Hukum Konstitusi Harus Sebangun dengan Bangsa, Agama, dan Budaya Luhur Bangsa

Hukum Konstitusi Harus Sebangun dengan Bangsa, Agama, dan Budaya Luhur Bangsa
Haedar Nashir
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews –  Dalam menerapkan hukum, HAM, dan konstitusi di Indonesia sudah selayaknya diletakkan dan didialogkan dengan konteks bangsa (Pancasila), agama, dan budaya luhur bangsa. Menurut Haedar Nashir, persoalan hukum, HAM, dan konstitusi berjalan seiringan dengan konteks bangsa Indonesia.

“Persoalan hukum, HAM, dan konstitusi tentu berjalan seiring dengan dinamika masyarakat Indonesia. Bahkan juga substansi atau pemahaman tentang hukum, HAM, dan konstitusi itu juga sejalan dengan perkembangan masyarakat itu,” papar Ketua Umum PP Muhammadiyah ini pada (3/3)

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Menurutnya, perspektif bangsa ini penting, karena bisa jadi pemahaman mengenai hukum, HAM, dan konstitusi yang didapat dari proses akademik sifanya umum tidak sesuai dengan konteks lokal. Dalam konteks Indonesia ada hal-hal yang spesifik dan terikat dengan Pancasila, karena itu dimensi hukum, HAM, dan konstitusi mesti tidak lepas dari nilai Pancasila.

“Karena itu selalu dikonfimrasi mengenai di aspek hukum, HAM, dan konstitusi dengan konfirmasi lima nilai Pancasila. Di sinilah kerumitan itu terjadi,” tuturnya

Konteks selanjutnya adalah agama, karena Indonesia tidak bisa dilepaskan dari agama yang hidup di negara ini. Anatara agama dan Indonesia tidak bisa dipengal, dipotong, atau dinegasikan, karena memang bangsa Indonesia sudah lekat sejak awal dengan keagamaan. Nilai-nilai agama itu juga perlu di dialogkan dengan yang lain.

“Dari Piagam Jakarta menjadi sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu pun dari adanya proses kompromi, negosiasi di dalam proses hukum ketatanegaraan kita,” imbuh Haedar

Ramainya perbincangan baik mengenai SKB 3 Menteri, Perpres, dan peraturan lain, kata Haedar, harus dikonfimrasi kepada nilai-nilai agama yang hidup di Indonesia. Indonesia memang bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler, menjadikan Indonesia sebagai negara yang moderat.

Namun di satu pihak agama juga diadopsi oleh negara, tapi tidak semua ajaran agama diadopsi oleh negara, karena ada wilayah khusus yang menjadi milik agama itu dan tidak berlaku bagi agama lain. Pada titik ini menurut Haedar masyarakat Indonesia belum paham, ia menambahkan, bahkan dalam ajaran satu agama saja memiliki varian yang tidak bisa diterapkan di yang lain.

“Di sinilah negara tidak boleh bermadzhab, negara tidak boleh bersyariah tertentu. Dan ini selalu menjadi perdebatan karena kurang memahami proporsinya,” terangnya

Tapi di sisi lain, kata Haedar, tidak boleh menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler. Misalnya dengan meniru negara lain untuk menggapai kemajuan dengan menghilangkan pelajaran agama di sekolah. Karena secara konstitusi di UUD 1945 pasal 29 agama mempunyai tempat di negeri ini, bahkan di pasal 31 posisi agama menajdi kuat.

Konteks ketiga adalah budaya luhur bangsa, Haedar menyebut, warga bangsa harus diberi pemahaman tentang hukum, HAM, dan konstitusi yang tidak lepas dari culture bangsa Indonesia. Proses memotong budaya ini yang kerap menimbulkan masalah baik di politik, ekonomi, dan hukum.

Sumber: muhammadiyah

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *