Tokoh Muhammadiyah Di Balik Sejarah Berdirinya Kementerian Agama

Tokoh Muhammadiyah Di Balik Sejarah Berdirinya Kementerian Agama
KH. ABU DARDIRI (1895-1967)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Pada tahun 1943, Abu Dardiri menetap di Purwokerto. Menurut Suwarno (2014: 82), kepindahan Abu Dardiri dari Purbalingga ke Purwokerto disebabkan karena ia mengemban amanat sebagai Konsul Muhammadiyah daerah Banyumas. Jabatan Konsul pada waktu itu masuk dalam struktur Hoofdbestuur (sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah yang menjalankan tugas dan fungsi di masing-masing daerah. Adapun jabatan ketua Muhammadiyah Purbalingga diserahkan kepada H. Djawawi Hasjim dan KH. Sjarbini. Pada masa penjajahan Jepang, selain tetap menjalankan roda bisnis percetakan dan berjuang di Muhammadiyah, Dardiri mendapat amanat sebagai Kepala Jawatan Agama untuk wilayah Karesidenan Banyumas.

Memasuki masa kemerdekaan, pada tahun 1945, Dardiri terpilih sebagai Ketua Partai Masyumi Purwokerto. Ia juga masuk dalam Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Banyumas sebagai ketua muda. Dalam KNI Banyumas inilah kiprah Abu Dardiri sangat menentukan dalam proses memperjuangkan usul pembentukan Kementerian Agama.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pada waktu itu, untuk mengakomodasi persoalan-persoalan umat Islam, pemerintah menampungnya dalam Kementerian Pengajaran. Abu Dardiri meninggal dunia pada 1 Agustus 1967 di kediamannya di Jalan Ragasemangsang, Purwokerto. Ia wafat dalam usia 72 tahun meninggalkan dua orang istri dan lima orang anak (Suara Muhammadiyah, no. 16 Th. XLVII/Agustus 1967). Kementerian Agama Rapat pleno KNI daerah Banyumas pada awal November 1945 menetapkan KH. Abu Dardiri dan Haji Soleh Su’aidy untuk memperjuangkan usul pembentukan Kementerian Agama dalam BPKNIP di Jakarta pada tanggal 25 November 1945.

Pada waktu itu, KNIP berfungsi sebagai lembaga legislatif sebelum terbentuk lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berangkat ke Jakarta, kedua tokoh tersebut ditemani Sukoso Wirjosaputro yang juga anggota KNI Banyumas. Di pundak ketiga tokoh inilah usul pengadaan Kementerian Agama dari KNI daerah Banyumas dibebankan.

KH. Abu Dardiri dan Haji Soleh Su’aidy menemui beberapa tokoh nasional anggota KNIP. Keduanya menyampaikan usulan KNI Banyumas yang menghendaki pembentukan Kementerian Agama yang berdiri sendiri. Beberapa tokoh anggota KNIP merespon secara positif, bahkan memberikan dukungan atas usulan KNI Banyumas tersebut.

Tokoh-tokoh anggota KNIP yang mendukung pembentukan Kementerian Agama adalah: Mohammad Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo. Cukup menarik dalam hal ini bahwa sosok Kartosudarmo selain tercatat sebagai anggota KNIP juga sebagai Konsul Muhammadiyah Betawi. Ia termasuk salah satu tokoh yang mula-mula merintis Muhammadiyah cabang Betawi.

Hubungan ideologis antara Kartosudarmo dengan KH. Abu Dardiri inilah yang memungkinkan proses komunikasi politik berjalan lancar. Usul pembentukan Kementerian Agama yang semula adalah aspirasi KNI Banyumas semakin mudah diterima karena merupakan bagian dari aspirasi umat Islam pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya. Apalagi, sosok Mohammad Natsir juga tidak terlalu asing di kalangan Muslim modernis di tanah air, terutama warga Muhammadiyah. Dalam sidang BPKNIP pada 25 November, rekomendasi dari KNI Banyumas berhasil menjadi keputusan bersama yang akan diteruskan kepada pemerintah. KNIP kemudian menyampaikan usulan tersebut kepada pemerintah (Presiden Soekarno).

Pada tanggal 3 Januari 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan surat keputusan untuk membentuk Kementerian Agama Republik Indonesia. Menjabat sebagai menteri agama pertama Prof. Dr. HM. Rasyidi, M.A. Terbentuknya Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) sekitar lima bulan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia merupakan perwujudan dari ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (Bab E pasal 29 ayat 1 dan 2)..

Sumber : ibtimes

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *