Bangsa Bernilai

Yudi Latif. (Ist)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Yudi Latif, Pakar Aliansi Kebangsaan

Paus Fransiscus menemukan alam terkembang sebagai guru. “Sungai tak minum airnya sendiri; pohon tak makan buahnya sendiri; kembang tak pancarkan aroma bagi dirinya; mentari tak bersinar bagi dirinya. Hidup bagi orang lain adalah suatu hukum alam. Kita terlahir untuk saling membahagiakan.”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Manusia tercipta lebih istimewa, mengemban misi perawatan alam semesta. Jiwanya laksana mentari yang memancarkan cahaya kasih dalam gerak meninggi. Jika cahaya itu redup, dunia memasuki gelap malam; kemanusiaan terjerambab ke lembah kebinatangan. Tengoklah ke dalam, seberapa tinggi derajat kemanusiaan kita.

Tidakkah kepemimpinan lebih mendahulukan kepentingan (promosi) keluarga sendiri?  Tidakkah DPR membuat undang-undang yang menguntungkan dirinya sendiri?  Tidakkah pemerintah menyusun kebijakan dan personil untuk keuntungan pendukungnya sendiri? Tidakkah kebijakan pejabat menguntungkan perusahaan dan jaringannya sendiri? Tidakkah perusahaan mengelabui pajak, mematikan yang lemah, menghancurkan ekosistem, untuk keuntungan dirinya sendiri?

Manusia memang primata sosial. Secara genetik mirip dengan simpanse. Padanya mengendap predisposisi naluriah yang sama dalam dorongan mengembangkan relasi dominatif, struktur sosial hierarkis, serta ketundukan pada yang superior. Dalam komunitas primata, semua ketimpangan relasional itu diterima secara natural demi memastikan keberlangsungan keturunan sesama kerabat yang memiliki pertalian genetik.

Bisa dipahami, mengapa pilihan standar (default option) sistem politik masyarakat dunia cenderung ke arah otoritarianisme. Demokrasi hanyalah perkecualian; sesekali muncul dengan sedikit percobaan yang berhasil. Bahkan pada era demokrasi, kebanyakan politik negara masih bersifat demokrasi semu.

Perwujudan demokrasi sehat perlu memenuhi kondisi sosial-budaya, ekonomi dan politik yang memungkinkan, seraya menuntut penyesuaian model demokrasi terhadap kondisi sosial-budaya, ekonomi dan politik yang ada. Salah satu prasyarat kuncinya adalah variabel budaya. Bernardo Arévalo (1999) menengarai penyebab kegagalan demokrasi di sejumlah negara, karena kendatipun perangkat keras (prosedur) demokrasi telah diadopsi, perangkat lunak (budaya) politiknya masih melanggengkan feodalisme (otoritarianisme).

Variabel budaya yang mendasar adalah nilai keyakinan-moralitas. Dalam demokrasi, legitimasi kekuasaan tidak bisa bertumpu pada “kekerasan/pemaksaan”, melainkan harus berbasis moralitas. Sumber moralitas itu bisa saja dipasok dari nilai keagamaan tradisional (supernatural), akan tetapi harus mengalami proses kristalisasi menjadi civil religion, yang dapat mempertemukan nilai-nilai universal (etika-spiritual)  agama-agama. Bisa juga berasal dari gagasan (moral) sekular yang diangkat ke level “sakral”, sehingga diterima warga negara sebaga nilai yang “disucikan”. Dalam konteks Indonesia, civil religion itu bernama Pancasila.

Tentang bagaimana mengembangkan civil religion, Jean-Jacques Rousseau dan Emile Durkheim berbeda pandangan. Bagi Rousseau, civil religion itu harus dikreasikan dan diinjeksikan oleh negara pada warganya. Bilamana ada warga yang dianggap bertentangan dengan imperatif civil religion, tidak ada pilihan lain bagi negara kecuali melibasnya.  Konsekuensinya, civil religion rentan dimanipulasi negara untuk membungkam kritik dan oposisi.

Sebaliknya, bagi Durkheim, civil religion itu bisa ditumbuhkan secara sukarela atas dasar swadaya masyarakat. Berbagai komunitas (agama, sekolah, pemukiman, kerja, media, adat-budaya, organisasi masyarakat dan politik) terlibat aktif dalam menyemai nilai-nilai kewargaan di lingkungan komunitasnya masing-masing, seraya terlibat aktif dalam ruang-ruang interaksi-komunikasi lintas agama-budaya yang memperkuat integrasi antar-komunitas berbasis nilai-nilai yang disepakai (disucikan) bersama. Alhasil, dalam demokrasi yang sehat, civil religion menurut versi negara harus dicek dengan versi masyarakat, agar tercapai sintesis sehat, terhindar dari manipulasi kekuasaan.

Menghadirkan prasyarat civil religion itu tidaklah mustahil. Manusia adalah primata istimewa, satu-satunya yang dapat menciptakan, menerima dan bertindak atas dasar keyakinan (agama, spiritualitas, ideolog) dan nilai (etika, moralitas). Dengan itu, manusia tidak hanya tunduk pada natur, melainkan—lewat proses pembelajaran (nurture), dapat mengolah natur menjadi kultur.

Berkat kompas keyakinan dan nilai kultural, kebebasan alamiah dengan dorongan naluri primata, ditransformasikan menjadi “kebebasan sipil”. Kekuatan dan kepentingan pribadi dibatasi oleh kehendak umum dan kebajikan bersama. Semangat Kekeluargaan meluas dari komunalisme serumpun-sekubu  menjadi solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan.

Bila demokrasi dirayakan dengan tirani oligarki, pemodal kuat menginvasi legislasi, feodalisme membenamkan meritokrasi, komunalisme melumpuhkan solidaritas kebangsaan, rasa empati pada perbedaan pudar, pertanda terjadi peluluhan dalam dimensi kemanusiaan kita. Keluhuran keyakinan dan nilai merosot, seiring dengan ketidaktaatan penyelenggara negara dan warga pada imperatif moral civil religion (Pancasia).

Komunitas agama tak tekun menyemai nilai, hanyut dalam perebutan kuasa. Dunia pendidikan terjebak dalam instrumentalisme, menelantarkan pembudayaan nilai kewargaan. Penggawa media berlomba mengejar rating dengan merusak keadaban publik.  Elit penguasa memisahkan politik dan etik seperti minyak dengar air. Para pengusaha memandang ekonomi bebas nilai, merobohkan batas aturan dan ambang kepatutan untuk menimbun kapital.

Begitulah, prahara terbesar bangsa ini adalah krisis nilai.  Padahal, tanpa kekuatan nilai, pencapaian apapun tak bernilai. Jika kemajuan dan kebahagiaan bersama jadi impian, kita harus bermikraj dari kebinatangan menuju kemanusiaan dengan memuliakan kembali nilai.

(27 Februari 2020)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *