Refleksi 74 Tahun HMI ; Posisi dan Peran Sosial-Politik HMI

Refleksi 74 Tahun HMI ; Posisi dan Peran Sosial-Politik HMI
Dayanto, Pengurus Badko HMI Maluku-Maluku Utara Periode 2006-2008
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh : Dayanto, Pengurus Badko HMI Maluku-Maluku Utara Periode 2006-2008

Hajinews – Sebagai organisasi kemahasiswaan Islam tertua dan terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tidak mungkin untuk diisolasi dari tanggungjawab sosio-intelektual untuk memajukan kehidupan kebangsaan dan keummatan di Indonesia. Kebesaran HMI sama dan sebangun dengan besarnya tanggungjawab sosio-intelektual yang harus dipikul oleh HMI. Oleh karena itu, keadaan kebangsaan dan keumatan saat ini yang masih dililit oleh berbagai problem multidimensional selalu memunculkan pertanyaan dan sikap outokritik dari internal warga HMI maupun kritik dari masyarakat pada umumnya: “Berbuat apa saja HMI saat ini ?”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tulisan singkat ini hendak mengajukan: Pertama, perspektif untuk mengenali grand narasi sebagai hasil kontestasi narasi yang tumbuh di tubuh dan aktivitas HMI di tengah perjalanan panjangnya sebagai organisasi kemahasiswaan Islam Indonesia. Perspektif ini penting untuk memahami sekaligus merefleksikan keadaan kekinian yang dialami oleh HMI terutama dalam konteks usia bilogisnya yang saat ini telah berusia 74 Tahun pada 5 Februari 2021.  Kedua, tawaran tentang posisi sosial-politik yang mesti diperankan oleh HMI  yang senafas dengan nilai-nilai yang dianut dalam doktrin perjuangan (NDP) HMI maupun mission secre yang secara normatif tertulis dalam konstitusi HMI.

Grand Narasi: Kontestasi Narasi Di HMI

Narasi berkaitan dengan nilai dan pemikiran yang tampil membentang pada setiap lintas zaman dan generasi dalam suatu komunitas berfikir (Bandingkan Lyotard:1984). Di dalam komunitas berfikir itu, terdapat berbagai macam narasi yang saling berkontestasi. Produk dari kontestasi narasi itu memunculkan tampilnya grand narasi sebagai narasi dominan. Grand narasi inilah yang umumnya memberi kode atau tanda bagi periode zaman dan generasi itu.

Dalam kontestasi narasi ini, setidaknya dapat dikenali tiga grand narasi  di HMI (Bandingkan dan lihat Arif Musthopa, 2007). Pertama, grand narasi heroisme. Ha Ini ditandai dengan keseluruhan gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis Indonesia.

Kedua, grand narasi intelektualisme. Hal ini dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, beritjihad, atas kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Grand narasi ini mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid (alm).

Ketiga, grand narasi politisme. Yakni dominasi logika kekuasaan dan mainstream berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Grand narasi ini diawali dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa” HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada situasi stagnasi yang oleh Arip Musthopa (2007) disebut sebagai ‘gelombang beku’ (freezed) yang terjadi di akhir tahun 1990-an hingga saat ini.

Oleh Musthopa, gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk grand narasi politisme.

Problem Orientasi

Jika dievaluasi, dalam suasana kebebasan sosial-politik pasca rezim otoritarian orde baru saat ini, HMI belum mampu keluar dari kerangkeng gelombang beku yang diproduksi oleh grand narasi politisme. Kenyataannya sebagai organisasi dengan jaringan struktural yang besar, membeku bersama kebesarannya. Secara internal, kebekuan ini terlihat pada munculnya sindrom dualisme dalam kepemimpinan organisasi HMI akibat sibuk berkelahi internal untuk memuaskan ambisi struktural kelompok-kelompok yang saling berkelahi. Berbagai jenis pengkaderan formal dan non formal yang dilakukan tidak memiliki outcome untuk membangun tradisi kolektif kolegial dalam pikiran struktural HMI.

Pengkaderan gagal membangun tradisi mazhab intelektual HMI seperti yang secara gemilang pernah dimunculkan oleh grand narasi intelektualisme. Justeru, pengkaderan kerap didistorsi menjadi mesin untuk memproduksi anggota baru yang tumbuh menjadi gerbong-gerbong kelompok yang getol menciptakan friksi dan saling berkelahi untuk memperebutkan mitos-mitos kebesaran HMI, yang ujungnya dapat ditebak berharap mendapatkan rente kebesaran HMI.

Secara eksternal, akibat membekunya iklim intelektual dalam tubuh dan aktivis HMI maka kapasitas HMI dalam melakukan respon akademik terhadap problem kebangsaan dan keumatan menjadi sangat terbatas. Hal umum yang bisa dilakukan hanyalah merayakan peristiwa-peristiwa ritual kebangsaan dan keagamaan tanpa mampu merumuskan, meresolusikan dan mengadvokasi resolusi-resolusi dari setiap peristiwa yang dirayakan.

Terlebih lagi, akibat kebekuan intelektual ini HMI gagap dalam melakukan respon akademik dalam melahirkan dan memimpin momen-momen perubahan. Justeru yang kerap terlihat, secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan HMI (aktivis HMI) menjadi pemandu sorak politik untuk menyokong kepentingan politik praktis elit.  Bahkan, adakalanya para elit HMI menjadikan keterlibatannya sebagai partisan politik (terutama sebagai ring satu elit politik) sebagai prestasi yang prestisius dalam karir ber-HMI.

Situasi seperti inilah yang menandai terjadinya krisis orientasi yang berkepanjangan dalam tubuh dan aktivis HMI. Jika di era orde baru kita mengenal istilah “floating mass”, maka di era pascaorde baru saat ini HMI dan sebagian besar kader-kadernya masih terjebak dalam situasi “floating activism”, yakni aktivis mengambang yang tidak memiliki kejelasan orientasi dalam pergerakan dan perjuangan.

Kelas Menengah Profetik

Krisis orientasi yang berkepanjangan akibat kerangkeng gelombang beku yang diproduksi oleh grand narasi politisme dalam tubuh dan aktivis HMI sudah saatnya dihentikan. HMI dan aktivis-aktivisnya harus kembali pada khittah keberadaannya sesuai dengan mission secre yang dikonstruksi oleh Nilai Dasar Perjuangan (NDP) maupun tujuan mulia “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil, makmur yang diridhoi Allah SWT”.

Di tengah suasana kebebasan sosial-politik saat ini, dengan modal sistem pengkaderan berbasis NDP yang mapan, dukungan jaringan struktural organisasi yang berjejaring dari pusat sampai ke daerah, serta jumlah keanggotaan yang besar dan produksi kader terus-menerus, mestinya HMI mampu tampil sebagai kekuatan sosial yang terkonsolidir. Adapun jenis kekuatan sosial yang cocok dengan sumberdaya dan profil yang dimiliki oleh HMI adalah sebagai kekuatan kelas menengah profetik

Kelas menengah yang dimaksud adalah lapisan masyarakat yang berada diantara lapisan masyarakat jelata dan lapisan pemilik kapital (ekonomi/politik). HMI merupakan kelas menengah intelektual karena dihuni oleh mahasiswa Islam sebagai insan akademis. Lebih jauh, karakter kekuatan kelas menengah HMI harus memiliki kekhasan yakni profetisme. Artinya, HMI merupakan kelas menengah intelektual Islam yang mengusung misi profetik, sehingga gerakan kelas menengah yang diperankan oleh HMI adalah gerakan kelas menengah profetik.

Gerakan kelas menengah profetik HMI dapat dirujuk pijakannya pada Q.S. Ali Imran: 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Dalam pandangan Kuntowijoyo (2006), kandungan Q.S. Ali Imran: 110 ini dapat diobjektivikasi dalam tiga aspek penting yang tidak terpisahkan, yakni Pertama, humanisasi (amar ma’ruf), melalui gerakan sosial edukatif yang menekankan pada gerakan penyadaran sosial-politik dan penyebaran gagasan-gagasan demokrasi, hak-hak asasi, anti korupsi dan sebagainya. Humanisasi  bertujuan untuk memanusiakan manusia.

Kedua, liberasi (nahi munkar), melalui gerakan sosial korektif baik melalui kajian-kajian akademik yang dipublikasikan sebagai counter hegemony, advokasi kebijakan, sampai dengan aksi pressure group melawan rezim pusat atau lokal yang menindas. Liberasi bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari kekejaman kemiskinan struktural, ataupun pemerasan terhadap alam dan kehidupan sosial.

Ketiga, transendensi (tu’minuna billah), yang bertujuan untuk memberi makna dan mutu aksiologis pada gerakan bahwa ikhtiar dan tujuan gerakan sosial yang dilakukan merupakan wujud dari persaksian akan nilai-nilai transendensi-Ketuhanan.

Postskriptum

Jika diamati, keseluruhan aspek yang dikandung dalam misi gerakan kelas menengah profetik membutuhkan prasyarat kemampuan intelektual atau akademis yang handal serta disiplin dan konsistensi etik yang tinggi dari kader-kader HMI. Oleh karena itu, gerakan kelas menengah profetik HMI harus mampu mengarusutamakan tradisi yang diwariskan oleh grand narasi intelektualisme dan historisme dalam tubuh dan aktivis HMI untuk dirundingkan dengan persoalan-persoalan zaman yang dihadapi oleh bangsa dan ummat Islam di Indonesia. Dan saya meyakini tanpa keraguan sedikitpun, HMI punya semua variabel untuk mewujudkannya. (Yakin Usaha Sampai).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *