Kesalahan Persepsi Seputar Hafal Al-Qur’an

Kesalahan Persepsi Seputar Hafal Al-Qur’an
foto : Unsplash ( membaca Al-Qur'an )
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Kesalahan Persepsi Seputar Hafal Al-Qur’an

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si. Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits Camp di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang dan Sekolah Alam Planet NUFO Pilanggowok Rembang. ( Redaksi Ahli Hajinews.id )

Bagi seorang muslim, hafal al-Qur’an sejatinya sangatlah penting. Sebab, al-Qur’an merupakan salah satu sumber utama ajaran Islam yang ayat-ayatnya tidak disusun secara berurutan atau sistematik sebagaimana tulisan ilmiah yang fokus pada satu tema. Namun, keseluruhan ayat yang sesungguhnya tidak terlalu banyak itu, merupakan sumber ilmu pengetahuan sebagai petunjuk bagi seluruh dinamika kehidupan. Awal sebuah ayat bisa berhubungan dengan awal, tengah, atau akhir ayat-ayat lainnya dan membentuk sebuah perspektif. Akhir ayat yang sama, bisa berhubungan dengan awal, tengah, atau akhir ayat yang lain dan membentuk sebuah pandangan dunia. Demikian seterusnya, sehingga al-Qur’an menjadi semacam hand book yang kaya ajaran untuk umat manusia dari sejak ia diturunkan sampai hari kiamat. Tentu saja, untuk menemukan perspektif tersebut tidak semua orang mampu melakukannya. Dan di antaranya yang diperlukan untuk sampai pada level mujtahid, hafal al-Qur’an menjadi salah sebuah prasyarat. Ini memang nampak sebagai sebuah proyek ambisius, bukan sekedar karena pemahaman literal kepada hadits bahwa penghafal al-Qur’an akan memakaikan mahkota kepada orang tuanya di akhirat.

Namun, masih banyak persepsi keliru tentang hafal al-Qur’an, di antaranya:

Pertama, menghafal 30 juz bisa dilakukan dengan sekedar mengulang-ulang bacaan. Selama sewindu menemani ratusan anak muda yang berniat menghafalkan al-Qur’an, mereka yang tidak memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik, tertinggal jauh. Ada yang bisa menghafal 30 juz, tetapi prosesntasenya sangat kecil, hanya tidak lebih dari 0,3 persen saja. Bahwa proses menghafal al-Qur’an adalah dengan cara mengulang adalah benar. Namun, tanpa didahului dengan penguasaan bahasa Arab yang fushhah sebagaimana bahasa al-Qur’an, menghafalkan al-Qur’an secara keseluruhan nyaris menjadi kemustahilan. Sebab, tanpa itu menghafalkan membutuhkan usaha lebih dari tujuh kali lipat dibandingkan yang memahami artinya. Dan jika tidak mengerti artinya, akan lebih cepat lupa. Dengan kata lain, menghafalkan al-Qur’an tanpa arti membutuhkan waktu lebih lama, tetapi lebih cepat lupa. Perspektif ini perlu diperhatikan dengan baik oleh para orang tua yang ingin agar anak menghafalkan al-Qur’an. Memang ada anak yang memiliki kemampuan bawaan jauh di atas rata-rata, sehingga mampu menghafalkan al-Qur’an 30 juz dengan mudah, bahkan angka ayatnya. Namun, anggap saja itu sebagai kasus khusus. Yang umum, jika anak hanya diminta menghafal, tanpa mengetahui artinya, justru mereka akan mengalami kesulitan yang jika tidak ditangani dengan tepat bisa sampai pada level stress dan bahkan keputusasaan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kedua, sekali menghafal, ingat selamanya. Ini adalah persepsi yang sesungguhnya disadari oleh para penghafal al-Qur’an, tetapi mayoritas mengabaikannya. Setelah ayat al-Qur’an dihafalkan, maka perlu terus diulang sesuai dengan daya ingat masing-masing orang. Karena itu, para penghafal al-Qur’an tidak hanya harus muraja’ah alias mengulang sendiri untuk mempertahankan hafalan, tetapi juga harus sima’an. Sima’an adalah membaca al-Qur’an tanpa melihat bersama dengan orang lain sebagai korektor jika terjadi kesalahan. Sebab, tidak sedikit yang merasa hafalan sudah baik, tetapi ternyata faktanya tidak demikian. Korektor inilah yang bisa berfungsi mengingatkan jika terjadi kekeliruan, sehingga bisa segera diperbaiki secara terus-menerus agar kualitas hafalan menjadi lebih baik.

Ketiga, menghafal juz ‘amma atau juz 30 lebih mudah. Ini adalah persepsi keliru tetapi dimiliki mayoritas orang. Yang faktual adalah justru tingkat kekeliruan membaca juz 30 termasuk paling banyak. Sebab, di dalamnya terdapat ayat-ayat dengan kata-kata yang tidak sering diulang, bahkan hanya sekali saja. Ditambah lagi dengan beban mengingat urutan surat-suratnya yang berjumlah banyak. Tidak seperti juz 1 sampai hampir pertengahan juz 3 yang hanya satu surat saja, al-Baqarah. Karena kesan sulit itu, justru karena memulai dari juz terakhur itu, sekaligus menjadi usaha yang terakhir. Dengan kata lain, jika menghafal juz 30 saja sudah sedemikian sulitnya, maka akan lebih sulit lagi menghafalkan 30 juz.

Keempat, penghafal al-Qur’an pasti “cerdas”. Bahwa yang mampu menghafalkan al-Qur’an 30 juz pasti memiliki daya ingat di atas rata-rata. Namun, tidak semuanya mampu mengorganisasikan ayat-ayat itu menjadi sebuah perspektif yang utuh dalam kerangka ilmu. Dalam konteks ini, kecerdasan memorial bisa dipertimbangkan sebagai tambahan jenis kecerdasan untuk delapan kecerdasan yang telah diidentifikasi oleh Howard Gardner. Walaupun semua jenis kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner nampaknya berbasis kepada daya ingat juga. Namun, ternyata ada juga yang memiliki nalar intelektual yang baik, bahkan di atas rata-rata, walaupun sudah mengerahkan segenap daya upaya, tetapi tetap tidak bisa menghafalkan al-Qur’an, karena dalam lebih dari empat bulan hanya mampu menghafal tidak lebih dari dua juz saja, itu pun dengan kualitas hafalan yang jauh dari kata baik.

Kelima, hafalan al-Qur’an bisa luntur/hilang akibat dosa/maksiat. Memang beberapa ulama’ menegaskan tentang ini. Dan ini diterima oleh mayoritas awam yang memiliki kecenderungan beragama yang kuat. Faktanya bahkan ada orientalis yang tidak beragama Islam yang bisa hafal al-Qur’an. Padahal dosa syirik adalah yang paling besar. Jika dosa memang membuat hafalan jadi lemah, maka mestinya hanya muslim taat saja yang bisa hafal al-Qur’an. Sebut saja Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis antek penjajah Belanda, sebagai salah satunya. Perspektif ini perlu ditegakkan agar tidak memandang berlebihan penghafal al-Qur’an. Penghafal al-Qur’an dengan niat yang baik memang memiliki maqam yang baik di sisi Allah. Namun, jika misalnya kelebihan itu diorientasikan untuk duniawi, maka itu bisa menjerumuskan ke dalam dosa.

Lima perspektif tidak tepat itu penting, terutama bagi para orang tua yang ingin memiliki anak hafal al-Qur’an. Juga pimpinan perguruan tinggi yang memiliki kebijakan menerima calon mahasiswa penghafal al-Qur’an, agar memasukkan mereka ke jurusan yang benar-benar sesuai dengan kecerdasan mereka, bukan di sembarang jurusan yang kemungkinan mereka tidak memiliki basic keilmuan yang cukup. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *