“HMI akan dapat bertahan, jika menjadikan relnya tetap pada dua sisi, umat dan bangsa. Namun, ketika rel itu berganti pada pragmatisme dan kekuasaan, maka perlahan HMI akan menuju pada jurang ketidakrelevanan.” (Wekke, 2021)
Hajinews – Ini cerita sebelum pandemi mendera. Berkunjung ke pengasuh Pesantren Matahari, Mangempang, Maros, Sulawesi Selatan, Prof. Dr. Qasim Mathar.
Salah satu aktivitas beliau ketika mahasiswa, bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Obrolan hari itu, salah satu kalimat yang terus terngiang “jarum cita HMI harus mengarah ke insan akademik.” Setiap kader, sangat paham soal ini. Bahkan menjadi hapalan wajib. Namun, kepahaman berbeda ranahnya pada psikomotorik.
Termaktub, tujuan HMI “”Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT” (Pasal 4 Anggaran Dasar HMI).
Sebab ini adalah, doktrin utama dan pertama HMI pada keilmuan, tradisi akademik, intelektual. Semuanya bertumpu pada identitas mahasiswa.
Tradisi yang mengakar ini, menghujam dalam dinamika perjalanan HMI (Hamsah, 2018; Labib, 2015; Afkari & Wekke, 2018).
Sebagai dimensi lain dari mahasiswa adalah kepedulian terhadap lingkungan. Sehingga seorang mahasiswa tidak bisa abai terhadap lingkungannya.
Namun, tidak memungkinkan untuk dibalik. Kepedulian yang pertama, selanjutnya urusan kuliah menjadi urutan selanjutnya.
Belum lagi, ada amanah dan tanggungjawab yang diemban dari orang tua masing-masing untuk menyelesaikan perkuliahan sampai ke jenjang sarjana.
Sisi-sisi inilah yang senantiasa perlu dijaga oleh seorang mahasiswa sehingga dapat mengemban tanggungjawab sosial di masyarakat.
Cendekia dan sekaligus peduli. Keduanya tidak bisa dipisahkan, tetapi track utama pada proses di bangku kuliah.