak dapat dilaksanakan dan tidak boleh dibuat sebelum ada perbaikan.
Sebagaimana kita ketahui Bersama, pengujian Undang-Undang Ciptaker di Mahkamah Konstitusi itu adalah menyangkut tata cara pembuatan undang-undang yang tidak sesuai prosedur pembuatan, sehingga cacat secara formil. Konsekuensi cacat formil itu membuat seluruh undang-undang, mulai dari pertimbangan hukum, batang tubuh hingga penjelasan undang-undang itu menjadi inkonstitusional.
Cacat formil pembentukan undang-undang itu memang menimbulkan ketidak pastian hukum dalam banyak hal. Tetapi bukan berarti ada kekosongan hukum, sebab undang-undang yang dirangkum secara keseluruhan dalam “kitab omnibuslaw” Ciptaker itu masih dapat berlaku sepanjang undang-undang yang dibatalkan oleh MK itu belum diperbaiki dan disahkan oleh pemerintah dan DPR.
Alasan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum itu ternyata digunakan oleh Presiden sebagai dalil untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Alasan yang cukup mengejutkan bagi banyak orang. Sebab MK sudah menyatakan undang-undang itu cacat formil sehingga harus diperbaiki oleh DPR dan Pemerintah, bukan dengan mengeluarkan Perppu.
Setelah keluar Perppu 2/2022, Presiden oleh beberapa ahli hukum dimungkinkan telah melakukan pelanggaran hukum, karena tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi. Prof. Jimly Asshidiqie menyebut Presiden telah mengabaikan peran MK dan DPR, dengan menyebut bahwa Perppu itu adalah rule by law yang kasar dan sombong.
Secara normatif dan akademis, keluarnya Perppu Ciptaker ini jauh syarat-syarat objektif keluarnya Perppu, sehingga presiden memang melakukan tindakan yang cukup disebut sebagai tindakan otoriter. Disebut otoriter karena melawan ketentuan konstitusi.
Sebenarnya persoalan sederhana, presiden setelah keluarnya putusan MK tanggal 25 September 2021 itu, mulai bergerak Bersama dengan DPR untuk memperbaiki proses pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU 15/2019 tentang Perubahan atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Jalan untuk memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang yang dibatalkan oleh MK itu tersedia dua tahun. Waktu yang cukup bagi Presiden dan DPR untuk membahasnya, akan tetapi hal ini tidak dilakukan sama sekali oleh Presiden dan DPR. Presiden tidak mau mengambil langkah sesuai prosedur, justru menjawab putusan dengan Perppu.
Sejauh mengenai persoalan cacat formil, dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi ditekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang- undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).