Hajinews.id – Sholeh Basyari, direktur eksekutif Center for Islamic and International Studies (CSIIS), menilai konflik antara PKB dan Nahdlatul Ulama (NU) yang diabaikan menjadi sumber suramnya prospek politik nahdiyin. (warga NU).
Hampir dua tahun setelah peralihan nakhoda PBNU dari Said Aqil Siraj ke Yahya Cholil Staquf, hubungan NU-PKB terus bergejolak, ujarnya.
“Meski secara visi dan arah politiknya sama, tetapi secara strategi nyata berbeda,” kata Sholeh dalam keterangannya, Sabtu (19/8).
Dia menyebutkan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin telah menjadi masinis PKB sejak 18 tahun dan mencoba melanggengkan relasi NU-PKB sebagai alat perjuangan politik kaum nahdiyin.
“Sebaliknya, Gus Yahya yang baru menakhodai NU dua tahun, bereksperimen menyapih PKB dari NU,” tutur Sholeh.
Sholeh menjelaskan di lapangan gesekan PKB-NU terjadi secara tajam dan mengarah menuju konflik serta menguras energi dua lembaga paling bergengsi di kalangan kaum nahdiyin.
“Konflik ini pula yang belakangan dituding ‘kiai-kiai kampung’ sebagai musabab inti redup dan suramnya prospek politik kaum nahdiyin menjelang Pilpres 2024,” tutur Sholeh.
Menurutnya, ada sejumlah hal bisa dilakukan untuk menyingkirkan kabut suram di kalangan nahdiyin.
“Upaya pertama bisa dilakukan dengan mufaraqah atas Muhaimin dan Gus Yahya. Kalau dua hal ini belum cukup menjadi perhatian Gus Yahya dan Muhaimin, ‘kiai-kiai kampung’ bisa menarik mandat baik yang diberikan pada Cak Imin maupun Gus Yahya,” ujarnya.
Mufaraqah sendiri diartikan dengan memisahkan diri dari organisasi.
Dia menyebutkan upaya terakhir adalah dengan mendorong tokoh-tokoh sepuh, mengambilalih peran politik PKB sekaligus memakzulkan kiprah politik kenegaraan PBNU.
“Mufaraqah adalah bukan hal baru dalam nomenklatur dan tradisi politik NU. Beberapa tahun setelah Muktamar ke-27 di Situbondo Kiai As’ad Syamsul Arifin mufaraqah dengan Gus Dur. Hal ini dilakukan Kiai As’ad sebab menurutnya Gus Dur menyimpang dari prinsip dasar NU,” kata Sholeh.