Parpol Ideologis, Masih Pentingkah?

Parpol Ideologis, Masih Pentingkah?
foto: partai politik
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.

Hajinews – Sejak reformasi 1998, terjadi gelombang neoliberalisasi di bidang ekonomi dan politik. Banyak korporasi lahir dan membesar, juga partai politik. Baik korporasi maupun partai politik pada hakikatnya sama yaitu agen yang memanfaatkan pasar ekonomi atau politik.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dengan biaya yang makin tinggi, kedua institusi itu mengadopsi asas yang sama, yaitu pragmatisme dan pop culture. Banyak artis kini anggota parlemen dan bupati. Popularitas lebih penting daripada kredibilitas.

Di kalangan aktivis Islam, ada yang percaya dengan parpol sebagai instrumen perjuangan. Terakhir muncul istilah Parpol Islam ideologis. Karena banyak parpol yang saat didirikannya kental dengan atribut Islam seperti PPP, PKB, PAN, lalu PKS dan PBB kini tidak lagi ideologis.

Parpol Masyumi Reborn dan Partai Ummat adalah dua bukti mutakhir bahwa masih ada aktivis Islam yang mengimpikan Parpol Islam ideologis untuk memperjuangkan agenda Islam. Bagi mereka, Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, HTI atau FPI tidak bisa digunakan sebagai alat perjuangan politik yang efektif untuk melakukan perubahan nyata dan bermakna bagi sebuah masyarakat yang Islami jika bukan masyarakat bersyariah apalagi berkhilafah.

Banyak aktivis Islam tidak menyadari bahwa UUD 1945 yang asli tidak pernah mengandalkan lalu mengatur parpol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Parpol diberi peran melalui Maklumat No. X 16/10/1945 yang dikeluarkan Wapres Bung Hatta.

UUD Liberal

Setelah reformasi 1998, praktik berpolitik dengan parpol diresmikan legal dalam batang tubuh UUD 2002. Konstruksi UUD 2002 ini secara mendasar menggusur sistem MPR menjadi sistem neoliberal seperti yang dipraktikkan negara demokrasi seperti AS.

Saat amandemen, banyak konsultan asing yang memberi asupan konsep dan dilahap dengan rakus oleh anggota DPR/MPR hasil Pemilu reformasi. Presiden bukan lagi mandataris MPR yang melaksanakan GBHN, tapi berubah menjadi petugas partai yang menjalankan agenda parpol pemenang Pemilu, atau koalisi parpol pengusung alias oligarki parpol.

Karena ongkos Pemilu langsung yang makin mahal, banyak anggota legislatif maupun eksekutif menggantungkan ongkos politik pada para pemilik modal. Perselingkuhan politikus dan pengusaha atau taipan tak terelakkan.

Tidak mengherankan jika kemudian lahir banyak regulasi yang lebih mengutamakan kepentingan pemodal. Ini adalah maladministrasi publik. Yaitu praktek penciptaan hukum dan interpretasinya untuk kepentingan penguasa, bukan publik.

Saat ini makin jelas bahwa pasar politik, juga pasar ekonomi semakin dimonopoli oleh kartel politik yang didukung kartel ekonomi. Diwacanakan secara luas bahwa tugas-tugas politik warga negara dimulai dan diselesaikan di bilik-bilik suara. Ekspresi politik di luar bilik suara dianggap tidak sah. Parlemen jalanan dituduh tukang bikin ribut, memecah belah, bahkan radikal.

Menyusup ke Parpol

Fenomena yang kita saksikan selama paling tidak 10 tahun terakhir adalah bahwa parpol-parpol yang sebelumnya beratribut Islam telah merubah positioning ke tengah dalam upaya untuk merebut suara.

Ini terjadi pada PKB, PAN, PPP, dan terakhir PKS. PBB yang semula dipandang ideologis, makin kehilangan suara. Lahirnya Masyumi Reborn dan Partai Ummat akan semakin memperkecil PKS dan PBB. Jika semula tujuan Parpol Islam ideologis itu adalah untuk mewarnai kebijakan publik yang lebih Islami, maka pengerdilan PKS dan PBB seperti panggang jauh dari api.

Hemat saya, kini tiba saatnya ditegaskan bahwa berpolitik praktis bagi setiap warga negara, terutama muslim, tidak harus lewat partai politik. Seperti belajar tidak harus di sekolah, berpolitik bisa di mana saja, kapan saja dan dengan institusi apa saja.

Politik sebagai kebajikan publik harus disediakan oleh banyak agen, tidak boleh dimonopoli parpol saja. Ummat Islam bisa mulai dengan dakwah politik dan ekonomi melalui pribadi, keluarga dan masjid.

Masjid sebagai institusi dapat menjadi instrumen konsolidasi. Opsi lainnya adalah menyusupi parpol besar yang ada, seperti yang dilakukan kaum sekuler kiri radikal. Jika mereka berani dan berhasil, mengapa kita tidak?

Labuanbajo, Flores Barat 14/4/2021

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *