Bahaya Stigmatisasi Media Massa

Bahaya Stigmatisasi Media Massa
ilustrasi: media massa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Social Setting

Sebuah teks peristiwa tidaklah lahir apa adanya. Ada social setting yang memengaruhi munculnya teks peristiwa. Bisa dipengaruhi oleh seseorang atau kehidupan pribadi dan kondisi sosial di lingkungan pelaku peristiwa itu hidup. Seseorang menjadi radikal bisa jadi dibuat oleh seseorang atau muncul dari kehidupan pribadi dan kondisi sosialnya.

Wartawan harus memahami social setting untuk mendalami sebuah peristiwa yang terjadi dipengaruhi oleh siapa dan apa saja. Jangan lugu-lugu amat menjadi wartawan dengan menerima apa adanya dari narasumber. Wartawan harus cerdas dan skeptis terhadap pernyataan seseorang. Punya nalar kritis.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ahli linguistik lainnya Widdowson mengingatkan, wacana yang dibuat produser teks bisa berbeda makna bagi penerima teks. Tidak peduli seberapa eksplisit kita berpikir bahwa kita telah mentekstualisasikan apa yang ingin kita katakan, ada kemungkinan akan ditafsirkan sebaliknya oleh penerima teks.

Pengamat media Greenwald menyatakan, elemen krusial dalam melabel teroris adalah identitas agama. Terorisme adalah kata tunggal dalam politik Amerika yang paling meaningless dan paling kerap dimanipulasi. Istilah itu tak ada hubungannya dengan aksi kekerasan, namun sangat berkaitan dengan identitas agama sang pelaku.

Contoh terang disampaikan pengamat terorisme, Sidney Jones. Dia menduga, sekarang ini seperti ada obsesi pemerintah ingin membuktikan bahwa FPI terkait terorisme. Peristiwa pembaiatan massal ke ISIS  di Makassar pada 2015 diungkit untuk melabeli beberapa orang FPI.

Padahal tiga bulan kemudian, kata Sidney Jones, sudah ada pernyataan jelas dari FPI Makassar dan FPI Pusat bahwa mereka tidak ada kaitan lagi dengan ISIS dan juga FPI Makassar sudah menjauhkan diri dari apa yang terjadi dengan ISIS dan pembaiatan massal itu. Anggota yang setia dengan pembaiatan pun sudah keluar dari FPI.

Belajar dari propaganda Bush: War Against Terrorism dan Weapon of Mass Distruction yang ternyata pepesan kosong, mestinya kepolisian Indonesia tidak perlu lagi menghidupkan Densus 88 Antiteror dan minta anggaran puluhan triliun. Kalau ternyata kegiatannya menggeledah rumah rakyat atau menembak mati orang yang baru dicurigai.

banner 800x800