Sepanjang 7-21 Oktober 2020, AJI: 56 Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Polisi

Ilustrasi hentikan kekerasan terhadap jurnalis. Foto: Dok Net
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews.id – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat sebanyak 56 jurnalis menjadi korban kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi demonstrasi menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di berbagai daerah sepanjang 7 hingga 21 Oktober 2020.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan, jumlah tersebut mengalami peningkatan yang signifikan dibanding laporan awal yang disampaikan AJI Indonesia pada 10 Oktober 2020, yakni sebanyak 28 kasus. Terbanyak, kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi di Malang sebanyak 15 kasus. Kemudian, Jakarta delapan kasus, dan Surabaya enam kasus.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sementara, dari jenis kasus kekerasan yang dihadapi jurnalis, sebagian besar berupa intimidasi, yakni 23 kasus. Selanjutnya, perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan 13 kasus dan kekerasan fisik 11 kasus.

“Kekerasan terhadap jurnalis ini dikategorikan sebagai pelanggaran menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ironisnya, pelaku dari semua peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis ini adalah polisi, institusi yang seharusnya menegakkan hukum,” kata Sasmito dalam keterangannya, Senin (26/10/2020).

Sasmito menyampaikan bahwa laporan tersebut menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh oknum anggota polisi. Misalnya, saat terjadi aksi demonstrasi mahasiswa menolak revisi Undang-Undang KPK, RUU KUHP pada akhir September 2019 lalu, tercatat ada 10 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Mirisnya, beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis yang telah dilaporkan ke pihak kepolisian ketika itu hingga kekinian belum menemui titik terang kelanjutannya.

Atas hal itu, Sasmito menyampaikan bahwa AJI Indonesia mendesak Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz segera memproses hukum personelnya yang diduga melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis.

“Sebab, kekerasan terhadap jurnalis merupakan tindak pidana yang itu diatur dalam pasal 18 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan, setiap tindakan yang menghambat atau menghalangi jurnalis mencari dan memperoleh informasi bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta,” tegasnya.

Di sisi lain, AJI Indonesia juga mendesak Idham untuk mengkaji materi pendidikan di lembaga pendidikan kepolisian khususnya terkait bagaimana personel polisi menangani aksi unjuk rasa. Menurut Sasmito, tindakan personelnya yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis, dan juga terhadap pengunjuk rasa, mencerminkan adanya ketidakpahaman personel kepolisian terhadap undang-undang.

Selain itu, AJI Indonesia juga mendesak Komisi III DPR untuk mempertanyakan kinerja Polri dalam menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sebagai institusi yang memiliki mandat untuk melaksanakan fungsi pengawasan, DPR dinilai Sasmito perlu memastikan bahwa Polri bekerja secara profesional dalam menegakkan hukum, termasuk memproses hukum personelnya yang terlibat dalam tindak pidana, termasuk kekerasan terhadap jurnalis.

“Mendesak sejumlah lembaga negara seperti Kompolnas, Ombudsman, dan Komnas HAM untuk memastikan polisi bekerja secara profesional, termasuk melakukan proses hukum terhadap personel kepolisian yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, kekerasan oleh polisi terhadap jurnalis ini merupakan peristiwa yang kerap berulang tapi para pelakunya hampir tidak ada yang diproses pidana,” pungkas Sasmito.(mh)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *