Keadilan, Bukan Pengadilan

Keadilan, Bukan Pengadilan
ilustrasi: keadilan
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh : Abdurrahman Lubis, Pemerhati Keislaman.

Hajinews – Kalau sudah ada keadilan, itulah pengadilan. Kalau hanya pengadilan, belum tentu ada keadilan. Keadilan belum tentu berada di kantor pengadilan, bahkan sering terjadi kedzaliman di kantor pengadilan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Keadilan tak memerlukan ruangan khusus seperti pengadilan. Keadilan bisa didapati di berbagai tempat, di pasar, di rumah, di jalan raya, di mesjid dan di medan jihad. Karena keadilan bukan bertempat di gedung emas dan perak, atau di istana raja, tapi istana keadilan adalah lubuk hati manusia, yang beriman. Orang beriman pasti adil, karena mengakui yang Maha Menciptakan dirinya adalah

Allah Swt, sedang orang tak beriman alias kafir atau munafik, tak mungkin adil. Kepada yang Maha Menciptakan-nya saja, kepada Allah Swt saja,  ia tak mampu berbuat adil (baik aqidah maupun ubudiyah), buktinya ia tak mau syahadat, tak mengakui Allah Swt  sebagai Maha Pencipta dan Muhammad Saw sebagai Nabi-Nya.

Apa lagi kepada manusia, yang notabene menjadi kompetitornya dalam merebut dunia, harta, jabatan dan kehormatan.

Jadi, keadilan hanya milik orang beriman, bukan milik hakim. Kecuali hakimnya beriman. Hakim beriman mesti meletakkan perkara pada  tempat yang sudah disediakan Allah dan Rasul-Nya.

Predikat “hakim” pun tak layak diberikan kepada yang tidak beriman. Karena, orang beriman ada buktinya, paling tidak ia menyembah Allah dengan baik, sholatnya meniru sholat nabinya.

Juga ibadah lainnya.

Dan setiap sidang ia menyidang diri dulu di hadapan Ahkamul Hakimiin (Yang Maha Hakim).

Betapa bahaya jadi hakim tak beriman. Ia akan menebar banyak korban kedzolimannya. Bahkan bisa menjadi “bom waktu” pertumpahan darah bagi banyak komunitas.

Ia akan ikut hawa nafsu, menjual belikan pasal pasal karet, dengan harga murah dan murahan.

Kenapa kita punya hakim tapi hukum tidak tegak.

Kita punya jaksa, tapi tak punya rasa (keadilan). Kita punya polisi tapi tak punya keamanan. Kita punya wartawan, tapi tak punya berita objektif.

Kalau polisinya bertaqwa, ia akan takut kepada Allah Swt, karena segala perbuatannya akan dipertanggung jawabkan dunia akhirat.

Kenapa kita punya polisi tapi hukum tidak tegak,  kita punya pengadilan tapi tak ada keadilan.

Karena polisinya tak bertaqwa. Karena penegak hukumnya tak bertaqwa.

Dulu, sesama wartawan di Mabes Polri Jl Trunojoyo 1, kami sering berkelakar, nanti di depan pintu neraka, manusia ngantri. Baris depannya hakim,  baris kedua pengacara, baris ke tiga Jaksa, baris ke empat polisi dan baris ke lima wartawan. Mereka berada di garis depan kejahatan. Merekalah yang mempermainkan pasal-pasal hukum, yang mereka buat2  sendiri, sehingga keputusan sesuai dengan hawa nafsu  dan kepentingan mereka. “Jual beli” atau “tukar tambah” dengan  pencari keadilan.

Merekalah begundal hukum,  “pakar hukum” yang “fakir rasa keadilan“.

Kecuali mereka taubat sebelum mati, kemudian islah (perbaiki) diri, dan membuktikan ketaubatannya dengan

beramal soleh.

Seorang profesional, hakim, pengacara, jaksa, polisi, wartawan, yang bertaqwa, sebelum bekerja, ia solat dua rakaat agar hajatnya tertunaikan dan mendapat ridho Allah Swt.

Ia yakin segala tindakannya akan sampai ke pengadilan Allah Swt. Kalau sidang/pengadilan, biasa diatur atur. Kalau mahkamah Allah Swt siapa yang ngatur ? Maka profesionalis yang beriman dan bertaqwa, sebelum menuntut perkara orang,  ia harus lebih dulu menuntut dirinya sendiri. Sebelum ke pengadilan harus lebih dulu “mengadili” diri sendiri.

Di tengah gonjang ganjing sidang in absensia, yang akhirnya molor lagi, tak terasa IB HRS sudah hampir dua bulan di tahanan Bareskrim. Kasusnya yang serba summir (tuduhan lemah, gak ngangkat), seakan protokoler kesehatan yang sudah dibayar dendanya 50 juta rupiah, itu, hidup lagi seperti mesin mobill..

Mobil sudah ditilang, dendanya sudah diambil di sidang kaki lima,

di jalan raya, tapi kok disidang lagi diada adakan lagi kesalahannya. Lelucon, tapi gak lucu.

Penonton kecewa. Bukankah denda 50 juta rph itu sama dengan vonis hakim, cuma sidangnya di kaki lima. Salah sendiri, kenapa main hakim sendiri, kenapa tidak langsung ke sidang resmi.

Semestinya, kalau sudah didenda, ya selesai.

Apalagi tuduhan protokol kesehatan, tak terbukti, tak ada yang korban Corona, kalaupun ada belum tentu tertular dari HRS, kalaupun ada bagaimana membuktikannya itu dari HRS.

Siapa IB HRS

Padahal, sebenarnya, kalau mereka faham, sekaranglah saatnya memuliaksn HRS, sebagai ulama yang istiqomah, sebagai mujahid, sebagai keturunan 38 dari Rasulullah Saw.

Agar mereka kelak mendapat syafaatnya.

Pemerintah Arab Saudi sendiri, melalui Juru Bicara Kerajaan Raja Salman, IB HRS ditetapkan sebagai Keturunan  ke- 38 Habibullaah Rasulullah Muhammad SAW.

Beliau mendapat seluruh fasilitas keperluan hidup  untuk dipergunakan sepuasnya.

Kerajaan Arab Saudi menyiapkan

(IB HRS boleh tinggal di Saudi sesuai keinginan),

maasya Allah.

Semoga Allah memberi kita hidayah kefahaman…

Amien….

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *