Hati-hati! 9 “Pasal Karet” UU ITE yang Bisa Menjebak

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, hajinews.id – Sejak pertama kali diundangkan pada 2008, pasal-pasal pidana di UU ITE sudah dianggap bermasalah. Alasannya, salah satu butir dalam undang-undang tersebut dianggap membatasi kebebasan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnnya di ruang maya. Benarkah Revisi UU ITE Mengancam Kebebasan Berekspresi?Lantas pasal mana yang dimaksud?

Salah satu pasal yang dianggap kontroversial adalah pasal 27 ayat 3. Pasal tersebut membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa. Butir ini sering digunakan untuk menuntut pidana netizen yang melayangkan kritik lewat dunia maya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bunyi pasal tersebut adalah:

 “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Sejak diresmikan, Undang-Undang No.11 Tahun 2008, khususnya pasal 27 ayat 3 yang kerap dijuluki sebagai “pasal karet” sudah menjerat puluhan orang. Sepanjang tahun 2020 lalu, dilansir kompas.com, lembaga pemerhati keamanan internet, Safenet mencatat sudah ada 34 kasus yang terjadi.

UU ITE akhirnya direvisi Pada Desember 2015, Namun pasal-pasal karet masih ada. Dalam sebuah kicauan baru-baru ini, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengungkapkan ada sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE.

“Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum,” tulis Damar dalam sebuah kicauan dilansir kompas, selasa (16/2/2021).

Berikut adalah 9 pasal karet UU ITE :

1. Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi.

Pasal ini disebut dapat digunakan untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Selain itu juga mengekang warga untuk mengkritik pihak polisi dan pemerintah.

2. Pasal 26 ayat 3

Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. pasal ini bermasalah soal sensor informasi.

3. Pasal 27 ayat 1

Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.

4. Pasal 27 ayat 3

pasal 27 ayat 3 tentang dafamasi, dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang menkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.

5. Pasal 28 ayat 2

pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.

6. Pasal 29 

Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.

7. Pasal 36

Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.

8. Pasal 40 ayat 2a

Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.

Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.

9. Pasal 45 ayat 3

Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.

Jokowi ingin revisi UU ITE lagi?

Presiden Jokowi dalam rapat terbatas pada Senin (15/2/2021) mengatakan jJka ternyata dalam pelaksanaannya tidak memberikan keadilan bagi masyarakat, ia bisa saja meminta DPR untuk melakukan revisi dan menghapus pasal-pasal karet dalam UU ITE tersebut. Sebab, menurut Jokowi, pasal-pasal dalam UU ITE tersebut bisa menjadi hulu dari persoalan hukum.

“Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa beda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” kata Jokowi sebagaimana dikutip dari Antaranews, Selasa (16/2/2021).

Belakangan, Jokowi mengungkapkan UU ITE ini banyak digunakan oleh masyarakat sebagai rujukan hukum untuk membuat laporan ke pihak kepolisian. Namun dalam penerapannya, kerap timbul proses hukum yang dianggap beberapa pihak kurang memenuhi rasa keadilan.

Namun demikian, Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar, mengaku belum melihat adanya keseriusan pemerintah merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) meski wacana sudah disampaikan Presiden Joko Widodo.

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *