Apa Modal Membaca Kitab Kuning?

Apa Modal Membaca Kitab Kuning?
Apa Modal Membaca Kitab Kuning? foto/ilustrasi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen Rembang dan Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an; Pengajar di FISIP UMJ & Pascasarjana Ilmu Politik UI ( Redaksi Ahli Hajinews.id ).

Hajinews – Bisa berbahasa Arab, bukan jaminan bisa memahami kitab kuning. Terbukti, bisa dikatakan tidak ada tenaga kerja di Arab Saudi yang pulang ke Indonesia, kemudian menjadi guru yang mengajarkan kitab kuning. Sebaliknya, mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di tanah Arab, tetapi pernah menjalani pendidikan intensif, atau lebih tepatnya mengintensifkan diri belajar di pesantren yang di dalamnya diajarkan kitab kuning, bisa menjadi pengajar kitab yang sama, atau setidaknya yang level kesulitan untuk memahami di bawahnya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kitab kuning sesungguhnya hanya sebutan untuk kitab atau buku yang dipelajari di pesantren karena ditulis dengan media kertas berwarna kuning alias kertas buram. Patut diduga, ini karena kertas buram harganya murah, sehingga terjangkau oleh para santri yang pada umumnya berasal dari kelas ekonomi bawah. Terlebih lagi, substansinya bukan pada kertasnya, tetapi pada teks yang tertulis.

Kitab kuning juga disebut dengan kitab gundul. Sebab, umumnya, tulisannya tidak memakai harakat yang menjadi tanda dibaca a, i, atau u. Inilah yang menyebabkan persoalan tersendiri, terutama atas masyarakat non-Arab dalam membacanya.

Walaupun saat ini sudah banyak kitab yang ditulis dengan menggunakan kertas putih, bahkan lux, tetapi kitab dengan tulisan gundul itu tetap disebut kitab kuning. Seolah kata kitab kuning sudah menjadi identitas baru untuk menunjuk kepada buku-buku keislaman.

Kitab-kitab itu sesungguhnya merupakan sarana untuk memahami ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad. Karena itu, secara keilmuan, untuk memahaminya diperlukan ilmu alat yang lengkap. Jika dirinci, bisa mencapai belasan jumlahnya.

Empat Perangkat Dasar

Namun, untuk memahami kitab-kitab yang isinya adalah masalah fikih dasar, diperlukan setidaknya empat perangkat dasar, yaitu:

Pertama, sharaf.

Pokok bahasan dalam ilmu ini adalah perubahan bentuk kata. Satu kata dasar, bisa berubah menjadi puluhan kata. Karena itulah, di madrasah level paling dasar biasanya diajarkan ilmu untuk mengetahui pola dasar ini. Biasanya, cara yang paling efektif adalah menghafalkan satu kata yang mewakili sebuah pola. Dengan cara menghafalkan ini, maka kata-kata yang lain akan bisa disamakan cara bacanya.

Kalau dalam bahasa Inggris bisa disamakan dengan menghafal tenses go-going-went-gone. Kalau jama’ atau plural, tinggal ditambahkan S. Namun, perubahan kata dalam bahasa Inggris jauh lebih sedikit dibandingkan bahasa Arab. Dalam konteks inilah, kata dalam al-Qur’an yang jumlahnya 77.439 kata, sesungguhnya berasal dari kira-kira 2728 kata saja.

Kedua, nahwu.

Ilmu ini membahas tentang status kata dalam kalimat. Status kata dalam kalimat ini berimplikasi kepada rafa’, nashab, jar, dan jazm. Bacaan di akhir kata ini merupakan penanda pembaca menguasai ilmu ini atau tidak. Dan kemampuan menentukan status kata dalam kalimat, maka diperlukan yang

Ketiga, logika.

Di samping logika sangat diperlukan untuk menentukan status kata dalam kalimat, ia juga sangat diperlukan untuk memahami kaitan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya. Terlebih kalau kalimat-kalimat itu merupakan premis-premis yang darinya diperlukan penarikan simpulan. Jika logika tidak kuat, maka simpulan yang ditarik bisa salah. Akibatnya tentu saja sangat fatal.

Keempat, istilah teknis dasar umum.

Ada istilah-istilah khusus yang digunakan dalam kajian keislaman. Dan ini berasal dari disiplin keilmuan lain. Walaupun tidak dikuasai secara mendalam, tetapi istilah dasar umumnya tetap harus dikuasai, terutama yang berasal dari ulumul qur’an dan ulumul hadits. Jika ingin bisa memahami kitab kuning dengan cermat, hal itu tidak bisa ditawar.

Misalnya, untuk memahami maksud kata muhaqqiq di dalam pengantar tafsir Jalalain saja, jika tidak menguasai istilah teknis ini, maka akan gagal paham. Kata muhaqqiq secara literal berarti yang menyatakan kejelasan. Dalam kajian ulumul hadits maksudnya adalah orang yang ahli hadits sampai pada level mampu membedakan secara pasti kualitas hadits, apakah shahih (benar-benar valid), hasan, atau dla’if (lemah).

Setelah penguasaan kepada beberapa hal sederhana itu, diperlukan kebiasaan tidak hanya membaca, tetapi juga mengajarkan. Sebab, hanya membaca tidak ada tantangan untuk membaca dengan keharusan benar. Namun, jika mengajar, ada tuntutan untuk menyampaikan secara benar dengan detil. Dan inilah perbedaan dengan penceramah. Sebab, seorang penceramah alias orator bisa bicara apa saja lepas dari teks, sehingga sulit diukur kebenaran maksudnya dengan referensi mana yang ia maksudkan.

Namun, jika membaca teks, seorang pembaca akan ketahuan apakah dia membaca dengan benar dan lebih dari itu memahami teks dengan benar, atau sesungguhnya tidak memiliki kemampuan. Jika tidak memiliki kemampuan membaca yang benar, sesungguhnya tidak memiliki otoritas untuk membicarakan. Sebab, tanpa kemampuan yang memadai, sangat dikhawatirkan yang keluar dari mulutnya adalah kesesatan yang potensial menyesatkan banyak orang.

Karena itu, setiap muslim sesungguhnya memiliki kewajiban untuk belajar bahasa Arab. Sebab, hanya dengannya, al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad bisa diakses secara lebih baik. Dengan akses itu, akan semakin banyak muslim yang beragama dengan dalil yang jelas, bukan sekedar katanya-katanya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *