Utang BUMN Berpotensi Melonjak, Apa Penyebabnya?

gambar infopublik
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews –Kepala Ekonomi Institut Harkat Negeri (IHN) Awalil Rizky mengingatkan perlunya mewaspadai lonjakan utang BUMN, yang sepertiganya berdenominasi valuta asing.

“Utang Sektor publik (Pemerintah, Bank Indonesia, BUMN) sebesar Rp11.773,84 Triliun per September 2020. Rasio atas PDB (asumsi Rp15.725) mencapai 74,62%. USP cenderung meningkat secara nominal dan rasio. Perlu diwaspadai lonjakan utang BUMN, yang sepertiganya berdenominasi valas,” kata Awalil di akun Twitternya @AwalilRizky, dilasir rri.co.id, Minggu (3/1/2021).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

 

Pengamat ekonomi ini menjelaskan utang BUMN memang diperlakukan sebagai utang swasta, karena kepemilikan negara atasnya merupakan kekayaan yang telah dipisahkan. Namun, dalam aturan lain diperlakukan sebagai bagian dari keuangan negara.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kata dia, berhak melakukan pemeriksaan atasnya, dan DPR bisa meminta keterangan kepada manajemennya. Selain itu, sebagai bagian dari pengelolaan keuangan negara yang baik, catatan utangnya disajikan sebagai bagian dari utang sektor publik tadi.

“Ketika banyak kritik atas utang BUMN yang tampak melonjak, otoritas sempat menjelaskan salah satu sebabnya adalah memasukan data simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK). DPK bank-bank BUMN dikatakan meningkat sehingga mempengaruhi total utang BUMN,” terangnya.

Akan tetapi, memang terjadi peningkatan pesat pada BUMN yang tergolong nonkeuangan. Menurutnya, posisi utang BUMN yang bukan Lembaga Keuangan akhir tahun 2019 mencapai Rp1.004 triliun. “Hampir dua kali lipat dari posisi akhir tahun 2014 yang sebesar Rp504 triliun. Pada periode tahun 2014-2019, kenaikan utang yang bukan DPK meningkat lebih pesat dari pertumbuhan DPK,” jelasnya.

Menurutnya, perlakuan DPK sebagai utang mestinya juga sudah dikaji terlebih dahulu oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Dalam pencatatan atau akuntansi pada industri perbankan sejak awal perlakuannya memang demikian.

Secara analisis, DPK pun biasa diperlakukan sebagai salah satu faktor risiko. Selalu ada risiko DPK berubah menjadi beban ketika terjadi penarikan secara cukup besar. “Risikonya pun cenderung meningkat dalam kondisi perekonomian yang mengalami resesi dengan skala yang cukup dalam,” ujarnya.

Bank Indonesia juga memberi informasi bahwa posisi USP terdiri dari yang berdenominasi rupiah sebesar Rp8.107 triliun.

Sedangkan yang berdenominasi valuta asing, dihitung dalam kurs tengah BI pada akhir September, sebesar Rp3.667 triliun. “Dengan kata lain, USP dalam valas telah mencapai 31% dari totalnya. Sebagian besar dalam dolar Amerika,” pungkas Awalil. (ingeu/dbs)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *