Vitamin D sendiri diketahui sudah ada di dalam tubuh dan mampu diproduksi tubuh dari sinar matahari yang diserap kulit.
Vitamin D ini bersifat larut dalam lemak, sehingga ada risiko kelebihan suplemen yang dapat menyebabkan toksisitas.
Pernyataan ini disampaikan menyusul klaim bahwa vitamin D adalah pengobatan atau pencegahan untuk penyakit Covid-19.
Sepengetahuannya, yang menjadi topik hangat belakangan ini adalah hasil penelitian di India yang dimuat beberapa surat kabar di sana. Salah satunya National Herald India dengan judul: Vitamin D shows promising results in COVID-19 treatment: PGI doctors.
Tim dokter di India itu menyatakan bahwa studi mereka membuktikan pemberian vitamin D mungkin sekali bermanfaat sebagai bagian dari pengobatan Covid-19. Namun, mereka juga bilang bahwa pemberian vitamin D sebelum diagnosis tidak memengaruhi hasil pengobatan terhadap pasien.
Artinya, Vitamin D yang dikonsumsi sebelum pasien terdiagnosis Covid-19 dibanding dengan pasien yang tidak mengonsumsi, ternyata sama saja hasilnya.
“Penelitian juga memuat, kalau dosis Vitamin D itu kebanyakan, ditemukan yang namanya toksisitas sebagai efek samping,” tegas Prof Zubairi, dikutip dari cuitannya, Senin (12/7/2021).
Memang, pemberian tambahan vitamin D sebesar 10-25 mikrogram tiap hari bisa memproteksi pasien terhadap infeksi akut saluran napas. Tapi tetap belum cukup bukti untuk mencegah penyakit Covid-19.
Prof Zubairi memandang belum ada cukup bukti bahwa vitamin D mencegah seseorang terinfeksi Covid-19. Begitu juga untuk pengobatannya.
Bahkan FDA (Food Drug Administration) tidak mengeluarkan izin untuk vitamin D sebagai bagian dari pengobatan Covid-19.
Selain itu Prof Zubairi menekankan, untuk meningkatkan daya tahan tubuh juga bisa dilakukan dengan cara lain. Tidak hanya konsumsi suplemen vitamin D.
“Lakukan olahraga teratur, berhenti minum alkohol dan merokok, tidur cukup dan mengonsumsi makanan bergizi,” imbau dia.
Sumber: netral