Kalangan NU Geger dengan Puisi Jumat Agung

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews.id,- Sejak Minggu 12 April 2020 media sosial dihebohkan oleh anak-anak berpenampilan santri bahkan dengan kopiah NU membacakan puisi berjudul “Jumat Agung” yang dibacakan di televisi saat berlaku PSBB dan anak-anak belajar di rumah. Puisi karya Ulil Abshar Abdalla itu pun langsung viral di media sosial. (Lihat videonya di bawah tulisan ini).

Seperti diberitakan duta.co, Jumat Agung , adalah hari Jumat, tiga hari menjelang Paskah, hari peringatan Penyaliban Yesus Kristus yang wafat di Bukit Golgota, dikenal sebagai bukit Calvary, tempat Yesus disalibkan. “Ya, Yesusmu adalah juga Yesusku. Ia telah menebusku dari iman, yang jumawa dan tinggi hati. Ia membuatku cinta pada yang dinista!,” demikian penggalan akhir puisi sebanyak 1296 karakter ini.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sejumlah kiai dan akademisi NU pun, melempar komentar. Salah seorang dosen di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, mempertanyakan urgensi santri dengan kopyah NU membaca puisi itu. “Ini puisi lama, sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, hari ini sengaja dipoles untuk ‘menjual’ NU. Yang ditampilkan santri dengan kopyah NU. Ini pertanda liberalisasi di tubuh NU begitu jahat,” demikian disampaikan kepada duta.co, Minggu (12/4/2020).

Prof Dr H Rochmat Wahab, mantan Ketua PWNU DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), mengaku prihatin dengan kelompok liberal yang begitu massif merusak generasi nahdliyin. “Kasihan anak-anak kita. Puisi itu sangat terkait dengan Hari Wafat Yesus Kristus. Isinya sangat kental dengan urusan aqidah. Siapa pun boleh membuat puisi. Silakan. Sah-sah saja, baik orang yang beragama Kristen, Katolik, Islam atau lainnya. Tetapi, setiap penulis mesti bertanggungjawab dengan apa yang tulisannya,” tegas Guru Besar Ilmu Pendidikan Anak Berbakat Universitas Negeri Yogyakarta ini kepada duta.co, Minggu (12/4/2020).

Menurut Prof Rochmat, yang menjadi masalah dari puisi ‘Jumat Agung’ itu, adalah diviralkan dengan menggunakan sejumlah remaja laki-laki dan perempuan dengan kopyah berlogo NU. Penampilan ini secara langsung atau tidak langsung, melibatkan NU, seakan-akan secara institusional, NU ikut memback-up. “Dan secara aqidah, jelas sekali materi dalam puisi yang dibaca itu, tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh NU dan para masyayikh,” tegas Prof Rochmat.

Prof Rochmat berharap agar generasi santri tidak dirusak dengan pikiran-pikiran liberal. NU jangan dipermainkan seperti itu. Para muassis NU bisa menangis ketika menyaksikan semua ini, betapa kita membiarkan liberalisasi memporak-porandakan NU.

“Silakan (kalau) di luar, jangan pakai institusi NU. Mengapa harus memakai baju muslim dan perkopyah berlogo NU? Ini sama saja menginjak-injak Islam dan NU. Mestinya ini tidak harus terjadi. Silakan bepuisi, lebih (gila) liberal lagi tidak masalah. Tetapi, jangan dan TIDAK BOLEH menggunakan simbol NU,” urai Prof Rochmat dengan nada serius.

Jika yang membacakan itu (benar) santri dan santriwati, lanjut Prof Rochmat, maka sangat disesalkan terhadap orang atau institusi yang harus bertanggung jawab karena mengkoordinasikan pembacaan puisi ini dan pembuatan videonya. “Karena kegiatan ini secara langsung atau tidak langsung melakukan pemurtadan para santri. Yang sebenarnya harus dihindari,” jelasnya.

Masih menurut Prof Rochmat, sangat disayangkan belakangan ini, bahwa, dalam menafsirkan toleransi sejumlah ummat nahdliyin aktivitasnya sudah merusak aqidah. Kegiatan-kegiatannya sangat meresahkan warga NU, khususnya dan ummat Islam pada umumnya.

“Implementasi toleransi harus jelas mengikuti rambu yang ada, terutama dalam kehidupan muamalah. Banyak yang bisa dilakukan tanpa merusak aqidah, seperti membesuk orang sakit, takziah, menghadiri undangan resepsi pernikahan dll,” tambahnya.

Berikut Puisi ‘Jumat Agung’ Karya Ulil Abshar Abdalla:

Ia yang rebah,
di pangkuan perawan suci,
bangkit setelah tiga hari, melawan mati.
Ia yang lemah,
menghidupkan harapan yang nyaris punah.
Ia yang maha lemah,
jasadnya menanggungkan derita kita.

Ia yang maha lemah,
deritanya menaklukkan raja-raja dunia.
Ia yang jatuh cinta pada pagi,
setelah dirajam nyeri.
Ia yang tengadah ke langit suci,
terbalut kain merah kirmizi: Cintailah aku!

Mereka bertengkar
tentang siapa yang mati di palang kayu.
Aku tak tertarik pada debat ahli teologi.
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.

Saat aku jumawa dengan imanku,
tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu,
terus mengingatkanku:
Bahkan, Ia pun menderita, bersama yang nista.

Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu,
mereka semua guru-guruku,
yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta.

Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah,
jumawa, bagai burung merak.
Kalian gemar menghakimi!

Tubuh yang mengucur darah di kayu itu,
bukan burung merak.
Ia mengajar kita, tentang cinta,
untuk mereka yang disesatkan dan dinista.

Penderitaan kadang mengajarmu
tentang iman yang rendah hati.
Huruf-huruf dalam kitab suci,
kerap membuatmu merasa paling suci.

Ya, Yesusmu adalah juga Yesusku.
Ia telah menebusku dari iman,
yang jumawa dan tinggi hati.
Ia membuatku cinta pada yang dinista!

(duta/dbs)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *