Perang Maut Rudal Israel vs HAMAS: ‘Perang Enam Hari’ bakal Terulang?

Perang Maut Rudal Israel vs HAMAS: 'Perang Enam Hari' bakal Terulang?
Perang Maut Rudal Israel vs HAMAS. foto/dok
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – HARI Yerusalem (bahasa Ibrani: Yom Yerushalayim) merupakan peringatan Israel atas pendudukannya di Yerusalem Timur lewat Perang Enam Hari, Juni 1967. Di tengah pawai kaum ultraortodoks Israel memperingati Hari Yerusalem, yang diwarnai bentrok dengan warga Arab Palestina, dan tindakan keras aparat kepolisian Israel, Senin, 10 Mei 2021, HAMAS meluncurkan rudal ke arah Israel.

Pasca ‘pancingan’ serangan lebih 50 rudal dari Gerakan Perlawanan Islam (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya/HAMAS), yang nota bene berdaya di wilayah pemukiman sipil, ternyata ‘berhasil’ memancing balasan mematikan dari Israel,d an terus berlangsung hingga Jumat, 14 Mei 2021 ini.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sebagaimana dilaporkan The Associated Press, Jumat, Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan, jumlah korban twwas sudah 119 orang termasuk 31 anak-anak dan 19 wanita, dengan 830 luka-luka.

Kelompok militan HAMAS dan Jihad Islam mengkonfirmasi 20 kematian dalam barisan mereka, meskipun Israel menyatakan jumlah itu jauh lebih tinggi. Tujuh orang tewas di Israel, termasuk seorang anak laki-laki berusia enam tahun dan seorang tentara.

Israel telah mengerahkan pasukan di sepanjang perbatasan dan memanggil 9.000 personel cadangan saat pertempuran meningkat dengan kelompok militan Islam Hamas, yang mengendalikan Jalur Gaza.

Militan Palestina telah menembakkan sekitar 1.800 roket, dan militer Israel telah meluncurkan lebih dari 600 serangan udara, menghancurkan setidaknya tiga gedung apartemen bertingkat tinggi. Luka Lama Negara-negara Arab

Banyak negara Arab masih menyimpan luka lama dari kekalahan Perang Enam Hari. Itu sebabnya, jika Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) gagal memediasi gencatan senjata, pertempuran HAMASIsrael dikuatirkan akan melebar’, melibatkan banyak negara Islam terutama Iran yang tegas menyatakan mendukung Palestina.

Lantas, apakah konflik mengerikan ini akan mengulang lagi peperangan paling singkat dan mematikan dalam sejarah dunia, yang dinamakan Perang Enam Hari?

Dalam Perang Enam Hari, Israel memenangkan pertempuran melawan enam negara Arab sekaligus: Mesir, Lebanon, Suriah, Yordania, Turki, Irak, ditambah Gerakan Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO).

Perang Enam Hari terjadi setelah bertahun-tahun terjadi gesekan diplomatik dan pertempuran kecil antara Israel dan tetangganya. Pasukan Pertahanan Israel memenangkan pertempuran secara cepat dan telak.

Armada-armada tempur Mesir ditinggalkan oleh tentaranya di banyak titik di sepanjang Terusan Zuez . Sementara Suriah diselamatkan oleh PBB pada detik-detik terakhir masuknya pasukan AS ke ibu kotanya, Damaskus.

Israel melancarkan serangan udara pencegahan, yang melumpuhkan angkatan pasukan udara Mesir dan sekutunya. Israel kemudian melancarkan serangan darat yang berhasil dan merebut Semenanjung Sinai, dan Jalur Gaza dari Mesir, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Dilansir History, 11 Mei 2018, perang singkat yang berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi oleh PBB ini, telah secara signifikan mengubah peta Timur Tengah, dan menimbulkan gesekan geopolitik yang berkepanjangan.

Pada 1948, pasca gesekan diplomatik dan perang kecil antara Israel dengan negara-negara Arab menyusul perselisihan seputar pendirian Israel, koalisi negara-negara Arab telah melancarkan invasi yang gagal ke negara Yahudi yang baru lahir, sebagai bagian dari Perang Arab-Israel

Konflik berkembang besar pada 1956, yang dikenal sebagai Krisis Suez, ketika Israel, Inggris Raya, dan Prancis melancarkan serangan kontroversial ke Mesir, sebagai tanggapan atas nasionalisasi Terusan Suez oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser.

Era yang relatif tenang terjadi di Timur Tengah selama akhir 1950-an dan awal 1960-an, tetapi situasi politik terus berada di ujung pisau.

Para pemimpin Arab dirugikan oleh kekalahan militer mereka, dan ratusan ribu pengungsi Palestina yang diciptakan oleh kemenangan Israel dalam perang 1948.

Sementara itu, banyak orang Israel tetap percaya bahwa mereka menghadapi ancaman eksistensial dari Mesir dan negara Arab lainnya.

Kemudian, terjadi serangkaian sengketa perbatasan sehingga mempercepat terpicunya Perang Enam Hari. Pada medio 1960-an, gerilyawan Palestina, yang didukung Suriah, mulai melancarkan serangan melintasi perbatasan Israel, dan memprovokasi serangan balasan dari Pasukan Pertahanan Israel.

Pada April 1967, pertempuran semakin memburuk setelah Israel dan Suriah bertempur di udara dan artileri yang ganas, di mana enam jet tempur Suriah dihancurkan.

Setelah pertempuran udara April 1967, Uni Soviet memberi informasi intelijen ke Mesir bahwa Israel sedang memindahkan pasukan ke perbatasan utara dengan Suriah, sebagai persiapan untuk invasi skala penuh.

Informasinya tidak akurat, namun tetap mendorong Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser untuk bertindak.

Untuk menunjukkan dukungan kepada sekutu Suriah-nya, Nasser memerintahkan pasukan Mesir maju ke Semenanjung Sinai, kemudian mengusir pasukan penjaga perdamaian PBB yang telah menjaga perbatasan dengan Israel selama lebih dari satu dekade.

Ketetangan Terus Meningkat

Pada hari-hari berikutnya, Nasser terus berpidato membakar semangat militernya. Pada 22 Mei 1967, Nasser melarang segala bentuk pengiriman Israel dari Selat Tiran, jalur laut yang menghubungkan Laut Merah dan Teluk Aqaba. Sepekan kemudian, Nasser menandatangani pakta pertahanan dengan Raja Hussein dari Yordania.

Ketika situasi di Timur Tengah memburuk, Presiden AS, Lyndon B Johnson memperingatkan kedua belah pihak agar tidak melepaskan tembakan pertama, dan berusaha mengumpulkan dukungan untuk operasi maritim internasional guna membuka kembali Selat Tiran.

Namun, rencana tersebut tidak pernah terwujud, dan pada awal Juni 1967, para pemimpin Israel memilih untuk melawan pembangunan militer Arab dengan meluncurkan serangan pendahuluan. Pada 5 Juni 1967,

Pasukan Pertahanan Israel memulai Operasi Fokus, serangan udara terkoordinasi di Mesir. Pada pagi hari, sekitar 200 pesawat lepas landas dari Israel, dan menukik ke barat melintasi Mediterania sebelum berkumpul di Mesir dari utara.

Setelah mengejutkan orang-orang Mesir, jet-jet tempur Israel menyerang 18 lapangan udara yang berbeda, dan melenyapkan sekitar 90 persen angkatan udara Mesir. Israel kemudian memperluas jangkauan serangannya, dan menghancurkan angkatan udara Yordania, Suriah, dan Irak.

Pada penghujung hari jelang Perang Enam Hari, 5 Juni 1967, pilot Israel memenangkan kendali penuh atas langit di Timur Tengah.

Israel hampir memastikan kemenangan dengan membangun superioritas udara, tetapi pertempuran sengit berlanjut selama beberapa hari lagi. Perang darat di Mesir dimulai pada 5 Juni 1967.

Bersamaan dengan serangan udara, tank dan infanteri, Israel menyerbu dengan melintasi perbatasan, dan masuk ke Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza. Pasukan Mesir melakukan perlawanan gigih, tetapi kemudian berantakan setelah Marsekal Mesir, Abdel Hakim Amer memerintahkan semuanya mundur.

Selama beberapa hari berikutnya, pasukan Israel mengejar pasukan Mesir , melintasi Sinai, dan menimbulkan jumlah korban yang parah. Front kedua dalam Perang Enam Hari dibuka pada 5 Juni 1967, ketika Yordania bereaksi terhadap laporan palsu tentang kemenangan Mesir, sehingga mereka mulai menembaki posisi Israel di Yerusalem. \

Israel menanggapi dengan serangan balik, yang menghancurkan di Yerusalem Timur, dan Tepi Barat. Pada 7 Juni 1967, pasukan Israel merebut Kota Tua Yerusalem, dan merayakannya dengan berdoa di Tembok Barat.

Fase terakhir Perang Enam Hari terjadi di sepanjang perbatasan timur laut Israel dengan Suriah. Pada 9 Juni 1967, setelah pemboman udara yang intens, tank dan infanteri Israel, maju ke wilayah yang sangat dibentengi di Suriah, yang disebut Dataran Tinggi Golan.

Mereka berhasil merebut Golan keesokan harinya. Pada 10 Juni 1967, gencatan senjata yang ditengahi oleh PBB mulai berlaku, dan Perang Enam Hari tiba-tiba berakhir. Diperkirakansekitar 20 ribu orang Arab dan 800 orang Israel tewas, hanya dalam 132 jam pertempuran.

Para pemimpin negara Arab terkejut dengan parahnya kekalahan mereka. Presiden Mesir Nasser bahkan mengundurkan diri dari jabatan, namun segera kembali menjabat setelah warga Mesir menunjukkan dukungan dengan demonstrasi besar-besaran.

Di Israel, suasana nasional digelar meriah. Dalam waktu kurang dari sepekan, negara yang baru berdiri ini telah merebut Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Perang Enam Hari sendiri memiliki konsekuensi geopolitik yang penting di Timur Tengah. Kemenangan dalam perang menyebabkan gelombang kebanggaan nasional di Israel, yang telah bertambah tiga kali lipat, tetapi juga mengipasi api konflik Arab-Israel.

Masih terluka oleh kekalahan mereka dalam Perang Enam Hari, para pemimpin Arab bertemu di Khartoum, Sudan, pada Agustus 1967, dan menandatangani resolusi yang menjanjikan ‘tidak ada perdamaian, tidak ada pengakuan dan tidak ada negosiasi’ dengan Israel.

Dipimpin oleh Mesir dan Suriah, negara-negara Arab kemudian melancarkan konflik besar keempat dengan Israel selama Perang Yom Kippur pada 1973.

Dengan mengklaim Tepi Barat dan Jalur Gaza, negara Israel juga menyerap lebih dari satu juta orang Arab Palestina. Beberapa ratus ribu orang Palestina kemudian melarikan diri dari pemerintahan Israel, memperburuk krisis pengungsi yang telah dimulai selama Perang Arab-Israel Pertama pada 1948, dan meletakkan dasar bagi kekacauan politik dan kekerasan yang sedang berlangsung.

Sejak 1967, tanah yang direbut Israel dalam Perang Enam Hari telah menjadi pusat upaya untuk mengakhiri konflik Arab-Israel. Israel mengembalikan Semenanjung Sinai ke Mesir pada 1982 sebagai bagian dari perjanjian damai, kemudian menarik diri dari Jalur Gaza pada 2005, tetapi terus menduduki, dan menyelesaikan wilayah lain yang diklaim dalam Perang Enam Hari, terutama Dataran Tinggi Golan dan Bank Barat.

Status wilayah ini terus menjadi batu sandungan dalam negosiasi perdamaian Arab-Israel

Sumber: suarapemred

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *