Belajar Bijak

Hamdan Juhannis
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Belajar Bijak
Oleh: Hamdan Juhannis

Pulang Kampung.” Itulah produk bahasa yang mengenakkan bagi orang-orang yang dibesarkan oleh tradisi kampung. Pulang kampung itu kembali ke tempat kelahiran. Pulang menjenguk orangtua atau menziarahi kuburannya.
Pulang melihat warisan atau tanah yang sudah dibeli. Pulang kampung untuk menjelajahi kembali tempat-tempat yang pernah dijejaki. Termasuk melakukan pelacakan terhadap orang-orang yang begitu berkesan, istilahnya: nostalgia. Itulah mengapa orang mudik sebagai ‘ritual’ pulang kampung karena disitu ada proses penyegaran masa lalu sekaligus sebagai pembentukan identitas baru. Tapi sebaiknya untuk sementara kita melakukan ‘mudik imaginatif’ untuk mencegah ‘covid 19 masuk desa’.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Jadi pulang kampung itu ibarat kembali ke asal. Kampung yang telah membentuk kita untuk “menjadi”, memberi kita untuk “memiliki” yang sering disebut ‘modal sosial’. Di kampunglah kita bersekolah dasar. Di kampunglah kita belajar mengeja kitab suci. Di kampunglah kita belajar berbahasa.

Saya bisa memahami, mengapa ada orang saat bercerita tentang ilmu, selalu terpulang pada guru IPAnya di SD kampung. Saya jadi maklum, saat seorang tokoh ketika berefleksi tentang kesuksesannya selalu menyelipkan nama guru inspiratifnya di kampung. Saya juga paham mengapa saat berbicara tentang romantika, tiba-tiba banyak yang mengembalikan ingatannya pada gadis yang dulu didekatinya.

Torehan kampung sungguh membekas di hati. Betapa tidak terlupakannya di malam hari menunggu mangga jatuh, kita jatuh bangun memperebutkannya tanpa menghiraukan kotoran sapi, ujung-jungnya mangganya juga tidak dimakan. Betapa tidak terlupakannya masa kecil saat merapatkan sandal jepit pada sandal gadis kecil pujaan di tangga masuk surau, seakan sandal itu sudah mewakilkan hati yang berpaut.

Kampung juga menggoreskan ‘dosa’ yang tak pernah terkubur. Saya mengingat begitu banyak dosa pada ibu saya. Salah satu yang tak terlupakan, ibu saya mendapatkan satu biji rambutan hasil rebutannya bersama orang-orang kampung, yang dibawa keluarga dari kota. Saya datang mengambil isinya, dan kulitnya saya biarkan ibu saya yang memegangnya.

Itulah, banyak orang yang pulang kampung karena ingin berbuat sesuatu untuk mengikis kekeliruan masa kecilnya. Banyak yang pulang kampung karena ingin memperhadapkan diri di depan pusara orangtuanya. Bahwa anaknya selalu berusaha untuk menjadi seperti diri orangtuanya yang berjiwa tulus, tanpa pamrih, dan tidak pernah pilih kasih. Anak yang ingin menulis ulang sejarah Malingkundang, bukan anak yang dihukum ibunya jadi batu karena durhaka. Tidak ada orangtua yang pernah sekalipun menghukum dengan cara menghinakan anaknya. Paling banter orangtua hanya bersedih, misalnya karena anak-anaknya tidak lagi punya kampung.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *