Prancis Larang Muslim di Bawah 18 Tahun Pakai Jilbab Kini Picu Kampanye ‘Hands Off My Hijab’

Beberapa wanita muslim yang kampanyekan 'Hands Off My Hijab' di media sosial untuk menolak kebijakan larangan mengenakan hijab. /Kolase foto Instagram.com/@rawdis/@ashwaaqfidar
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews — Senat Prancis pada akhir bulan Maret 2021 lalu mengeluarkan voting untuk melarang wanita muslim di bawah 18 tahun memakai jilbab di tempat umum.

Aturan tersebut muncul di tengah tindakan keras terhadap gerakan ‘separatisme Islam’ yang dinilai dapat membentuk kelompok tandingan untuk melawan pemerintah Prancis. Karena komunitas Islam di Prancis sendiri memiliki jumlah yang besar.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dilansir PORTAL JEMBER dari SBS News, peraturan tersebut juga mencakup larangan bagi para ibu rumah tangga untuk memakai jilbab saat mengantar anak-anak mereka menuju sekolah, serta larangan untuk memakai burkini atau baju renang muslimah di kolam renang umum.

RUU Sparatisme

Aturan pelarangan penggunaan hijab tersebut merupakan bagian dari RUU ‘anti-separatisme’ yang lebih luas.

Meskipun belum resmi menjadi undang-undang, RUU tersebut telah mendapat banyak kritik dan cemoohan dari para kritikus termasuk dari Australia.

Kelompok yang menentang adanya larangan penggunaan hijab menyebut bahwa hal tersebut merupakan pengikisan kebebasan beragama bagi muslim di Prancis dan seluruh negara di Eropa. Selain Prancis, berbagai negara di Eropa juga diketahui melarang penggunaan pakaian muslim di tempat umum.

Sebelumnya, negara Prancis pernah melarang penggunaan hijab di tempat umum pada tahun 2011.

Selain itu di beberapa negara seperti Belanda, Austria, Denmark, dan Bulgaria juga telah melarang penggunaan penutup wajah atau cadar dalam beberapa tahun terakhir.

Prancis mengeluarkan peraturan keras terhadap muslim dalam bentuk RUU ‘anti-separatisme’ karena negara tersebut menjunjung tinggi sekularisme yang mengutamakan pencegahan agama masuk ke dalam area pemerintahan.

Menanggapi hal tersebut, para pemimpin Kristen juga ikut menyuarakan kekhawatiran bahwa RUU anti-separatisme akan memberlakukan pembatasan beragama yang tidak semestinya.

Namun di sisi lain, partai Republik dan partai Barisan Nasional sayap kanan mendorong RUU tersebut agar semakin membatasi pemakaian jilbab di depan umum.

Hal tersebut kemudian menjadi perdebatan yang sangat sengit menyusul serangkaian kontroversi tentang Islam.

Sedangkan dari sisi para muslim, mereka mengecam keras kebijakan larangan penggunaan jilbab tersebut.

Salah satunya ada wanita Amerika yang menjadi atlet anggar dan menjadi muslim pertama negara tersebut yang memakai hijab saat bertanding di Olimpiade bernama Ibtihaj Muhammad.

Islamofobia

Ia mengatakan bahwa larangan memakai jilbab yang dikeluarkan Senat Prancis sama saja dengan “Islamofobia tertulis dalam undang-undang”.

Inilah yang terjadi ketika Anda menormalkan ujaran kebencian anti-Islam dan anti-Muslim, bias, diskriminasi, dan kejahatan kebencian,” tulis Ibtihaj Muhammad di Instagram.

Terdapat juga aktivis Amerika Serikat, Amani al-Khatahtbeh, yang turut menolak larangan berhijab dan menulis cuitan: “Tidak ada pemerintah yang mengatur bagaimana seorang wanita dapat berpakaian, apakah akan tetap memakai atau melepasnya”.

 

On a trip to France 3 years ago the border police forced me to remove my scarf to enter the country even though I wore a scarf in my passport photo.

No government should regulate how a woman can dress, whether to keep it on or take it off. #handsoffmyhijab #FranceHijabBan pic.twitter.com/VfuHi02Gqj— AMANI (@xoamani) April 6, 2021

Kampanye global “Hands Off My Hijab

Dalam memprotes larangan berhijab tersebut, Amani bersama dengan para muslim lain ikut menggerakkan kampanye global “Hands Off My Hijab” untuk menghentikan diskriminasi agama di dunia.

Mereka turut mengkampanyekannya dengan memposting foto di media sosial sembari menuliskan kalimat “Hands Off My Hijab” di telapak tangan.

Lalu muslim di Australia menyebut larangan penggunaan jilbab di Prancis akan semakin meminggirkan komunitas yang sudah rentan di negara tersebut dan dapat memperburuk keadaan.

“Ini adalah serangan terhadap kebebasan Muslim untuk beribadah kepada kebebasan beragama mereka, dan itu jelas meminggirkan komunitas Muslim Prancis lebih jauh,” ucap Presiden Dewan Islam Victoria Adel Salman kepada SBS News.

“Minoritas Muslim di Prancis dan tempat lain merasa bahwa mereka dikucilkan, merasa bahwa mereka adalah warga negara kelas dua – itu akan menciptakan ketegangan,” tambah Victoria Adel Salman.

“Pesan dari pemerintah dan pemimpin Prancis di sini adalah bahwa Muslim, atau ke-Muslim-an, atau identitas Muslim, tidak diterima,” pungkasnya.(dbs)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *