Beda Ekonomi Manusia dengan Rizki Allah

Beda Ekonomi Manusia dengan Rizki Allah
ilustrasi: rizki dari Allah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Emha Ainun Nadjib

Hajinews – Tahun-tahun ketika di Menturo kami sekeluarga jatuh terpuruk dalam kemiskinan yang parah, sekarang saya sadari bahwa yang kami alami itu hanyalah masalah ekonomi, tapi bukan problem rezeki. Kalau ekonomi itu datar dan berlangsung seputar hubungan timbal balik horisontal. Sementara rezeki itu horisontal vertikal.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dan di ujung garis vertikal, di Sidratul Muntaha, di puncak yang tak terkirakan dari segala sesuatu, Al-‘Aliy al-‘Adhim, Allah yang maha tinggi dan maha agung, tidak pernah membiarkan kami ketlarak sampai menyentuh garis probabilitas “Kadal faqru an yakuna kufron”: kemiskinan mencenderungkan manusia menuju kekufuran.

Justru sebaliknya, yang kami alami justru sebaliknya. Segala puji bagi Allah. Iman semakin teguh. Islam kami tidak goyang. Ihsan tidak sedikit pun berhenti. Sabar semakin mengabadi. Tawakkal menjadi total. Shalat menjadi sangat relevan dan penuh kenikmatan.

Dan sampai kami menua, saya mencapai hampir 70 tahun, kami cukup sering mengalami masalah ekonomi, tetapi tidak sedetik pun pernah mengalami problem rezeki. Tatkala dunia dihajar oleh Covid-19, perekonomian anjlog dan bisa pingsan, tetapi rezeki makin melimpah dari Rahman Rahim Fattah Razzaq-nya Allah Swt.

Sesulit apapun masalah ekonomi yang menimpa, tidak akan memaksa kita menjadi ‘Abdul Fulus, budak uang, ‘Abdul Khouf, narapidana ketakutan hidup, serta ‘Abdul Fasad, subjek atau objek kerusakan dan perusakan. Kita tetap Insan dan Nas, tetap ‘Abdullah dan terus berjuang sebagai Khalifatullah.

Ada perbedaan, jarak dan pilah-pilah serius antara ekonomi manusia dengan rizki Allah. Perbedaannya pada pelakunya, prinsip sebab akibatnya, pada rumus atau hukumnya, prosedur dan mekanismenya. Manusia bertransaksi, dol tinuku, jual beli, produsen konsumen, pelaku utamanya adalah manusia sendiri. Itu ekonomi, perekonomian atau penghidupan manusia. Bukan nafkah (nafaqah). Nafkah adalah pembelanjaan, sesuatu yang dikeluarkan. Tidak ada orang mencari nafkah. Itu salah kaprah. Manusia saling mempertukarkan jasa dan imbalan.

Allah sendiri juga melakukan dan menggunakan term dol tinuku atau jual beli, tetapi yang harus lebih diperhatikan adalah prinsip di baliknya.

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشۡتَرَوُاْ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا بِٱلۡأٓخِرَةِۖ
فَلَا يُخَفَّفُ عَنۡهُمُ ٱلۡعَذَابُ وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ

Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشۡتَرَوُاْ ٱلضَّلَٰلَةَ بِٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡعَذَابَ بِٱلۡمَغۡفِرَةِۚ
فَمَآ أَصۡبَرَهُمۡ عَلَى ٱلنَّارِ

Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.

إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَيَشۡتَرُونَ بِهِۦ
ثَمَنٗا قَلِيلًا أُوْلَٰٓئِكَ مَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ إِلَّا ٱلنَّارَ
وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمۡ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih”.

Sangat jauh substansi perbedaan antara kandungan prinsip jual beli dan laba rugi yang digunakan oleh Allah dengan yang dipakai oleh manusia.

Dalam hal rizki Allah, subjek utamanya adalah Allah. Manajemen dan akuntansinya bersifat “min haitsu la yahtasib”. Sementara perekonomian di antara manusia harus “min haitsu yahtasib”. Ada sekolah Akuntansi, ada Fakultas Ekonomi dengan jurusan Ekonomi Perusahaan. Segala-galanya dalam urusan perekonomian manusia harus fix, rasional, dan “min haitsu yahtasib” dalam bingkai rasionalitas meteriil di akal manusia.

Tetapi itu semua, hukum sebab akibatnya, mekanismenya, rute barang dan uangnya, berbeda dengan aturan rizki Allah. Manusia bertransaksi dengan membatasi diri pada lini hukum transaksi itu sendiri. Anda tidak dipersalahkan untuk memperoleh laba dari orang yang menjual atau membeli kepada Anda, meskipun barang yang diperjualbelikan belum tentu halal. Anda berposisi halal membeli barang produk dari suatu perusahaan yang secara makro merugikan lalu lintas kekayaan rakyat Negara Anda. Tetapi rizki Allah melibatkan semua dimensi nilai: kejujuran, kesetiaan, pengabdian, dan cinta.

Salah satu cacat pandangan dan konsep hidup ummat manusia, termasuk Kaum Muslimin, adalah tidak teliti dan cermat membedakan antara perekonomian mereka dengan rizki Allah.

Di tahun-tahun sangat melarat keluarga saya di sekitar 1960-1970 itu ternyata kami mengatasi tumpukan hutang-hutang tak terkirakan tidak dengan teori perekonomian versi manusia, melainkan dengan berkonsentrasi pada “min haitsu la yahtasib” rizki Allah. Kelak pada tahun-tahun berikitnya Allah membuktikan pertolongan-Nya, rumus-Nya, hukum dan moralitas-Nya, dengan ternyata semua tanggungan itu bisa beres dan tunai. Saya sekeluarga tidak mampu menapaktilasi bagaimana dulu kok bisa beres. Bahkan lokasi Maiyahan Padhangmbulan komplek rumah induk dengan Sekolah dan Masjid, yang sertifikatnya lenyap bersamaan dengan diambilnya nyawa Ayah kami di Sidoarjo tahun 1973, sekarang sudah sepenuhnya berada secara legal di genggaman hukum kami.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *