Karena Virus Tak Bisa Dituduh Kadrun

Karena Virus Tak Bisa Dituduh Kadrun
Presiden Jokowi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Rachland Nashidik, Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi

Hajinews.id – Inilah awalnya: BEM UI menyebut JokowiKing of Lip Service”. Kontan, pendengung Jokowi ramai-ramai menuduhnya binaan Cikeas. Padahal dalihnya cuma satu unggahan di media sosial yang isinya menyebut bertemu Ibu Ani Yudhoyono di Istana Negara.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Leon Alvinda Putra, kini Ketua BEM UI, mengunggah pengalamannya itu ke media sosial saat dia pelajar kelas dua SMP. Pada tahun 2103 itu dia memenangi kompetisi karya tulis dan diberi penghargaan di Istana Negara.

Orang yang pertamakali menuding Leon binaan Partai Demokrat adalah seorang Komisaris BUMN. Seorang pendengung di kubu Jokowi yang dulu pernah berjualan jam tangan imitasi. Netizen gemuruh: kok bisa orang macam itu diangkat jadi Komisaris BUMN?

Saya menggugat pertanyaan Netizen tersebut. Kenapa heran sales jam tangan imitasi pada masa ini bisa jadi Komisaris BUMN, bila tukang mebel bisa dipilih jadi Presiden? Bukankah demokrasi tidak menyoal Anda datang dari mana, apa latar sosial atau profesi Anda?

Ciri dari demokrasi yang berfungsi adalah siapa saja berhak jadi Presiden. Maling dan pemuka agama, sales jam imitasi atau tukang mebel, di mata demokrasi punya hak politik yang setara.

Mana profesi yang lebih penting atau mulia bukan urusan demokrasi. Ini empirisme yang mungkin tak merdu di telinga. Tapi pertanyaan penting dalam demokrasi memang bukan siapa anda, melainkan: apa tujuan anda? Sebenarnya Anda mau berbuat apa bagi kepentingan publik?

Jadi kenapa heran? Kenapa menuduh saya menghina?

Pengalaman Amerika

Saya tidak memandang rendah profesi tukang mebel. Semua profesi baik dan pasti membutuhkan keahlian tersendiri yang orang lain belum tentu mampu. Tapi apakah tukang mebel yang sukses menjadi kaya raya bakal berhasil bila mencoba menjadi, misalnya, pedagang sayur? Bisa dicoba. Bakal berhasil? Belum tentu.

Kalau menjadi Presiden? Ini pekerjaan yang jauh lebih berat dari pedagang sayur. Bakal gagal? Belum tentu. Yang penting, bila terpilih, buktikan saja Anda memang mampu—setidaknya mewujudkan janji-janji kampanye Anda.

Tentang hal itu, sejarah politik Amerika Serikat punya beberapa contoh. Steve Jobs sukses luar biasa sebagai “tukang komputer”. Hingga wafat, ia tak pernah berpindah profesi jadi Senator atau mencalonkan diri jadi Presiden AS. Tapi sepanjang sejarah planet bumi ini, ia akan terus dikenang dengan hormat sebagai “tukang komputer” yang sangat sukses. Buah karyanya dicari dan dimiliki dengan bangga oleh mungkin sekurangnya setengah penduduk dunia.

Jimmy Carter: Di masa lalunya ia pernah meneruskan profesi Ayahnya sebagai petani kacang. Tapi karirnya lebih sukses dalam bidang politik: menjadi Senator, Gubernur, lalu dipilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-39. Meski pada pemilu selanjutnya Carter gagal mendiami kembali Gedung Putih, tapi ia kemudian mendapat Nobel Peace Prize untuk pengabdiannya yang berhasil dalam bidang demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Sebaliknya dengan Trump. “tukang properti” ini sama-sama dipilih satu periode, namun ia meninggalkan Gedung Putih dengan noda pada demokrasi Amerika Serikat. Di masanya, rakyat AS dibelah: kulit putih atau berwarna, “penduduk asli” atau “imigran”, bukan muslim atau muslim, tak bermasker atau bermasker.

Donald Trump sibuk dengan “making America great again” dan memandang ringan bahaya pandemi Covid-19. Akibatnya, jumlah warga AS yang terpapar melonjak hingga pernah menjadi yang tertinggi di dunia. Hanya setelah Joe Biden berhasil mengambil alih Gedung Putih, barulah AS mampu mengumumkan kemenangan melawan pandemi. Tapi itu setelah rakyatnya menolak mentah-mentah keinginan Trump mendapat perpanjangan masa jabatan. Rakyat AS menggunakan pemilu untuk mengusir Trump dari Gedung Putih.

Begitulah hubungan profesi dan demokrasi punya riwayat berbeda-beda. Namun dalam setiap riwayatnya, kompetensi adalah jembatan yang menentukan.

Politik “Orang Baik”

Bagaimana dengan Joko Widodo di Indonesia? Jokowi adalah “orang biasa”, bukan elit politik atau elit militer. Lulus dari Fakultas Kehutanan UGM, ia menjadi “tukang mebel” yang sukses, tapi lalu banting setir jadi politisi.

Dua kali dipilih jadi Walikota Solo, periode kedua tak ia selesaikan. Pada 2012 ia mengikuti pemilihan Gubernur DKI yang ia menangi. Baru dua tahun menjalankan mandat sebagai Gubernur DKI, pada 2014 ia lompat mengikuti pemilihan Presiden.

Lawannya adalah Prabowo Subianto, elit militer sekaligus elit politik. Masa lalu Prabowo dikepung oleh sangkaan publik bahwa dia terlibat atau bertanggungjawab dalam kasus-kasus pelanggaran HAM, penculikan aktivis, kejahatan rasial, hingga upaya kudeta pada mertuanya, Jenderal Soeharto, mantan diktator Orba.

Dibanding Prabowo, Jokowi bukan saja “orang biasa”. Ia juga “orang baik”. Setidaknya begitulah lukisan juru kampanyenya yang agresif pada Pemilu 2014. Ia tak punya “historical baggage” sebagai pelanggar HAM. Sebaliknya, semasa masih Walikota, ia disebut-sebut berhasil memindahkan pedagang pasar ke tempat baru tanpa paksaan, “cuma dengan dialog”.

Dan Jokowi sangat menghayati perannya sebagai Gubernur DKI. Hari ini ia berfoto memasuki gorong-gorong. Besok berpose menjadi tukang tambal ban. Lain hari jongkok di rel kereta api sambil kelihatan berpikir keras.

Di foto lain, Jokowi tampak tak bersepatu menaiki bahu tembok beton. Saat itu Jakarta dilanda banjir. Ia berkemeja putih dengan lengan digulung. Ujung celananya naik setinggi lutut.

Entah kenapa ia tak melangkah menaiki anak tangga di sebelahnya saja, yang sebenarnya tak direndam banjir. Orang cuma tahu, gubernur Jakarta ini kemudian menyatakan: lebih mudah menangani banjir di Jakarta bila ia menjadi Presiden.

Begitulah, profil Jokowi ditampilkan jauh berbeda dari Prabowo Subianto. Pendek kata, karena Jokowi adalah “orang biasa”—maka “Jokowi adalah kita”. Karena Jokowi adalah “orang baik”—maka “orang baik (harus) memilih orang baik”. Begitulah bunyi kampanye itu.

Pada pemilu 2014, “orang baik” ini dipilih rakyat jadi Presiden RI ke-7.

Presidential Treshold

Pada pemilu 2019, Jokowi kembali bertanding dengan Prabowo dan ia menang lagi. Bumbu utama dalam resep kemenangannya adalah Presidential Treshold 20%.

Treshold ini ditetapkan pertama kali pada Pemilu 2009 oleh prakarsa PDIP dan Golkar, diikuti oleh partai-partai lain di DPR. Analis menduga, tujuan sebenarnya adalah menutup pintu kesempatan bagi SBY untuk kembali mencalonkan diri.

SBY dipilih jadi Presiden RI ke enam pada Pemilu 2004. Padahal partai Demokrat, partai baru pada pemilu kala itu, cuma meraih 7% suara.

Bila presidential treshold pada Pemilu 2009 meroket jadi 20%, kemungkinannya Demokrat gagal memenuhi syarat. Dus, SBY tak bisa kembali mencalonkan diri untuk periode kedua. Begitu mungkin rencananya.

Tapi sejarah punya kehendak berbeda. Demokrat justru menjadi pemenang pemilu 2009. Popularitas SBY membuat Demokrat meraih hampir 22% kursi DPR. SBY berhak kembali mencalonkan diri. Ia dipilih lagi menjadi Presiden RI dengan landslide victory.

Kalau begitu, apa masalahnya dengan Jokowi? Bukankah treshold 20% ini digunakan dalam semua Pemilu sejak 2009?

Masalahnya: pemilu Indonesia sampai 2014 dilaksanakan terpisah dalam dua tingkat. Pemilihan anggota legislatif lebih dulu. Baru meningkat ke pemilihan presiden. Dicari dulu partai mana saja yang memenuhi syarat untuk mengusung calon Presiden. Baru kemudian pemilihan Presiden dilaksanakan.

Itu berbeda dengan pemilu 2019. Mahkamah Konstitusi dalam kurun waktu ini sudah menetapkan bahwa pemilihan anggota legislatif harus dilaksanakan serentak dengan pemilihan presiden.

Dalam keadaan baru ini, presidential treshold dalam pemilu 2019 sebenarnya mustahil diteruskan. Bagaimana caranya mendapatkan partai yang berhak mengusung calon presiden, bila pemilihan anggota legislatif dilaksanakan pada waktu yang sama dengan pemilihan presiden?

Tapi presiden Jokowi dan partai anggota koalisinya punya akal untuk memanipulasi kemustahilan itu. Gunakan ulang saja hasil pemilu 2014!

Dengan begitu, PDIP sudah pasti memenuhi syarat untuk mengusung calon presiden. Perolehan Banteng moncong putih ini di pemilu 2014 adalah 18%. Tinggal cari satu lagi saja partai untuk diajak berkoalisi, maka presidential treshold 20% bukan masalah.

Tak pelak, presidential treshold yang dipaksakan ini memaksa partai-partai menengah dan kecil berkerumun di sekitar PDIP atau Partai Gerindra. Dua partai dengan perolehan kursi DPR terbanyak dalam Pemilu 2014. Hampir tak ada kemungkinan bagi koalisi lain yang mencukupi di luar dengan PDIP dan Gerindra. Pada kenyataannya, begitulah cara Jokowi kembali menghadapi Prabowo dalam pemilu 2019.

Dua kali pemilu, dua calon presiden saja, tetap Jokowi melawan Prabowo. Seolah Indonesia, bangsa yang besar ini, kekurangan stok pemimpin.

Politik Penyingkiran

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *