Salah satu fokus perhatian Buya Hamka adalah bagaimana kelompok sosial yang berkembang saat itu, seperti kuli, pekerja pabrik, dan pekerja informal, dapat memenuhi kewajiban syariat Islam dengan mencari nafkah untuk keluarga mereka.
Pada ayat ke-184 Surat Al-Baqarah, kaum muslimin dibolehkan mengambil rukhsah (keringanan beribadah) untuk tidak melaksanakan puasa pada bulan suci Ramadan. Rukhsah untuk para pekerja di atas sama dengan rukhsah untuk orang yang bepergian jauh, sakit, ibu hamil dan menyusui.
Ayat ke-184 Surat Al-Baqarah berbunyi,
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Selanjutnya menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar tersebut, bagi mereka yang telah mengambil rukhsah, wajib menggantinya (qadha) di hari-hari lain di luar bulan Ramadan. Jika telah melewati Ramadan di tahun depan, maka qadha ditambah dengan fidyah. Fidyah adalah denda yang harus dibayar apabila tidak menjalankan ibadah puasa.
Fidyah dilaksanakan dengan cara memberikan bahan pokok sebanyak satu mud kepada fakir miskin. Satu mud itu setara dengan 675 gram, jadi untuk menghitungnya yaitu 675 gram beras dikali jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Cara membayar fidyah bisa dilaksanakan dengan uang.
Menurut Buya Hamka, meski kemudahan yang diberikan Allah Swt melalui rukhsah, namun hal ini menyangkut kehormatan diri seorang muslim di hadapan Tuhannya. Sebagai hutang dan keringanan, hukum rukhsah puasa tidak boleh dipermainkan atau ditunda-tunda pembayarannya.