Tafsir Surat Ghafir ayat 26-28: Stigma Negatif pada Ummat Islam

Tafsir Surat Ghafir ayat 26-28: Stigma Negatif pada Ummat Islam
KH Didin Hafidhuddin
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Ahad, 30 Mei 2021

Oleh KH Didin Hafidhuddin

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Disarikan oleh Prof. Dr. Bustanul Arifin

Hajinews.id – Alhamdulillahi rabbil alamin. Kita masih dapat berjumpa lagi secara virtual dalam rangka melanjutkan kajian tafsir kita. Pada Ahad 18 Syawal dan bertepatan dengan 30 Mei kita sampai pada Surat Ghafir ayat 26-28. Kita awali dengan membaca Ummul Kitab, Surat Al-Fatihah, dilanjutkan dengan membaca ayat yang dimaksud. Terjemahan Surat Ghafir ayat 26-28 itu adalah sebagai berikut. “Dan Fir‘aun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), “Biar aku yang membunuh Musa dan suruh dia memohon kepada Tuhannya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di bumi.

Dan (Musa) berkata, “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari perhitungan”. Dan seseorang yang beriman di antara keluarga Fir‘aun yang menyembunyikan imannya berkata, “Apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia berkata, “Tuhanku adalah Allah”, padahal sungguh, dia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu.

Dan jika dia seorang pendusta maka dialah yang akan menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika dia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta”.

Pada pekan lalu telah dijelaskan bahwa Allah SWT telah mengutus Nabi Musa AS untuk menyebarkan kalimat Tauhid kepada Bani Israil, dengan tiga tokoh terkenal Firaun, Haman dan Qarun. Kekuasaan yang diberikan Allah SWT harusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Itulah pemimpin ideal yang didambakan ummat. Bahkan di antara tujuh kelompok yang akan mendapat naungan kelak di Padang Mahsyar adalah imam (pemimpin) yang adil, yang penuh amanah dan tanggung jawab. Tapi, Firaun bukan pemimpin yang adil, tapi pemimpin yang dzalim, bahkan Firaun mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan Yang Maha Tinggi.

Tokoh kedua adalah Haman adalah pembantu terdekat, yang memiliki akses dan fasilitas yang luar biasa, kategori muqarrabin (lingkaran terdekat). Haman sebenarnya pintar, tapi hanya untuk menjaga interest-nya untuk mendukung Firaun. Kelompok lain yang dekat dengan kekuasaan ini adalah para tukang sihir. Permintaan mereka adalah untuk memperoleh upah dan fasilitas yang sangat tinggi. Firaun pun menyetujui dan mengangkatnya sebagai ring satu, lingkaran terdekat, dengan fasilitas dan jabatan yang menggiurkan. Ternyata, kita paham bahwa Mujizat Tongkat Nabi Musa AS berubah menjadi ular besar yang makan ular-ular kecil ciptaan tukang sihir itu. Para tukang sihir itu ada yang beriman kepada Alah SWT, Tuhan Musa dan Tuhan Harun. Tokoh ketiga adalah Qarun, yang sangat kaya dan merasa kekayaannya itu hasil jerih payah sendiri, bukan karena rizki dari Allah.

Kita semua paham bahwa tiga tokoh itu hancur karena kedzaliman dan amanah yang tidak diperguanakan sebagaimana mestinya. Kita perlu ingat bahwa amanah itu mengundang rizki dari Allah SWT. Sebaliknya, khiyanat itu mengundang kefakiran dan kehancuran. Kita dilarang untuk berkhiyanat kepada Allah SWT, dilarang untuk berkhiyanat kepada Rasulullah SAW, yang telah memberikan contoh bagaimana menjadi pemimpin yang adil dan amanah. Kita dituntut untuk memanfaatkan amanah ilmu yang diberikan oleh Allah SWT. Ilmu pengetahuan itu adalah amanah, yang harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan ummat.

Nabi Musa AS tetap diperintahkan untuk berdakwah kepada Firaun, walaupun dengan kehuatan dan kekuasaan yang demikain besar. Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS diperintah melakukan dakwah dengan ucapan yang baik. Siapa tahu dengan dakhwa seperti itu Firaun dapat berfikir dan mengambil hikmah dari dakwah yang disampaikan. Dakwah itu jelas bukan caci maki, tapi upaya mengajak orang lain dan memberikan pencerahan. Ternyata, Firaun tetap menolak, bahkan berniat membunuh Nabi Musa AS. Bahkan Firaun memberikan stigma negatif kepada Nabi Musa AS. Firaun menyampaikan sinyalemen bahwa Nabi Msua AS dianggap sebagai pembuat masalah (trouble maker).

Nabi Musa AS dikhawatirkan akan menukar agama nenek-moyang Firaun atau Nabi Musa AS diastigmakan akan menimbulkan kerusakan di bumi. Itu benar-benar pemberian stigma negatif kepada agama islam, agama tauhid yang langsung dari ajaran Allah SWT. Agama islam adalah agama kedamaian, yang mengajak pada keselamatan dunia akhirat. Pengalaman sejarah juga mengajarkan bahwa ada kelompok tertentu bahkan memberikan stigma negatif dan sinyalemen buruk lain kepada agama islam. Stigma itu tentu merupakan pemutarbalikan fakta, karena islam adalah agama ilahiyah (bersumber dari Allah SWT) dan agama insaniyah (yang mengatur hubungan antar manusia). Kelompok-kelompok tertentu itu memberikan stigma negatif terus menerus kepada agama islam, bahkan sampai sekarang, dengan beberapa macam variasinya. Pemberian stigma negatif kepada islam karena khawatir terkikis kekuasannya atau bahkan hilang kenikmatan duniawi yang dimilikinya, tentu sangat berbahaya, karena meninggalkan kompleksitas persoalan sosial-politik yang lebih buruk.

Hal yang menarik adalah pada ayat 28 disebutkan bahwa ada seorang laki-laki dari lingkungan Istana yang ikut menengahi atau mendebat keinginan Firaun untuk membunuh Nabi Musa AS. Laki-laki itu mengajak berfikir Firaun dan keluarga Istana dengan pernyataan sederhana tapi telak, “Apakah kalian akan membunuh seseorang yang hanya mengajak kita untuk menyeru kepada kebenaran untuk menyembah Allah?” Seorang laki-laki itu selama ini menyembunyikan keimanannya kepada Allah SWT. Para ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa laki-laki itu adalah Anak Paman Firaun atau Sepupu Firaun dengan pola pikir rasional, walau mungkin telah mendapat hidayah Allah SWT, “Dan jika dia seorang pendusta maka dialah yang akan menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika dia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Pada akhir ayat juga terdapat Firman Allah SWT yang sangat tegas, “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta”.

Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa pada intinya kita diminta meneruskan berdakwah dengan ikhlas dan tawakkal kepada Allah SWT, apa pun kondisinya. Berdakwah kepada penguasa dzalim dan pendusta seperti Firaun tentu menghadapi tantangan yang berat. Pada hakikatnya, suatu waktu akan terdapat campur tangan dan kekuasaan Allah SWT yang kita tidak sadari, yang akan menentukan keberhasilan dan masa depan dakwah dan tegaknya ajaran Islam.
Dalam menjawab beberapa pertanyaan hadirin tentang strategi berdakwah pada masa kini, menghadapi buzzer yang senantiasa mendiskreditkan agama islam, pada intinya kita harus menghadapi dengan baik, dengan hikmah dan perkatan yang baik, dan saat ini menggunakan teknologi dan lain-lain. Pertama, tidak mudah termakan fitnah dan adu domba. Perintah Allah SWT dalam Surat Al-Hujurat Ayat 6, “ Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”.

Kita harus melakukan tabayyun atau mencari klarifikasi dulu. Misalnya, dalam kasus Palestina kemarin. Ada tersiar berita ada pernyataan bahwa persoalan Palestina bukan urusan kita orang Indonesia. Setelah diyakini kebenarannya, kita harus menjawab dan menjelaskan bahwa Palestina adalah urusan kita bangsa Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945 “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Bangsa Indonesia juga memiliki sejarah yang cukup panjang dengan Bangsa Palestina. Apalagi di sana ada Masjid Al-Aqsha, yang merupakan salah satu simbol agama islam. Muslim dengan muslim lain itu ibarat bangunan yang utuh. Kita harus merasa sakit jika warga muslim di Palestina juga disakiti dan dibunuhi seperti sekarang.

Al-Quran menggambarkan kisah-kisah Nabi Musa AS dan perjuangannya, sebenarnya menjadi ibar (jembatan) atau ibrah (pelajaran) bagi masyarakat masa kini. Pelajaran berharga adalah bahwa dakwah itu pasti menghadapi tantangan, yang merupakan sunnatullah dari suatu dakwah. Jangan hanya memilih berdakwah dengan tantangan yang ringan saja. Materi dan substansi dakwah tidak boleh berubah, misalnya tentang tauhid, muamalah, ekonomi islam dll. Jangan pernah menganggap bahwa berhubung pada hari ini sistam riba masih kuat, sehingga materi dakwah tentang ekonomi islam dihilangkan. Strategin dakwah yang mungkin diubah, misalnya menyampaikannya dengan cara yang lebih baik dan efektif. Benar bahwa Allah SWT akan memberikan kemenangan bagi orang yang baik, tapi hal itu memerlukan proses yang bisa jadi panjang, tapi bisa jadi pendek. Dalam Al-Quran Surat Al-Hajj Ayat 40-41, “Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa”, (Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.

Tantangan kehidupan akan semakin berat dan dahsyat, sehingga kita diminta untu senantiasa menjaga keimaman diri dan keluarga. Perhatikan Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat 105, “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk”. Kita tetap menjaga diri kita dalam kondisi apa pun, agar senantiasa mendapat hidayah Allah SWT. Kita jaga iman kita, anggota keluarga, menajaga dari ancaman dan godaan yang dapat mengganggu kadar keimanan. Jika kita terganggu kadar keimaman dan cenderung berbuat dzalim, kita terus ingat akan ancama adzab Allah SWT di dunia, yang dapat menimpa orang dzalim dan orang beriman sekaligus. Perhatikan Al-Quran Surat Al-Anfal Ayat 25, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.

Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya”. Ketika Allah SWT menurunkan azab kepada kita di dunia, adzab itu menimpa orang dzalim dan orang beriman. Walaupun Rasulullah SAW menerangkan dalam hadistnya bahwa ujung dari musibah itu berbeda, bagi orang mu’min dan bagi orang dzalim. Bagi orang mu’min, kematian yang mendadak adalah rahmat, tapu bagi orang dzalim, kematian mendadak adalah bencana. Kita senantiasa mohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari bala’ bencana atau adzab atau murka Allah SWT. Demikianlah, mari kita tutup dengan doa kiffarat majelis, “Subhaanaka allahumma wa bihamdika. Asy-hadu an(l) laa ilaaha illaa anta. Astaghfiruuka wa atuubu ilaika”. Demikian catatan ringkas ini. Silakan ditambahi dan disempurnakan oleh hadirin yang sempat mengikuti Ta’lim Bakda Subuh Professor Didin Hafidhuddin tadi. Terima kasih, semoga bermanfaat. Mohon maaf jika mengganggu. Salam. Bustanul Arifin

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *