Babak Baru, Kejagung Sidik Dugaan Korupsi Kredit Macet LPEI Rp 683 M

Foto: Suasana Gedung Utama Kejaksaan Agung di Jakarta, beberapa waktu lalu (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews — Kasus kredit macet di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank memasuki babak baru, yakni disidik atas dugaan korupsi di Kejaksaan Agung.

Kemarin, Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung memeriksa 6 orang terkait kredit macet Rp 683,6 miliar di Group Wallet, yaitu PT Jasa Mulya Indonesia (JMI), PT Mulya Walet Indonesia (MWI) dan PT Borneo Walet Indonesia (BWI).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam siaran pers Kejagung, 6 orang yang diperiksa adalah seorang inisial AS selaku Mantan Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta. AS diperiksa terkait pemberian fasilitas pembiayaan kepada PT KKT.

Berikutnya, MS selaku Senior Manager Operation TNT Indonesia Head Office, yang diperiksa terkait pengiriman SBW melalui TNT. Kemudian Ir. EW selaku Manager Operation Fedex / TNT Semarang, diperiksa terkait pengiriman SBW melalui TNT.

Selanjutnya adalah FS selaku Kepala Divisi UKM pada LPEI Tahun 2015, diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT JMI dan PT MWI. Berikutnya, DAP selaku Kepala Divisi Analisa Resiko Bisnis II pada LPEI, diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT JMI.

Terakhir adalah YTP selaku Kepala Divisi Restrukturisasi Aset II pada LPEI, yang diperiksa terkait penanganan debitur macet.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan bahwa kronologi perkara ini bermula dari Indonesia Eximbank telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT. Cipta Srigati Lestari, PT. Lautan Harmoni Sejahtera dan PT. Kemilau Harapan Prima serta PT. Kemilau Kemas Timur.

“Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resik dalam posisi colektibility 5 atau macet per tanggal 31 Desember 2019,” ujarnya dalam keterangan, dilansir CNBC Indonesia, Rabu (30/6/2021).

Menurutnya, LPEI di dalam penyaluran kredit diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39%.

“Dimana berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun, dimana jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN),” ujarnya.

Selanjutnya, tutur Leonard, berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada profitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN ini untuk mengkover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalah di antaranya disebabkan oleh ke – 9 debitur tersebut di atas.

“Bahwa salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT. Jasa Mulia Indonesia, PT. Mulia Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari 3 (tiga) perusahaan tersebut adalah Sdr. S,” ujarnya.

“Pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI,” tambah dia.

Akibatnya, hal tersebut di atas menyebabkan debitur dalam hal ini Group Wallet yaitu PT. Jasa Mulya Indonesia, PT. Mulya Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dikatagorikan macet sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp 683,6 miliar yang terdiri dari nilai pokok Rp 576 miliar dan denda serta bungan Rp 107, 6 miliar.(dbs)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *