Peran Jokowi Dipertanyakan, Herlambang Wiratraman: Apakah Membantu Pemberantasan Korupsi, Atau Melemahkan KPK

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Indeks persepsi korupsi Indonesia yang menurun, disertai melemahnya kinerja KPK dengan beberapa indikasi kasus-kasus yang terjadi beberapa waktu terakhir seperti memudarnya transparansi, penggelapan alat bukti dan penyuapan kepada penyidik KPK yang ternyata juga melibatkan aktor-aktor politik lain.

Rentetan kasus yang terjadi setelah disahkannya UU KPK yang baru, memunculkan pertanyaan apakah realitas pemberantasan korupsi di Indonesia tengah menuju arah lebih baik atau justru sebaliknya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Apakah realitas memburuknya kinerja KPK saat ini memang diinginkan oleh eksekutif dan parlemen yang telah mengesahkan revisi UU KPK pada akhir 2019? Atau kalau misalnya tidak diinginkan, kenapa hal itu terjadi? Ataukah hal itu menjadi sesuatu yang dimaklumkan terjadi dari suatu perubahan-perubahan terkait kebutuhan-kebutuhan eksternal lainnya.

Secara virtual, Herlambang Wiratraman menyebutkan bahwa publik telah memberi perhatian yang begitu besar terhadap kinerja pemberantasan korupsi, sejak awal hingga praktiknya kini yang dipandang telah salah arah.

Situasi KPK sekarang sesungguhnya tak mengejutkan, karena publik telah meragukan komitmen Jokowi dan muncul gugatan publik terhadap janji penguatan KPK, terutama setelah disahkannya UU KPK yang baru (2019).

Penolakan publik yang begitu masif dan luas pada 2019, ketika UU KPK disusun kilat (13 hari) dan akhirnya hingga disahkan. Penolakan itu besar, meluas, dan melibatkan sampai mengorganisir lebih dari 2000 akademisi dari 35 kampus yang ikut menolak rencana revisi UU KPK.

Saat itu, bahkan diikuti aksi-aksi mahasiswa yang terjadi di berbagai daerag, hingga timbul korban jiwa. Namun, protes sosial publik meluas sama sekali tidak ditanggapi oleh Jokowi dan pemangku kepentingan. UU KPK, memang inisiatif pemerintah masa Jokowi.

Situasi pembiaran, tak didengar, dan bahkan terjadi kekerasan, menjadi penanda awal atau pertama ketidakseriusan Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Revisi UU KPK tetap disahkan oleh parlemen.

Kedua, selain soal pengesahan UU KPK yang cacat proses, penolakan publik juga muncul saat penentuan pansel pimpinan KPK yang juga lahirkan hasil seleksi pimpinan KPK.

Publik pun keras mengkritisi, menolak proses dan tahapannya, bahkan mendapat penolakan kuat dari internal KPK sendiri, karena banyak dugaan hal tidak etis yang mendera calon pimpinan KPK masa itu. Lagi-lagi, kekuasaan, terutama Jokowi, seolah tidak lagi mau mendengar suara publik.

Ketiga, korupsi sebagai problem kekuasaan saat ini. Masif dan memburuknya korupsi merupakan cerminan dari kondisi demokrasi yang pula kian memburuk. Disahkannya revisi UU KPK, menjadi tidak mengejutkan, karena menegaskan terjadinya politik dalam kerangka autocratic legalism (legalisme otokratis), dengan ciri terjadinya state captured corruption, kekuasaan yang memasung upaya pemberantasan korupsi.

Itu sebab perlawanan hukum tetap dilakukan publik dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan pimpinan KPK dan koalisi masyarakat sipil. Berharap MK membatalkan dan mengoreksi situasi memburuknya pemberantasam korupsi ini. (*).

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *