Fadli Zon Ungkap Tiga Alasan Menolak PPN Sembako: Jahat dan Miskin Imajinasi

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews — Rencana Pemerintah (Kementrian Keuangan) untuk mengenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) bagi sembako (sembilan bahan pokok) dan jasa-jasa lain, termasuk pendidikan, melalui Revisi Undang-Undang Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), menurut Fadli Zon sangatlah jahat dan miskin imajinasi.

Hal itu dikemukakan Fadli Zon dalam video yang Hajinews kutip dari akun youtube pribadinya fadlizonofficial pada, Kamis (17/6/2021). Ia juga menganggap rencana itu jahat, karena siapapun yang memiliki gagasan tersebut cukup jelas tidak memiliki empati dan sensitivitas terhadap kesulitan yang tengah dihadapi masyarakat.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Adapun dalam video unggahannya tersebut, Fadli menyebutkan tiga alasan penolakan PPN.

Tiga Alasan Penolakan PPN

Pertama, alasan menolak PPN sembako rencana pemerintah dalam hal ini Kementrian Keuangan untuk mengenakan pajak pertambahan nilai atau PPN bagi sembako sembilan bahan pokok dan jasa-jasa lain termasuk pendidikan melalui 1 revisi undang-undang ke 5 nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan atau RUU KUHP menurut Fadli sangatlah jahat dan miskin imajinasi.

 

“Rencana itu juga miskin imajinasi, karena di tengah situasi krisis. Pemerintah mestinya berpikir dalam kerangka bagaimana menyelamatkan perekonomian, bukan hanya bagaimana menyelamatkan keuangan negara. Kalau perekonomian selamat, maka keuangan negara juga selamat, tetapi hubungan tersebut tidak berlaku sebaliknya kalau yang diselamatkan pemerintahannya keuangan negara bisa-bisa perekonomian kita tambah nyungsep secara umum ada beberapa alasan kenapa rencana penarikan PPN terhadap kebutuhan pokok tidak boleh dilakukan,” ungkap Fadli.

Menurutnya saat ini, mayoritas rumah tangga di negeri ini kondisinya sedang susah berdarah-darah, sehingga imajinasi pemerintah ketika menyusun rencana kebijakan mestinya kaya bukan tambah miskin dan sempit wawasan.

Kedua, alasan struktural produk domestik bruto PDB 57,606% ditopang oleh konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2020.

“Menurut data BPS Badan Pusat Statistik konsumsi rumah tangga kita telah mengalami kontraksi hingga 2,603% akibatnya pertumbuhan ekonomi kita minus 2,07% yang menjadi kapal yang terburuk sejak krisis 1998. Sebagai catatan 57% pengeluaran rumah tangga di Indonesia habiskan untuk pangan pada rumah tangga rawan pangan porsinya bahkan lebih besar lagi yaitu mencapai 69%. Jika rencana pengenaan PPN terhadap kebutuhan pokok ini diteruskan dampaknya tentu saja akan kian memukul daya beli masyarakat. Kenaikan harga pangan biasanya akan mengorbankan belanja lainnya terutama belanja pendidikan dan kesehatan.”

Sementara, di sisi lain pemerintah juga akan mengintensifkan pajak di sektor pendidikan dan kesehatan. Maka, lanjut Fadli, secara umum kebijakan ini akan mendorong turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Alasan kenapa kita harus menolak PPN ini. Menurut Fadli, di satu sisi pemerintah akan memajaki kebutuhan pokok rakyat, sementara pada saat bersamaan pemerintah malah menggratiskan pajak bagi pembelian kendaraan roda empat. Ini logika kebijakan yang menurutnya amoral.

Relaksasi pajak penjualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (ppnbm dtp) bagi kendaraan roda empat ini malah diperpanjang dan bukan hanya berlaku bagi kendaraan 1500cc tapi juga hingga yang 2500cc. Lebih jauh Fadli menjelaskan, ada 29 tipe kendaraan yang kini pajaknya tengah didiskon oleh pemerintah. Sementara pada saat bersamaan pemerintah merencanakan program memajaki sembilan bahan pokok kehidupan rakyat, “menurut saya pemerintah tak paham skala prioritas tinggal logika kebijakan ini kacau.”

 

Ketiga, alasan legal. Sejak undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, hingga diubah menjadi undang-undang nomor 11 1994, undang-undang Nomor 18 tahun 2000, dan undang-undang nomor 42 tahun 2009, bahan kebutuhan pokok selalu dikecualikan dari PPN.

Bahkan, undang-undang nomor 11 2020 tentang cinta kerja juga mempertahankan perkecualian tersebut “Bagaimana ceritanya ketentuan Omnibus Law yang baru saja di sah kan nggak di utak-atik lagi dalam pembahasan RUU KUHP di tengah krisis seperti sekarang ini Pemerintah mestinya mengubah cara pandang mengenai pajak mestinya pajak dilihat bukan hanya sebagai instrumen pendapatan pemerintah melainkan dilihat sebagai instrumen untuk memberikan insentif dan disinsentif perekonomian sehingga lebih banyak lagi angsa yang bertelur. intensifikasi pajak apalagi di saat krisis itu tak ada bedanya dengan memotong angsa kita kehilangan mesin petelur dan disaat yang bersamaan daging yang diperoleh juga tidak seberapa jumlahnya.”

Selain itu Fadli memaparkan, dari survei Global Consumer Insights 2020 yang dibuat oleh Price Waterhouse Coopers (PWC) dipaparkan bahwa pendapatan rumah tangga Indonesia sebesar 65% selama pandemi covid19.

Angka penurunan ini lebih besar dibanding rata-rata populasi Global yang hanya turun sekitar 40%, kata Fadli. Rumah tangga di Indonesia harus menghadapi lonjakan tagihan pengeluaran dan utang konsumsi yang jauh lebih besar dibanding rumah tangga secara global di Indonesia kenaikannya mencapai 63%, sementara rata-rata Global hanya mencapai angka 41% saja.

“Saya paham, di tengah situasi sulit ini Pemerintah sedang dibebani target pendapatan yang tidak mudah. Selama ini Pemerintah kita terlalu bergantung pada berbagai jenis pajak terutama PPN dan PPh badan jadi ketergantungan terhadap pajak korporasi terlalu besar. Bisa dilihat dari elastisitas penerimaan pajak yang lebih dalam dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi elastisitas antara penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi pada 2020 mencapai 7,8 artinya setiap 1% konferensi ekonomi menghasilkan kontraksi penerimaan pajak sebesar 7,8%. Struktur perpajakan ini butuh untuk di reformasi. Kenapa begitu sebab kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kondisi pada umumnya negara-negara lain, yang lebih maju dari Kita dimana penopang utama penerimaan pajaknya justru berasal dari PPH orang pribadi,” kata Fadli.

Fadli menegaskan, tidak ada alasan untuk menerima kebijakan ngawur PPN untuk sembako. Ia berharap pemerintah segera mencabut dan evaluasi rencana kebijakan ini karena pasti akan menyusahkan masyarakat dan mempercepat kejatuhan perekonomian termasuk menambah jumlah orang miskin.(ingeu)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *