Menolak RUU HIP : Negara Harus Berdaulat

Amirsyah Tambunan (Wakil Sekjen MUI Pusat dan Sekjen Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Pusat)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Menolak RUU HIP : Negara Harus Berdaulat

Oleh : Amirsyah Tambunan (Wakil Sekjen MUI Pusat dan Sekjen Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Pusat)

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, kini anggota Fraksi PAN DPR RI Saleh P. Daulay dengan tegas, lugas menolak RUU HIP.

Menurut beliau ada alasan yang sangat kuat menolak, baik secara konstusional, filosofis, dan historis.

Dalam Rancangan RUU Haluan Ideologi Pancasila di mana diantara Fraksi di DPR FPAN dan FPKS menolak RUU tersebut sebagai hak inisiatif DPR RI.

Meskipun pembahasan RUU masih panjang, perlu di ketahui rakyat Indonseia membahas RUU memerluka biaya besar. Apalah artinya RUU di bahas jika berujung pada Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengahabiskan tenaga pikiran, biaya (mubazzir) .

Terdapat banyak alasan kenapa RUU HIP harus ditolak.

Pertama, alasan untuk membentuk UU HIP tidak jelas alasan konstitusionalnya. Misalnya dalam konsideran RUU HIP disebutkan bahwa UU HIP perlu dibentuk sebab belum ada UU dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila sebagai landasan hukum untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai kerangka landasan konstusi dalam berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat guna mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.

Padahal setelah 74 tahun Indonesia merdeka Pancasila yang ada saat ini telah menjadi prekat seluruh kekuatan bangsa. Selama ini Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara.

Pertanyaan apakah hukum yang selama ini tidak sesuai dengan Pancasila? Bukankah semua pejabat negara disumpah untuk setia dan melaksanakan Pancasila ? Sungguh secara konsitusi Pancasila yang ada saat ini telah menjadi jiwa dan semangat serta sumber pembentukan hukum.

Kedua, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi posisinya lebih tinggi dari UU adalah dasar bagi tata kelola sekaligus penunjuk arah atau haluan pembangunan Negara Indonesia. UUD 1945 dilahirkan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Batang tubuh UUD 1945 seluruhnya merupakan pengejawantahan dari nilai-nila jiwa dan semangat Pancasila dalam bentuk UU sebagai landasan hukum bagi mencapai tujuan bernegara.

Oleh sebab itu, UUD 1945 yg berlaku saat ini telah menjadi HALUAN IDEOLOGI PANCASILA.

Ketiga, Kehadiran UU HIP dapat menimbulkan gagal paham terhadap tata hukum nasional. Secara hirarki, UU HIP memang seharusnya ada di bawah UUD 1945. Konsideran untuk membentuk UU HIP adalah berupa Ketetapan—Ketetapan MPR, sehingga UU HIP boleh diartikan sebagai derivasi dari Ketetapan-Ketetapan MPR tersebut.

Namun dilihat dari objek hukumnya, yaitu Pancasila yang akan diundangkan sebagai haluan ideologi, nantinya UU HIP dapat dipandang sebagai “Makna Pancasila”. Maka, dalam penerapan, kedudukannya bisa setara dengan UUD 1945. Bahkan dapat pula berada di atas UUD 1945, karena UU HIP dapat dimaknai sebagai Pancasila itu sendiri. Dengan demikian UU HIP akan menjadi sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD 1945 pun harus tunduk pada UU HIP. Ini bukti kegagalan kita memahami Konstitusi yang berlaku selama ini.

Perlu dicatat pada BAB II pasal 4 RUU HIP tentang fungsi Haluan Ideologi Pancasila, yang sesungguhnya adalah merupakan fungsi dari UUD 1945. Inilah bunyi Pasal 4 itu:

Haluan Ideologi Pancasila memiliki fungsi sebagai:

  1. pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan Pembangunan Nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan mewujudkan mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
  2. pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berketuhanan;

Pertanyaannya arah haluan pembangunan selama ini kemana? Bagi saya Pancasila yang ada saat ini udah jelas dan tehas, jadi tidak perlu lagi RUU HIP.

Keempat, RUU HIP ini tidak jelas landasan filosofisnya kaitannya dengan TAP MPR. Di dalam konsideran tidak disebutkan legalitas Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Yang demikian ini mengakibatkan ketidakjelasan tentang Pancasila yang menjadi objek yang akan diundangkan. Secara filosofis Pancasila kaitannya dengan dasar falsafah negara harus merujuk pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945. Hal ini dipertegas dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 pada Pasal 1.

Dasar hukum Berlakunya Pancasila dan UUD 1945 saat ini, adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Oleh karena itu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 wajib masuk dalam konsideran. Yang demikian, agar jelas dan teranglah Pancasila yang mana yang dimaksud oleh RUU HIP itu. Perdebatan-perdebatan akademik dan demokratis di dalam Majelis Konstituante menjelang lahirnya Dekrit 5 Juli 1959, akan juga memberi keterangan yang lebih jelas tentang Pancasila yang dapat diterima semua golongan dari bangsa ini. Maka, mengabaikan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam melahirkan UU apa pun soal Pancasila adalah cacat hukum, tidak sah dan akan berujung pada kekacauan memahami sejarah.

Kelima, secara historis bahwa konsideran penting yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu sehingga diterima oleh semua kalangan, adalah : “…bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Pertanyaannya adalah apa makna konsideran tersebut ? Perdana Mentri Djuanda, Kepala Pemerintahan saat itu, menjelaskan bahwa jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila adalah jiwa Piagam Jakarta. Dengan demikian “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (lihat Deliar Noer : Partai Islam Di Pentas Nasional, Cet II, 2000).

Atas dasar itu, maka jika kita lihat bunyai Pasal 6 ayat (1) RUU HIP disebut bahwa Sendi Pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Pada Pasal 7 ayat (2), Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan; pada ayat (3), Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Ini merupakah pokok pikiran yang telah di sampaikan Ir. Seokarno tidak menjadi konsensus.

Jadi Pancasila apa yang dimaksud oleh RUU HIP – yang memiliki sendi pokok keadilan sosial dan ciri pokoknya dapat diperas menjadi Trisila. Ini sangat bertentangan dengan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 –yang keberlakukuannya atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka sendi utamanya (kalau mau pakai istilah ini) adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan keadilan sosial. Keadilan sosial adalah satu prinsip –dari lima prinsip (Pancasila), yang harus diperjuangkan untuk diwujudkan.

Adalah tujuan luhur bangsa Indonesia yang merdeka berdaulat yang belum terwujud. Pahamilah baik-baik akhir aline ke 4 Pembukaan UUD 1945 itu: “…serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Frasa “dengan mewujudkan” memberi arti bahwa keadilaan itu adalah sesuatu yang masih harus digapai.

Sejarah telah jujur memberikan pembelajaran bagi kita arti sebuah perdebatan di BPUPKI pada persidangan 29 Mei hingga 1 Juni 1945 dan di Majelis Konstituante hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sesungguhnya bertumpu pada “posisi Tuhan dalam negara”. Pada waktu Sidang BPUPKI, golongan nasionalis sekuler menghendaki negara ini berdasarkan sekuler (di mana Tuhan menjadi urusan pribadi masing-masing dan tidak dibawa ke dalam urusan bernegara) dan golongan Nasionalis Relegius menghendaki berdasakan Islam (dimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lepas dari nilai-nilai agama).

Perdebatan ini akhirnya mencapai titik kompromi tentang landasan falsafah negara itu ialah rumusan seperti dalam Pembukaan UUD 45 yang terjadi pada 18 Agustus 45 –yakni rumusan Piagam Jakarta minus tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Negara bukan berdasarkan Islam, tapi juga bukan berdasar sekuler. Tuhan di tempatkan sebagai Causa Prima (istilah ini datang dari Bung Karno), menjadi jiwa seluruh sila dari Pancasila –termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah kesepakatan luhur yang diterima semua komponen bangsa dengan suka cita. Siapa yang menentang kesepakatan ini berarti “pengkhiatan” terhadap Negara NKRI.

Jadi, negara ini lahir atas dasar kesepakatan. Landasan falsafah negara merupakan kesepakatan bersama; menjadi titik temu (kalimatun sawa’) merupakan common platform, bagi semua aliran politik yang ada.

Jadi menurut saya landasan falsafah negaranya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Muhammadiyah sejak awal sebelum Indonesia merdeka

telah mengalami masa-masa “ketegangan”, di mana muncul perdebatan yang sangat sengit di internal organisasi tentang penerimaan Pancasila, maupun secara eksternal dalam hubungannya dengan negara.

Jika dilacak ke belakang, maka dapat diamati peran dan kontribusi Muhammadiyah dalam proses perumusan awal Pancasila. Ternyata peran penting itu dilakukan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah dalam BPUPKI: Ki Bagus Hadikusumo (Ketua PP Muhammadiyah 1942-1953), KH. Abdul Kahar Muzakkir, Dr. Sukirman Wirosandjojo, Mr. Kasman Singodimedjo.

Usaha serius terus di lakukan Muhammadiyah yakni secara resmi membahas asas Pancasila ini dalam sidang Tanwir akhir Mei 1983. Kesimpulannya, Muhammadiyah lahir karena Islam, tanpa asas Islam tentu bukan Muhammadiyah lagi. Pancasila, bagi Muhammadiyah, bukan persoalan.

Karena itu pada 2012 Tanwir diselenggarakan di Bandung dan 2014 di Samarinda, memilih tema materi ”Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi wa Syahaadah” yang artinya negara Pancasila sebagai konsensus nasional (dar al -ahdi), dan tempat kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju berdaulat dalam naungan rida Allah Swt.

Pemikiran tentang negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif Muhammadiyah.

Disimpulkan, bahwa “Pancasila merupakan rahmat Allah untuk bangsa Indonesia sebagai dasar untuk memajukan dan membangun Indonesia yang merdeka dan berkemajuan. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai Islam”.

Negara ini akan tetap teguh dan eksis bila Ketuhanan Yang Maha Esa tetap ditempatkan sebagai Causa Prima, sebagai yang menjiwai sila-sila lainnya dalam Pancasila, bila posisi Ketuhanan Yang Maha Esa dimarginalkan akan terjadi kekacauan pemahaman.

Selanjutnya, ciri pokok (kalau juga mau menggunakan istilah ini) rumusan final Pancasila sebagai termaktub dalam Pembukaan UUD 145, adalah bahwa sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, tidak dapat dan tidak boleh diperas-peras menjadi Trisila dan apalagi Ekasila. Pemerasan Pancasila menjadi berapa sila pun akan menghancurkan Pancasila dan merontokkan kesepakatan luhur kita dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam pidato Bung Karno yang disampaikan pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Itu bukan kesepakatan, melainkan masih berupa usulan sebagaimana usulan-usalan lain yang disampaikan para tokoh lainnya.

Jadi, RUU HIP menggunakan objek Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya (inkonstitusional), Pancasila yang masih berupa usulan. Bila disahkan menjadi UU, maka UUD HIP akan kehilangan teks dan konteks hukum di negara Indonesia. Itulah yang saya sebut tidak sah. Ini berarti, para Anggota DPR RI yang terhormat sedang menyeret bangsa ini ke masa-masa sebelum merdeka, masa-masa perdebatan tajam soal dasar falsafah negara, tepatnya masa-masa persidangan BPUPKI. Para Anggota DPR RI sedang mengurai benang yang telah ditenun menjadi kain oleh the founding fathers menjadi benang-benang yang tercerai berai kembali. Dengan kata lain merobek merah putih yang telah berkibar selama 74 tahun Indonesia merdeka.

Maka dalam hal ini, jika pembahasan ini akan dilanjutkan, para Angggota DPR RI dengan sengaja melanggar konstitusi. Dan mengkhianati kesepakatan luhur bangsa tentang Pancasila dengan cara mengubah isi dan ruh Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebaliknya Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya. Artinya, nama tetap Pancasila tapi isinya akan diganti oleh para anggota dewan. Ini membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sama saja membongkar Ideologi Negara membuat NKRI menjadi tidak berdaulat baik secara secara idiologis maupun teologis.

Setidaknya, Indonesia akan tumbuh menjadi negara lain yang berbeda, yang tercabut dari akar sejarah dan cita-cita pendirinya : Namanya tetap Indonesia, tapi manusia dan budayanya telah menjadi sesuatu yang lain. Sama juga artinya Indonesia sudah tidak berdaulat melaksanakan Pansila yang ada saat ini. Memahami Pancasila harus utuh sila pertama hingga sila ke lima.

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila kedua Pancasila yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengandung pengertian bahwa seluruh manusia merupakan mahkluk yang beradab dan memiliki keadilan yang setara di mata Tuhan. Dengan kata lain, seluruh manusia sama derajatnya baik perempuan atau laki-laki, miskin maupun kaya, berpangkat maupun yang tidak. Di negara kita ini sejatinya tidak diperbolehkan adanya diskriminasi terhadap suku, agama, ras, antargolongan, maupun politik.

Untuk itu, ketika Tuhan kita pahami dalam RUU HIP telah” terkooptasi” dengan paham sekuler, lalu menghilangkan Tuhan Yang Maha Esa adalah sub ordinat dari kebudayaan. Lihatlah Pasal 7 ayat (2): “Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”.

Tuhan siapa yang berkebudayaan ? Apakah kita akan mengukur sifat ketuhanan dengan kebudayaan. Tidak salah bila banyak pihak mencurigai RUU HIP ini berbau sekuler dan radikal kiri. Saya menghimbau rakyat harus siaga !

Terlalu banyak alasan untuk menolak RUU HIP ini sebagaimana di atas kiranya cukup bagi anggota dewan yang terhormat untuk menolak melakukan pembahasan dan tidak mensahkan menjadi UU. Saya menghimbau pimpinan Ormas yang setia pada Pancasila untuk bersama-sama menolak RUU HIP ini. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada umat dan bangsa menegakkan kedaulatan Negara menonak RUU HIP dan mengawal Pancasila dan UUD 1945.

Ciputat, Tangsel, Banten 27 Mei 2020.

*) Penulis adalah Wakil Sekjen MUI Pusat dan Sekjen Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Pusat. Alumni PPSA 17 Lemhannas Tahun 2011.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *