Pemerintah Tolak Turunkan Harga BBM, Lalu Bagaimana?

Ismed Djafar
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Ismet Djafar

Teka-teki tentang isu penurunan harga BBM akhirnya terjawab sudah. Pemerintah melalui Menteri ESDM Arifin Tasrif secara resmi menolak untuk menurunkan harga BBM. Penolakan itu disampaikan pada rapat kerja dengan Komisi Energi DPR RI pada Senin kemarin (4/5).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sebenarnya sikap  pemerintah ini sudah diduga ketika ribut-ribut soal BBM akhir-akhir ini, tidak ada satu pun dari pejabat pemerintah atau Pertamina yang memberi isyarat penurunan harga BBM. Demikian pula para pengamat ekonomi dan energi yang pro pemerintah, banyak memberi ulasan yang lebih membenarkan sikap pemerintah bahwa belum waktunya untuk menurunkan harga BBM saat ini. Di sisi lain banyak pula yang keras maupun lunak meminta penurunan harga BBM dengan segala argumen.

Salah satu yang “agak lunak” adalah pendapat dari mantan menteri BUMN Dahlan Iskan. Melalui kolom pribadinya, DI (sapaan akrab Dahlan Iskan) menyebut dengan istilah satire “bersedekah untuk Pertamina”.

Masing-masing punya analisis tentang harga BBM, namun kali ini saya tidak akan membahas analisis ilmiah segala macam mengapa harga BBM tidak perlu turun. Karena boleh jadi, semua itu hanya alasan untuk pembenaran. Mau turun atau tidak, sepenuhnya di tangan pemerintah. Apalagi jika hanya sekadar membandingkan dengan harga BBM di ASEAN, sulit dijadikan ukuran.

Singapura sebagai salah satu negara raja kilang dan “penghasil” BBM terbesar, menjual BBM dengan harga tinggi di negaranya karena pendapatan perkapitanya jauh di atas kita. Miyanmar yang tidak lebih kaya dari kita APBNnya, mampu mensubsidi rakyatnya dengan harga BBM yang sangat murah. Hongkong jual bensin Rp30.000 per liter juga suka-suka dia. Venezuela pernah jual bensin (sejenis pertamax) lebih murah dari sebiji permen (Rp144 per liter) juga bisa. Iran jual bensin Rp4.000 juga biasa saja.

Bicara aturan tentang formula harga BBM, dari dulu juga formula itu tidak dijalankan dengan sebenar-benarnya, sehingga membuat Pertamina tekor triliunan rupiah untuk menjual premium dan solar. Pertamina “dipaksa” oleh Pemerintah untuk menjual premium dan solar di bawah harga pokok produksi dan biaya distribusi.

Alasan yang sering didengar antara lain, “itulah tugas BUMN sebagai alat negara”, “Pertamina harus bantu negara, bukan negara yang bantu Pertamina”, “lebih baik Pertamina yang berkorban daripada masyarakat yang jadi korban”,  dan seterusnya. Ada Dirut Pertamina menjadi korban dilengserkan karena terlalu serius dengan ilmu akuntasinya dalam hal jual beli BBM. Dia berpegang pada rumus UU BUMN bahwa BUMN tidak bisa merencanakan untuk rugi, tetapi harus mengejar keuntungan. Namun penugasan berkata lain.

Pertanyaannya kemudian, jika tidak mau turunkan harga BBM lalu bagaimana? Dulu waktu zaman SBY kritik pedas terlontar begitu keras ketika massa berdemo atas kenaikan harga BBM. Popular istilah zaman itu, “BBM turun atau SBY turun”. Zaman Pak Harto lebih keras lagi, para pendemo BBM diterjang timah panas oleh aparat keamanan tanpa belas kasihan.

Ketika hari-hari ini harga BBM tidak turun juga, bukan berarti masyarakat tidak mau demo. Masyarakat tidak bisa demo mengerahkan massa, karena situasi saat ini yang landa pandemi Covid-19.  Ditambah lagi suasana lagi bulan puasa Ramadhan. Masyarakat juga lebih berkonsentrasi untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya  sehari-hari yang semakin terjepit. Alih-alih mau demo, minimal bisa makan saja sudah alhamdulillah.

Namun suara kecil di hati masyarakat tentu bisa dirasakan, betapa kesulitan hidup makin bertambah. Tagihan listrik naik, bansos telat datang,  mudik dilarang, pendapatan  hilang, ditambah lagi harga BBM yang tidak juga tidak turun. Memang betul aktivitas masyarakat keluar rumah atau ke tempat kerja juga menurun karena himbauan pemerintah untuk WFH dan  tinggal atau diam di rumah. Tetapi tidak sedikit masyarakat yang masih rutin menggunakan kenderaan untuk kebutuhan atau usaha sehari-hari.

Pada masa sebelumnya, sudah menjadi aksioma bahwa masyarakat selalu berharap ada penurunan harga BBM ketika harga minyak turun. Demikian pula Pemerintah selalu membuat pembenaran atas kebijakan menaikkan harga BBM ketika harga minyak dunia melonjak. Namun kali ini faktanya berbeda. Harga minyak dunia bulan Januari 60-70 dollar per barel.

Tiga bulan kemudian turun lebih 50 persen menjadi 20-30 dollar per barel, tapi harga BBM tidak kunjung turun. Ini menandakan bahwa kita memasuki pola pikir yang baru. Masyarakat diajak berpikir dan menerima bahwa naik dan turunnya BBM sebenarnya tidak tergantung pada fluktuasi harga BBM.

Turunnya volume penjualan BBM hingga lebih dari 25 persen juga jadi indikator baru.  Namun terlepas dari itu, saat ini harga BBM tergantung kebijakan pemerintah. Mau naik dan turun, hanya pemerintah yang bisa pastikan. Mau beli atau tidak terserah masyarakat. Bahkan anggota DPR pun sudah banyak yang teriak minta turunkan harga BBM, juga tidak “ngefek”.  Dengan pola pikir seperti ini,  dikhawatirkan masyarakat menjadi tidak peduli dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada saat yang sama pemerintah hari-hari ini sangat membutuhkan dukungan masyarakat untuk bersama-sama melawan Covid-19.[*]

Penulis: Pemerhati Energi, Ketua Bidang Energi dan Pertambangan Majelis Nasional KAHMI.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *