Pengamat Politik Muhammadiyah: Presiden Tiga Periode Hambat Regenerasi Kepemimpinan Nasional

Pengamat Politik Muhammadiyah: Presiden Tiga Periode Hambat Regenerasi Kepemimpinan Nasional
Dr Sholikh Al Huda
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Hal itu disampaikan Dr Sholikh Al Huda, pengamat politik Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya.

“Penambahan periodesasi masa jabatan presiden cenderung dapat merusak iklim regenerasi kepemimpinan nasional. Akan terjadi kemacetan kaderisasi kepemimpinan nasional,” tegasnya, Senin (16/3/2021).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Padahal, lanjut dia, Indonesia sedang menghadapi dan memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang membutuhkan peran dan daya kreativitas kaum muda untuk menyelesaikan problem-problem kontemporer kebangsaan yang dihadapi masyarakat Indonesia.

“Sehingga dibutuhkan ruang regenerasi yang baik dalam kepemimpinan nasional, terutama bagi kaum muda Indonesia,” terangnya.

Dia juga menjelaskan, pembatasan periode masa jabatan presiden menjadi dua periode yang tercantum pada pasal 7 UUD 1945 merupakan buah dari reformasi. Pasal itu berbunyi: presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

“Reformasi merupakan hasil refleksi dan kritik seluruh elemen rakyat Indonesia terhadap praktik politik Orde Baru, terutama dalam kepemimpinan nasional atau presiden yang tidak terbatas hampir 32 tahun. Praktik tersebut menjadikan sendi-sendi demokrasi tidak berjalan dan macet karena lamanya kekuasaan,” tegas Sholikh.

Menurut doktor lulusan UINSA itu, pengalaman dari praktik kepemimpinan presiden yang terlalu lama tanpa ada batasan periodesasi yang konstitusional adalah cenderung terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) demi kepentingan pribadi dan golongannya. Lupa melayani rakyatnya.

Selain itu, kata dia, kencenderungan lamanya kekuasaan dalam kendali satu orang menyuburkan praktik otoritarianisme dan korup. “Di mana ruang partisipasi dan ruang kontrol/kritis sangat dibatasi dan cenderung terbungkam karena dianggap mengganggu kekuasaan yang sudah mapan,” terangnya.

Selain itu, praktik korupsi semakin masif karena ruang untuk manipulasi akses keuangan negara terlalu longgar dan terbuka untuk kepentingan kelompoknya, sementara akses transparansi informasi untuk publik cenderung tertutup. “Situasi ini semakin menjadikan kemunduran demokrasi dan nilai-nilai reformasi yang tengah dibangun,” paparnya.

sumber: Klikmu

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *