Bengkulu dan Kalimantan Tolak UU Minerba 2020

Ilustrasi. Foto: Antara
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



BENGKULU, hajinews.id- Masyarakat Provinsi Bengkulu dari berbagai kalangan menolak pemberlakuan Undang-Undang (UU) Minerba 2020 yang baru saja disahkan karena dianggap tidak berpihak kepada mereka.

Penolakan itu disampaikan dalam sidang rakyat yang dilakukan secara virtual, Minggu (31/5), bersama masyarakat dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Dengan adanya UU Minerba ini kami merasa tidak ada keberpihakan pemerintah kepada kami. Lubang tambang dibiarkan, akses jalan kami petani dirusak, sawah kami dirusak, pemukiman rusak. Pengaduan kami kepada pemerintah tidak dihiraukan,” kata Kepala Desa Pondok Bakil, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, Yusmanilu.

Selain menolak pemberlakuan UU itu, Yusmanilu menilai pengesahan UU itu tidak terbuka dan tidak manusiawi karena disahkan dalam situasi pandemi COVID-19 di mana banyak pekerja yang dirumahkan.

Hal senada juga diungkapkan aktivis lingkungan dari Mahasiswa Hukum Pecinta Alam (Mahupala) Universitas Bengkulu Riki Pratama Saputra.

Menurutnya, UU Minerba cacat hukum karena tidak ada pembahasan sama sekali, hal tersebut menunjukkan tidak adanya keterbukaan.

“Pengesahan Undang-Undang Minerba menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada keterbukaan selama perancangan, bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan,” katanya.

Riki juga menyoroti tidak adanya peran DPD RI dalam pembahasan UU, padahal menurutnya DPD juga memiliki hak karena berkaitan dengan otonomi daerah.

“Kami tidak akan mengkhianati tuannya, kami mahasiswa dibantu oleh rakyat, bahwa kami mahasiswa akan terus berjuang. Ingat, sejarah negara dibangun oleh pemuda. Seperti kita ketahui rezim zalim akan tumbang. Kami menolak UU Minerba karena mendewakan manusia sebagai pusat alam semesta,” tegasnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Edra Satmaidi mengatakan pembuatan UU harus memperhatikan landasan filosofis dan sosiologisnya, apakah memberikan dampak yang lebih baik pada masyarakat.

Pembuatan UU harus berprinsip kemandirian, berwawasan lingkungan, memperhatikan kesejahteraan, berdimensi HAM dan norma UU haruslah berlaku umum kepada siapa saja, perseorangan, operasi, swasta, BUMD, kesempatan yang sama dalam usaha pertambangan.

“Harusnya semua keputusan ada pada negara, selalu menempatkan negara berdaulat di situ. Sudah saatnya kita tegakkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam,” ucapnya.

Dari Kalimantan,  Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan, berdasarkan sidang rakyat secara virtual dan langsung pada media sosial, disepakati bahwa warga Kalimantan menuntut UU Minerba dibatalkan.

“Dalam sidang rakyat dengan tema Suara Rakyat Kalimantan yang ditayangkan secara langsung melalui medsos kemarin, semua sepakat minta UU Minerba dibatalkan karena menjadi pembuka jalan penghancuran ekologi di Kalimantan,” ujar dia melalui rilis di Samarinda, Minggu (31/5).

Sidang rakyat digelar karena sebelumnya DPR mengesahkan perubahan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) atau UU Minerba dalam rapat paripurna pada Selasa (12/5).

Berbagai hal yang muncul dalam sidang rakyat secara virtual itu, antara lain pernyataan Taufik Iskandar, perwakilan masyarakat Desa Santan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim. Ia menyatakan kerusakan akibat penambangan di wilayahnya sangat kompleks.

Menurut dia, limbah yang dibuang ke Sungai Santan menyebabkan polusi air parah, sehingga masyarakat tidak lagi bisa memperoleh air bersih secara gratis.

Bahkan, kini warga harus merogoh Rp200.000-Rp400.000 untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Sungai itu sempat menjadi sumber penghasilan warga dengan tangkapan udang dan ikan, mereka bisa mengantongi sedikitnya Rp 300.000-Rp 400.000 dari hasil berburu di sungai.

Lubang-lubang bekas penambangan yang jaraknya sangat dekat dengan pemukiman warga pun menjadi isu yang tidak kunjung ada jalan keluarnya.

“Seperti yang terjadi di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, rumah warga dilanda banjir lumpur jika hujan. Bahkan, lubang-lubang bekas tambang yang menganga ini telah memakan korban jiwa,” katanya.

Rahma Wati, orang tua yang harus menanggung kesedihan akibat anaknya menjadi salah satu dari 30 korban meninggal akibat lubang-lubang tambang tersebut pun menyesalkan keputusan pemerintah dan DPR yang meloloskan UU Minerba.

Ia menilai produk hukum itu akan memberikan kewenangan sebesar-besarnya kepada perusahaan tambang untuk mengembangkan bisnisnya tanpa memperdulikan aspek sosial, ekonomi, bahkan keselamatan warga sekitar.

Ria Anjani dari Jaringan Advokasi Tambang Provinsi Kalimantan Utara juga meminta pemerintah membatalkan UU Minerba, karena tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dan mengesampingkan kebutuhan masyarakat.

Ia menolak adanya penambahan izin penambangan baru serta mendesak agar kasus-kasus hukum di Kalimantan Utara dievaluasi.

Pemberian izin yang tumpang tindih di Kalimantan Utara pun menjadi sumber bencana. Di Kabupaten Malinau, PDAM telah menghentikan distribusi air karena sumber air di sejumlah sungai di kawasan itu tidak bisa disaring.

“Masifnya penambangan di Kabupaten Bulungan, menyebabkan laju deforestasi dan pencemaran di laut tidak tertahankan, sehingga tidak hanya penduduk darat yang dirugikan, tetapi juga penduduk pesisir,” ucap Ria.(wh/ant)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *