Kilas Balik Sejarah Dan Konflik Indonesia Bagian Timur, Diskusi LP3ES: Sering Luput Dari Pemberitaan

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Konflik di Indonesia Timur merupakan problem laten yang sering dikesampingkan dalam diskusi publik. Meskipun mengorbankan keselamatan masyarakat nyatanya konflik tersebut disulut demi kepentingan ekonomi dan politik.

Pluralitas masyarakat menjadi bahan adu domba di atas panggung politik. Hal ini ditampilkan dalam diskusi yang dibuka oleh Wijayanto tentang perbincangan Indonesia Timur yang bukan hanya tentang Papua.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pembahasan Indonesia Timur juga tidak luput dari pembangunan infrastruktur dengan pengabaian HAM dan kerusakan lingkungan. Salah satu faktor penting adalah adanya dominasi oligarki di satu sisi dan lemahnya masyarakat sipil di sisi lain.

Kondisi media di Indonesia turut memengaruhi ekonomi politik. Media yang dimiliki atau dekat dengan kekuasan menciptakan oligarki media sehingga menghasilkan bias dan kurang kritis terhadap kekuasaan.

Para tokoh juga tidak hanya merambah media massa dan televisi namun juga media online. Salah satu yang tidak dapat kita lupakan adalah pemberitaan media yang banyak membahas tentang Jawa, khususnya Jakarta. Jawa dan Jakartasentrismme dalam televisi dapat dilihat dari perbandingan pemberitaan.

Pemberitaan tentang Jawa mendominasi dengan 42,8%, Betawi 8,5%, Sunda 8%, Minang 8%, Bali 7,5%, Tionghoa 6%. Batak 3,5%, Dayak 3%, Bugis 2%, Ambon 1,5%, Dani 1,5%, dan lainnya 8%. Sedangkan Maluku dan Papua sering luput dari pemberitaan.

Prof Cahyo Pamungkas mengulas histori Maluku. Pada masa sebelum kolonial, Maluku terdiri dari empat kerajaan besar yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Portugis kemudian masuk ke Ternate pada tahun 1512 yang disambut oleh Sultan Ternate sebagai sekutu politik.

Awalnya Portugis membantu perluasan Ternate namun hal ini tidak lama karena pada pertengahan abad ke-16 meletuslah permusuhan antara Portugis dan Ternate. Sehingga pada tahun 1575, Portugis menyerahkan bentengnya dan merelokasi operasinya ke Ambon.

Pasca kapal Portugis melabuh di Hitu, penduduk desa ulisiwa menganggap mereka pelindung atas persaingan mereka dengan Hitu. Pada satu sisi ulilima muslim bersekutu dengan Ternate sedangkan sisi lain ulisiwa kristen bersekutu dengan Portugis. Pada akhir abad ke-16 Hitu dibantu ternate, Jawa, dan Makassar serta Belanda mengusir Portugis dari Ambon. Pada masa VOC, desa muslim tetap dibawah naungan Ternate hingga VOC melakukan kontrak dagang pada 1605 – 1607.

Pada tahun 1621 hampir seluruh penduduk dibunuh secara brutal oleh VOC. Setelah tahun 1800- pun monopoli atas rempah-rempah Belanda masih berlanjut hingga terjadi pemberontakan Pattimura pada tahun 1817.

Dari segi sosial, Belanda membagi orang Maluku menjadi penduduk desa dan warga (burger) yang mendapatkan hak istimewa. Pada pertengahan abad ke-19 jumlah penduduk di Maluku didominasi oleh masyarakat Kristen. Belanda sendiri lebih menyukai orang Ambon Kristen dan tidak memercayai orang Ambon Muslim.

Antara tahun1920 – 1942 terjadi kebangkitan partai politik nasionalis yang mempromosikan gagasan reformasi politik dan ekonomi mengancam posisi kolonial dan raja. Tujuannya adalah untuk memajukan kepentingan penduduk desa. Penentangan terhadap kepala desa lebih kuat di wilayah Kristen, dan terlepas dari itu raja tetap mendukung sistem kolonial.

Pada awal kemerdekaan, banyak orang Ambon Kristen yang dianggap inferior sedangkan orang Ambon Muslim menganggap kemerdekaan akan membuka jalan bagi emansipasi. Saat Belanda mengakui RIS, Maluku menjadi bagian NIT. Namun saat RIS dibubarkan, pasukan KNIL menolak dan berjuang untuk RMS.

Meskipun pemberontakan berhasil dikalahkan, orang Ambon Kristen tetap berhasil mengamankan posisi di lembaga administrasi dan pendidikan di Maluku karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pada pemilu 1955, kemenangan Parkindo menunjukkan bahwa Kristen mendominasi parlemen di Ambon.

Pada masa orde baru, jabatan gubernur biasanya diberikan kepada Muslim sedangkan Wali Kota dijabat seorang Kristen. Pada tahun 1992, pemerintah pusat menunjuk Akib Latuconsina sebagai gubernur. Dia merupakan Muslim pertama dalam posisi itu, dan gubernur pertama dalam dua puluh empat tahun karena sebagian besar gubernur sebelumnya adalah orang Jawa.

Reformasi politik pada tahun 1998 menimbulkan kecemasan kaum Muslim dan Kristen karena saling ketidakpercayaan. Enam bulan sebelum pemilu 1999 kekerasan komunal terjadi di sana. Kedua kelompok saling mengunakan simbol keagamaan sebagai pembenar. Kekerasan sempat terhenti sementara namun berkobar lagi pada tahun 2000 karena kehadiran Muslim militan. Insiden tersebut menyebabkan 4.840 kematian di Maluku termasuk 1.907 kematian di Aceh.

Kemudian pada tahun 2002 para pemimpin Muslim dan Kristen menyepakati perjanjian damai namun kekerasan komunal tidak berhenti sampai tahun 2004.

Setelah konflik kekerasan, kedua kelompok ragu mengambil langkah damai dengan penganut agama lain, seiring waktu kapasitas membedakan nilai agama dan kepentingan politik meningkat. Ketika terjadi kekerasan 2011, sedikit masyarakat yang mendukung karena menganggap sebagai kekerasan yang direkayasa secara politik.

Meskipun tinggal di lingkungan terpisah namun mereka menyadari pertempuran komunal lebih lanjut akan menyebabkan penderitaan. Kedua kelompok kini bekerja sama dalam pemilihan gubernur dan walikota. Rekonsiliasi lainnya adalah pembentukan komunitas lintas agama yang sering diprakarsai siswa dari latar belakang kelas menengah yang mengkampanyekan perdamaian dan saling pengertian. (Nenden).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *