Dugaan Korupsi BPJS Ketenagakerjaan Rp43 Triliun M, Pengawasan OJK Dipertanyakan

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Terungkapnya dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp43 triliun disebut pengamat kian menegaskan lemahnya pengawasan oleh Dewan Pengawas dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pasalnya, kasus serupa juga terjadi pada dua perusahaan milik pemerintah lainnya, yakni Jiwasraya dan Asabri.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, mengatakan jika bersandar pada penjelasan Kejaksaan Agung yang menyebut dugaan korupsi di BPJS Ketenagakerjaan mirip dengan kasus PT Asuransi Jiwasraya, maka semakin menguatkan lemahnya pengawasan oleh lembaga independen seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Padahal, katanya, pengawasan investasi saham yang dilakukan perusahaan pelat merah sudah menjadi tanggung jawab OJK.

Pada kasus Asabri, sambung Irvan, OJK tidak melakukan apa-apa terhadap laporan keuangan yang diserahkan perusahaan tersebut.

Begitu pula terhadap Jiwasraya yang dianggap tidak cepat dan tegas sehingga berbuntut pada gagal bayar klaim pada tahun 2018 silam.

“Seperti kasus Asabri, dikatakan tidak di bawah OJK kenyataannya Asabri membayar iuran OJK dan melapor ke OJK tapi OJK tidak melakukan apa-apa dengan laporan-laporan yang dibuat Asabri.

“Jadi ini soal pengawasan dan penegakan sanksi,” ujar Irvan Rahardjo seperti dilansir BBC News Indonesia, Rabu (20/01).

“Selain masalah keuangan, laporan keuangan perusahaan milik negara kerap tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya atau fiktif,” kata Irvan.

Hal itu nampak pada laporan Jiwasraya, di mana setelah dilakukan audit mengalami kekurangan cadangan premi karena tidak memperhitungkan penurunan asset, paparnya.

Hal lain, sambungnya, demi mendapat keuntungan besar perusahaan asuransi terjebak pada saham-saham lapis ketiga yang memiliki fundamental kurang baik, ditambah lagi dengan pemilihan produk reksadana yang berkinerja negatif.

“Tidak memakai protokol investasi yang baik, menanamkam saham pada saham lapis dua atau tiga yang sangat fluktuatif,” imbuhnya.

Ketua OJK, Wimboh Santoso, tidak menjawab pertanyaan yang dilayangkan BBC Indonesia. Dua surat elektronik yang dikirim ke [email protected] juga tidak dibalas.

Adapun Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah memeriksa 20 orang sebagai saksi.

Mereka di antaranya JHT yang merupakan Presdir PT Ciptadana Sekuritas; PS adalah Presdir BNP Paribas Asset Management; KBW selaku Deputi Direksi Pasar Modal Uang dan Reksadana BPJS Ketenagakerjaan; dan SM sebagai Deputi Direktur Kepatuhan dan Hukum BPJS Ketenagakerjaan.

Kejagung memeriksa para saksi berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Print-02/F.2?fd.2/01/2021, kata salah-seorang pejabatnya.

“BPJS saat ini masih kita lihat karena transaksinya banyak seperti Jiwasraya. Nilainya sampai Rp43 triliun sekian di reksadana dan saham,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Febri Ardiansyah, Selasa (19/01).

Daana pekerja yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp486 triliun. Dugaan korupsi akan menyebabkan ketidakpercayaan

Mencuatnya kasus ini, kata Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, bakal menimbulkan ketidakpercayaan bagi peserta yakni pekerja.

Karena itu, ia meminta pihak BPJS Ketenagakerjaan jujur dan membuka data investasi sahamnya kepada publik agar kepercayaan peserta terhadap perusahaan terjaga.

Sebab, dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp486 triliun.

“Jadi memang tentunya kalau terbukti ada kerugian investasi ya kalangan pekerja akan mengatakan, ‘kok pengelolaan uang buruh tidak dikerjakan dengan profesional. Artinya muncul ketidakpercayaan,” kata Timboel Siregar dilansir dari BBC News Indonesia.

Namun begitu, sejauh pengamatannya, mayoritas saham yang dibeli BPJS Ketenagakerjaan memiliki fundamental yang baik atau masuk kategori LQ45.

Kendati dari 25 saham tersebut, sembilan di antaranya belakangan terpental dari LQ45 karena harganya jatuh.

Tapi meski harganya turun belum terjadi kerugian lantaran pihak BPJS Ketenagakerjaan belum melakukan ‘cut loss’ atau menjual saham pada harga yang lebih rendah dari harga beli.

“Itu namanya unreal loss dan hal biasa, dulu beli harga Rp10.000, sekarang turun. Tapi itu belum loss kalau belum terealisasikan,” ujar Timboel Siregar.

Tindakan korupsi, menurutnya, bisa muncul kalau ada ‘persetujuan di bawah meja’ antara pemilik saham dengan direksi BPJS Ketenagakerjaan agar membeli saham tertentu demi mengerek harga.

“Misalnya nih perusahaan kategori LQ45 dalam rangka menaikkan sahamnya, minta BPJS beli sahamnya, supaya masyarakat lihat sahamnya bagus dan mengerek harga.

“Itu bisa terjadi tapi harus benar-benar diperiksa dari sisi analisa. Apakah asal-asalan, kalau ada motif begitu ya salah BPJS,” ungkapnya.

Ia pun berharap ke depan, pemerintah dan DPR memilih anggota Dewan Pengawas dengan latarbelakang beragam yakni tidak hanya diisi orang perbankan tapi juga pasar modal.

“Kita butuh orang pasar modal untuk mengawasi investasi saham dan reksadana. Yang ada saat ini enggak ada orang pasar modal, cuma cuap-cuap doang.”

Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Irvansyah Utoh Banja, mengatakan pihaknya menghormati proses penyidikan di Kejaksaan Agung dan mengedepankan azas praduga tak bersalah.

“Kami siap memberikan keterangan secara transparan untuk memastikan apakah pengelolaan investasi sudah sesuai dengan ketentuan,” ujar Utoh.

Kata dia, dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2020 mencapai Rp486,38 triliun.

Dalam pengelolaan investasi BPJS Ketenagakerjaan, klaimnya, selalu mengutamakan aspek kepatuhan dan kehati-hatian.

Sepanjang tahun 2020, hasil investasi dari lima jenis seperti surat utang, saham, deposito, reksadana, dan investasi langsung mencapai Rp32,30 triliun.

Namun demikian, investasi terbesar dalam bentuk Surat Utang sebesar 64%, sisanya adalah Saham 17%, Deposito 10%, Reksadana 8% dan investasi langsung 1%.

Khusus untuk investasi saham, ia mengaku, ditempatkan pada saham dengan kategori LQ45 yang artinya memiliki likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar besar serta didukung oleh fundamental perusahaan yang baik.

“Kualitas aset investasi BPJS sangat baik, terlihat per 31 Desember 2020 sebanyak 98% dari portofolio saham ditempatkan pada saham kategori LQ45.” katanya.(dbs).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *