Paradoks Antara Tahun Ajaran Baru dan Kehidupan Normal Baru menurut Para Pakar

Ilustrasi. Foto: Google Images
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Forum Berbagi Ilmu menggelar diskusi online dengan mengangkat tema: “Paradoks Antara Pembukaan Tahun Ajaran dan Kehidupan Normal Baru.” Diskusi ini berlangsung atas kolaborasi antara: Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Komunitas Literasi Gizi (Koalizi), Literasi Sehat Indonesia (Lisan) dan, Dep. Kesehatan BPP. Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan.

Forum yang digelar Sabtu (6/6) diharapkan menjadi ajang saling berbagi nasihat . Nasihat tentang apa yang benar dan tentang apa yang baik serta bermanfaat bagi kehidupan kita sehari-hari sebagai warga masyarakat dan bangsa.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Saling menguatkan agar selalu bersabar dan menahan diri dalam berbagai hal, termasuk menahan diri untuk tidak mengambil kebijakan yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan anak kita sendiri.

Ada lima pembicara hebat yang ikut dalam diskusi tersebut. Di antaranya Ketua Umum PGRI Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., lalu Dr. dr. Aidah Juliaty A. Baso, Sp.A (K) dari Dep. Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Hasanuddin.

Pembicara lainnya, Dr. Aminuddin Syam, S.KM., M.Kes., M.Med.Ed. Dia adalah pakar Kesehatan Masyarakat/Dekan FKM. Universitas Hasanuddin, dan Dr. Seto Mulyadi, S.Psi, M.Si yang lebih dikenal dengan sapaan Kak Seto, seorang Psikolog/Ketua Lembaga Perlidungan Anak Indonesia.

Mengangkat tema ’Pembukaan Sekolah Baru di Era New Normal’, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd mengatakan, pendidikan pada era new normal harus beradaptasi dengan kebiasaan baru agar para siswa dan guru dan warga sekolah terlindung dari wabah, dan dapat belajar kembali dengan normal.

Ketua Umum PGRI Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. Foto: Wikipedia

Menurutnya, para siswa, guru, dan warga sekolah dikondisikan agar mematuhi protokol kesehatan. ”Karena keselamatan dan kesehatan menjadi pertimbangan utama pada era new normal. Namun, hak anak untuk memperoleh layanan pendidikan juga harus tetap terlayani. Dengan demikian, dapat membawa pendidikan kita memasuki sistem yang baru, yang intinya adalah mengubah perilaku keseharian yang mungkin baru sama sekali,” katanya.

Menurutnya, cara yang tepat melakukan pendidikan pada era new normal adalah siswa harus didorong untuk melakukan kebiasaan hidup bersih, seperti menggunakan masker, cuci tangan, olahraga serta makan makanan sehat dan bergizi. Social-distancing dikondisikan.

”Perilaku hidup bersih dan sehat sesuai protokol kesehatan. Mengatur ulang jumlah siswa per-kelas, jam istirahat, jam belajar, dan kerumunan keluar masuk sekolah. Keharusan mengajar 24 jam harus ditinjau ulang. Tata kelola Pendidikan harus diperbarui,” katanya.

Untuk melakukan pendidikan era new normal, di mana saja bisa dilakukan yang penting aman, bisa di sekolah bisa juga di rumah. Pembelajaran dapat dilakukan secara online (daring), offline (luring), dan campuran daring-luring (blended learning).

Dalam mewujudkan pendidikan era new normal maka perlu kerjasama guru, orang tua, dan siswa sebagai “Tri pusat pendidikan”, ditambah dengan sumber belajar terbuka dan dapat di akses oleh siswa dari mana saja. Pemerintah, pemerintah daerah, kepala sekolah, pengawas adalah aktor-aktor yang sangat menentukan keberlangsungan pendidikan new normal.

Kondisi objektif sekolah hari ini menurut survey internal, Prof. Unifah menjelaskan bahwa baru 45 persen jaringan internet masuk sekolah, siswa yang memiliki gadget terbatas, infrastruktur internet masih terbatas, cuaca dan letak geografis mempengaruhi kualitas koneksi, tegangan listrik tidak stabil dan sering terjadi pemadaman listrik.

”Tidak ada tenaga khusus yang mengelola TIK di sekolah, guru terkadang merangkap teknisi, kurangnya kemampuan tenisi sekolah dalam mengelola jaringan, keterbatasan sarana dan prasarana TIK (kompouter/laptop), kurangnya pengetahuan guru dan siswa terhadap portal pembelajaran, lebih sering digunakan sebagai media komunikasi, 16% guru yang siap melakukan pembelajaran online, 46 persen guru yang baru mengenal pembelajaran online, kurikulum dan pelatiahan masih berorientasi konten dan pembelajaran terbiasa face to face relationship,” katanya.

Sementara Dr. dr. Aidah Juliaty A. Baso, Sp.A (K) memilih tema ’ Kerentanan Anak Usia Dini Dan Anak Usia Sekolah Terhadap Covid-19’. Menurut dia, Covid 19 pada anak menunjukkan spektrum klinik dan laboratorik yang agak berbeda dibandingkan dengan dewasa. Mayoritas anak yang terkena adalah asimtomatik atau bergejala dan tanda ringan.

Covid 19 pada anak berbeda karena ACE2 Reseptor pada anak belum matur dan memiliki binding-ability yang rendah.Perbedaan respon inflamasi terhadap patogen (kuantitatif dan kualitatif).

”Imunitas pada anak ditandai dengan penurunan Jumlah CD4 sel T seiring bertambahnya usia. Perubahan jumlah Limfosit T dikaitkan dengan perubahan dan atrofi timus. Anak umumnya di rumah sehingga risiko menjadi sakit dan terinfeksi lebih rendah,” kata dia.

Menurut data IDAI, tren kasus Covid 19 pada anak menunjukkan peningkatan. pertanggal 1 Juni 2020, PDP anak sebanyak 4543 kasus, PDP meninggal sebanyak 163 anak, kasus konfirmasi sebanyak 955 kasus dan konfirmasi meninggal sebanyak 26 anak.

Kematian anak berdasarkan usia karena kasus Covid 19 ditemukan pada usia 0-28 hari sebesar 4 persen, 29 hari – 11 bulan 29 hari sebesar 31 persen, usia 1 – 5 tahun 31 persen, usia 6 – 9 tahun 11 bulan 29 hari sebesar 7 persen dan usia 10 – 18 tahun sebesar 27 persen.

Tema ’Pembukaan Tahun Ajaran Baru pada Era New Normal (Perpektif Kebijakan Publik) dipilih oleh Dr. Chazali Situmorang, Apt., M.Sc. Pakar Kebijakan Publik ini mengatakan, kebijakan hanya dikeluarkan oleh pemerintah bukan oleh pengamat ataupun masyarakat.

Pakar Kebijakan Publik Dr. Chazali Situmorang.,Apt., M.Sc. Foto: Ist

Karena itu, katanya, ketika berbicara kebijakan publik berarti berbicara masalah kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijakan publik yang bagus adalah kebijakan yang melihat substansi kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan.

”Banyak kebijakan secara konsep indah namun minim implementasi, disisi lain terdapat implementasi namun tidak tepat sasaran maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan di mana parameter perlu ditentulkan, manfaat dan implikasinya,” kata Chazali.

Kebijakan tahun ajaran baru dalam new normal life, kata dia, harus memberikan jaminan aman berupa keamanan anak-anak dan terbebas dari risiko transmisi virus di lingkungan sekolah, selain itu juga menjamin kesehatan dengan memenuhi konsumsi agar terjaga imunitas tubuh dan bagaimana aktivitas pendidikan di kehidupan normal dapat produktif sehingga dapat memenuhi target proses belajar mengajar itu harus dapat tercapai, supaya kualitas murid-murid itu tetap terjaga. Jangan karena Covid ini menyebabkan menurunnya mutu pendidikan.

”Secara substansi new normal belum ada regulasinya secara nasional, adapun ide/gagasan pemerintah pusat masih berputar di birokrasi dan belum menyentuh ke lapisan masyarakat, selain itu new normal masih bergantung pada persepektif sektoral/kementrian, sehingga besar kemungkinan terjadi perbedaan cara pandang dan sikap. Pada masa new normal juga ada fase transisi dan belum sesuai dengan standar WHO sebagai syarat penerapan New Normal life,” katanya.

Sementara itu Dr. Aminuddin Syam, SKM., M.Kes., M.Med.Ed memaparkan, hingga saat ini belum ada kesepakatan pakar tentang perbedaan daya tahan tubuh antara anak-anak dan orang dewasa terkait dengan Covid-19.  Di sisi lain Covid-19 memiliki karakteristik yaitu agresif dengan tingkat penularan antarmanusia yang tinggi, pola penyebaran yang luas dan berjalan dengan cepat, dapat menempel dan bertahan hidup pada permukaan benda, risiko komplikasi dan tingkat Fatality Rate yang tinggi.

Hal ini, katanya, berdampak pada berbagai bidang termasuk bidang pendidikan yang tercermin dari metode pembelajaran on site menjadi on line (Study From Home atau Belajar Dari Rumah)

Belajar dari rumah memiliki banyak tantangan di antaranya guru dituntut produktif dan kreatif agar bisa menggelar kegiatan belajar mengajar secara daring sama efektifnya dengan tatap muka. Selain itu diperlukan infrastruktur teknologi yang memadai dan koneksi internet yang stabil.

”Ketersediaan perangkat komunikasi seperti smartphone atau laptop akan mengakibatkan kesenjangan yang semakin tajam. Juga dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengakses seluruh kelas yang digelar secara online (School is closed, but learning is open). Selain itu distraksi konten lain yang ada di internet selama proses belajar (sosial media, game, movie, dll) sehingga dibutuhkan kolaborasi yang baik antara guru dan orangtua,” katanya.

Pembukaan sekolah di masa pandemi yang belum selesai berpotensi memunculkan klaster baru. ”Kita bisa mengambil lesson learned dari beberapa negara di Eropa, seperti Finlandia, Prancis, dan Inggris, yang memiliki sistem kesehatan yang baik dan membuka kembali sekolah dengan persiapan yang matang dan protokol kesehatan yang ketat, ternyata juga tidak aman dan malah menimbulkan klaster baru di lingkungan sekolah,” katanya.

Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si. Foto: Media Indonesia

Di ujung acara, Dr. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si atau Kak Seto memilih temaNormal Baru Berbasis Hak Anak.’ Menurutnya, hak dasar yang dimiliki anak adalah hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk dilindungi dan hak untuk berpartipasi. Anak-anak memiliki kesenangan untuk belajar, senang bermain, senang bergerak, senang berpeluang, senang mencoba dan kreatif, dan senang melawan.

”Dunia anak adalah dunia bermain sehingga jika terpaksa harus belajar di rumah saja, jangan terlepas dari nuansa gembira saat bermain. Kalau perlu juga melibatkan unsur R.T.-R.W. Namanya rukun tetangga, jadi harus juga rukun dalam menghadapi Covid-19 dalam berbagai kekompakan. Salah satu seksi perlindungan anak di tingkat R.T., dikenal SPARTA  (Seksi Perlindungan Anak Rukun Tetangga),” kata Kak Seto.

Menurutnya, pendidikan karakter adalah inti dari pendidikan yaitu etika dan suasana penuh kasih sayang, maka stop kekerasan dalam dunia pendidikan jika terpaksa belajar di rumah. ”Belajar tidak harus dengan kekerasan. Kekerasan pada anak hanya akan merusak karakter anak. Impian anak adalah sekolah dan di rumah yang ramah anak. Dan hindari anak untuk menatap layar televisi dan gadget,” katanya. (wh)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *