#KAYA #BOLEHKAH?

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



#KAYA #BOLEHKAH?

Dalam Islam, mazhab terbesar dan tertua adalah Mazhab Hanafi. Tokoh sentralnya adalah Imam Hanafi (Abu Hanifah), seorang pengusaha besar yang berbisnis minyak dan sutra. Masya Allah…..

Level usahanya sudah mencapai passive income yang sangat stabil. Malam, beliau sibuk khatam Al-Quran dalam sholat. Siang, beliau sibuk mengajar. Kapan ngurus bisnisnya? Gak perlu terlalu diurus. Karena sudah running well…..

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Salah satu murid Imam Hanafi (Abu Hanifah), kemudian menjadi guru bagi Imam Syafii. Dan ini turut mewarnai pemikiran Imam Syafii tentang harta dan kekayaan. Kisah ini disampaikan kembali oleh #GusBaha dalam salah satu ceramahnya yang berbobot tapi ringan dan humoris…..

Simak deh kisahnya…

Dulu awal-awal Imam Syafi’i sempat sinis ketika melihat kekayaan. “Harta itu halalnya dihisab dan haramnya diazab,” itu menurut beliau. Dan itu memang benar. Jadilah beliau pengagum ulama-ulama miskin. Menurut beliau, inilah orang-orang yang bebas hisab.

Singkat cerita, kemudian beliau belajar ke Imam Malik. Dan beliau benar-benar kaget, ternyata karpet di rumah Imam Malik itu, kalau diinjak, mata kaki bisa tenggelam, saking empuknya. Imam Malik kalau mengajar, kursinya lebih tinggi. Bajunya bagus-bagus. Pokoknya, gaya.

Imam Syafi’i mulai membatin, “Ini orang alim, tapi hartanya berlimpah.” Di sisi lain Imam Malik beranggapan, nikmat dari Allah memang harus ditampakkan.

Setelah sekian lama belajar, akhirnya beliau bertanya ke Imam Malik, apakah dia sudah cukup belajarnya. Kata Imam Malik, sudah cukup. Si murid lantas diminta belajar sama orang alim yang lain, tapi sayangnya orang alim ini sudah wafat. Namanya Abu Hanifah. Begitu penjelasan Imam Malik.

“Lantas, saya berguru sama siapa lagi?” tanya Imam Syafi’i.

“Temui muridnya yang sealim dia. Namanya, Muhammad Al-Syaibani,” jelas Imam Malik.

“Lalu, kapan saya berangkat?” tanya Imam Syafi’i lagi.

“Besok!” seru Imam Malik.

Keesokan harinya, diajaklah Imam Syafi’i sama Imam Malik ke pasar sebelah Baqi’ di Madinah. Tangan Imam Syafi’i saat itu digandeng gurunya. Di sana ada rental unta.

Imam Malik bertanya, “Mana kafilah yang hendak ke Iraq? Saya mau sewa.”

“Saya, Tuan Malik!” jawab salah satu kafilah di sana.

Imam Syafi’i dikasih uang dan bekal sama Imam Malik. Kata Imam Syafi’i, “Guruku memberiku sekian dinar.” Kalau di-konversi, sekitar Rp 50 juta rupiah. Imam Syafi’i jadi mikir, ulama miskin yang dia kagumi, nggak pernah ngasih uang. Lha ulama kaya ini malah ngasih uang. Mindset-nya mulai berubah.

Singkat cerita, beliau sampai di Iraq. Begitu tiba di tempat Muhammad Al-Syaibani, beliau lebih kaget lagi. Di ruang tamu Muhammad Al-Syaibani ada emas-emas batangan. Jadi, Muhammad Al-Syaibani menghitung emas-emasnya di ruang tamu. Masya Allah.

Menariknya, emas-emas itu dipotong-potong, lalu dipindah ke gentong yang lain.

Imam Syafi’i sempat membatin, “Duh, melihat kekayaan Imam Malik aja sudah kaget. Di sini malah lebih kaget.” Serunya, Muhammad Al-Syaibani adalah pakar ushul fikih dan nanti ini jadi asbab kenapa Imam Syafi’i menjadi pakar ushul fikih juga.

Sampai-sampai Imam Syafi’i pernah berkata, “Semua orang yang mempelajari kitabku, maka berutang jasa pada Abu Hanifah.” Jelas, karena beliau pertama kali belajar ilmu ushul fikih melalui Muhammad Al-Syaibani, muridnya Abu Hanifah.

Setelah sekian lama berinteraksi, Imam Syafi’i semakin kentara kaget dan takjubnya. Terutama soal harta.

“Kenapa anak muda?” tanya Muhammad Al-Syaibani.

“Heran aja, ulama kok kaya?” ucap Imam Syafi’i.

“Kamu heran?”

“Iya.”

“Ya, sudah. Harta ini saya kasih ke orang-orang fasik.”

Imam Syafi’i langsung berpikir cepat. Terus, beliau berseru, “Jangan, nanti hartanya dipakai zina dan judi.”

Muhammad Al-Syaibani kemudian menegaskan, “Ya! Kalau harta ini saya kasih kepada orang-orang yang nggak jelas, nanti akan dipakai untuk hal-hal yang nggak jelas juga.”

Imam Syafi’i bergumam, “Iya juga ya, kalau harta dikuasai oleh orang-orang fasik, yah repot.” Lalu beliau mengangguk, “Ya sudah, orang alim yang kaya itu nggak masalah!” Mulai saat itu, cara pikir beliau berubah drastis. Dan semakin berubah, karena digembleng terus oleh Muhammad Al-Syaibani.

“Harta yang baik itu membuat teman senang dan membuat musuh benci,” pesan Muhammad Al-Syaibani suatu ketika. Pelan-pelan Imam Syafi’i mulai mikir, “Iya juga ya. Di antara tanda-tanda orang benar itu, dimusuhi oleh si fasik dan si munafik.”

Kemudian Imam Syafi’i menyimpulkan, orang beriman itu harus punya pengaruh, harus punya kekuatan. Bantu share tulisan ini ya, biar jadi inspirasi bagi umat…..

Keterusan mikir gitu, sampai akhirnya terkenal statement dalam madzhab beliau, “Islam itu mulia dan tiada yang melebihi kemuliaannya.” Misal, ada orang lain naik kuda. Nah, orang beriman nggak boleh naik keledai, harus lebih baik daripada itu. Nah, itulah statement hasil didikan dari Muhammad Al-Syaibani.

Pada dasarnya Muhammad Al-Syaibani menyerukan manusia agar hidup dalam berkecukupan, baik untuk dirinya maupun keluarganya. Tapi jangan sampai bermewah-mewahan. Beliau pun tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup, selagi kelebihan tersebut hanya digunakan untuk hal-hal kebaikan.

Ya, sudah semestinya harta digunakan untuk kebaikan di jalan-Nya.

Pada akhirnya, semoga kita semua dititipi ilmu dan harta yang membuat kita bertambah dekat dan taat kepada-Nya. Menaungi orang banyak. Jadi jalan rezeki dan maslahat bagi orang banyak. Aamiin…

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *