Mahkamah Agung: Salah Kelola BPJS Jangan Dibebankan Kepada Rakyat

Pelayanan di BPJS Kesehatan (dok)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews.id,- Mahkamah Agung menyatakan bahwa akar masalah defisit BPJS Kesehatan adalah salah kelola. Karena itu tidak dibenarkan pemerintah membebankan hutang BPJS kepada masyarakat dengan cara menaikkan iuran.

Kesimpulan ini disarikan dari pertimbangan Mahkamah Agung Nomor 7P/HUM/2020 yang membatalkan Peraturan presiden 75/2019.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pemerintah kemudian menurunkan iuran selama dua bulan, tapi kemudian dinaikkan lagi sehingga menuai protes dari berbagai kalangan, karena tidak mempertimbangkan putusan MA dan kemampuan membayar akibat wabah corona.

Kenaikan iuran BPJS terbaru itu tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Perpres 64/2020 itu mengatur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Dikutip dari CNN Indonesia, dalam putusan pembatalan saat itu, MA menilai bahwa defisit BPJS Kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan iuran bagi Peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja).

“Haruslah dicarikan jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan,” demikian pertimbangan majelis hakim ketika membatalkan kenaikkan, seperti dikutip dalam Putusan MA 7 P/HUM/2020.

Perkara atas putusan itu diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Putusan tersebut diketok oleh Hakim MA Supandi selaku ketua majelis hakim bersama Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi masing-masing sebagai anggota.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga menyatakan bahwa Perpres 75/2019 tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar kenaikan iuran BPJS. Pertimbangan faktual pemerintah malah lebih menekankan pada penyesuaian iuran, dikarenakan defisit anggaran.

“Timbul pertanyaan, apakah dengan menaikkan iuran BPJS dapat menyelesaikan permasalahan defisit anggaran secara permanen? Apakah masyarakat mampu untuk membayarnya?” demikian bunyi pertimbangan majelis hakim dalam salinan surat putusan.

Kemudian, berdasarkan fakta yang tak perlu dibuktikan lagi, ternyata untuk menutupi defisit anggaran BPJS tersebut, pemerintah telah beberapa kali melakukan penyesuaian dan menyuntikkan dana, akan tetapi anggaran BPJS Kesehatan masih defisit.

Oleh karena itu, menurut MA, ada akar masalah yang terabaikan dipertimbangkan, yakni manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan.

Sementara, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro (CNNIndonesia.com, Kamis (14/5), mengatakan tidak akan mengintervensi langkah pemerintah yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

“MA tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah,” kata Andi.

Andi mengatakan, MA hanya berwenang untuk mengadili perkara permohonan hak uji materil terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang. Itu pun apabila ada pihak yang mengajukan gugatan atas suatu aturan ke MA. (fur/dbs)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *