“Sebab dulu ada yang disebut peranan intuisi bahkan ilham itu sangat diasah terus. Bagaimana nyali kita, bagaimana ketajaman hati nurani itu digunakan oleh ulama terdahulu. Sekarang ini sudah tumpul,” imbuhnya.
Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) ini mengatakan, selama seseorang belum belajar pada impersonal teachers sejatinya orang itu belum belajar.
Maka dari itu, ia berusaha mengombinasikan ilmu laduni ke dalam sistem pengajaran di Perguruan Tinggi khususnya PTIQ dengan mengembangkan epistemologi keilmuan lewat penggabungan metodologi Hushuli (Konseptualisasi) dengan metodologi Hudhuri (Laduni). Karena menurutnya, jikalau itu dinafikan berarti sama saja dengan menafikan kandungan ayat 60-82 surat Al-Kahfi.
“Yang dimaksud metodologi hushuli adalah serba minded (rasional), created intellect (penciptaan akal budi) nya saja yang mau dipercaya. Sedangkan Hudhuri itu ada yang disebut uncreated intellect (di luar nalar) ada pengetahuan yang langsung dari Allah SWT,” kata peraih Piagam Penghargaan sebagai Sarjana Teladan IAIN Alauddin (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar) Ujung Pandang (kini Makassar) ini.
Ulama kelahiran Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini juga menjelaskan, pengalaman spiritual banyak mengisyaratkan tentang bagaimana manusia harus belajar kepada impersonal teracher tersebut. Pengalaman ini dibuktikan oleh ulama-ulama terdahulu lewat kesuksesan-kesuksesan yang ditorehnya.
“Bagaimana seorang Ibnu Arabi, bagaimana seorang Imam Al-Ghazali belajar dari keheningan menara mesjid. Tidak ada jaringan tidak ada Google pada waktu itu,” jelas Guru Besar Ilmu Tafsir ini.
Dengan mengutip surat al-Isra ayat 85, Ia menerangkan, bahwa ada objek ilmu di luar logika yang bersifat unlimited (tak terbatas), yang menjadi salah satu alasan para ilmuwan zaman dahulu lebih mengakomodir metodologi Huduri.
“Nah, kalau Hushuli yang kita banyak konsumsi sekarang ini epistemologi sekuler itu terlalu banyak memisahkan objek dan subjek, sedangkan Hudhuri itu objek dan subjek itu menyatu. Jadi, para ilmuwan dan para ulama itu menyatu,” terang Wakil Menteri Agama Republik Indonesia 2011-2014 ini.
Hushuli memiliki sifat antroposentris sehingga para filsuf banyak menggunakan metode ini, sedang Huduri banyak digunakan oleh para sufi lewat pendekatan spiritual karena bersifat teomorfis. Perbedaan lain antara kedua metode tersebut adalah dikotomi kedudukan antara ‘alim (tahu) dan jahil (tidak tahu).
“Kalau Hushuli yang menganggap relasi antara guru dan murid adalah alim dan jahil, sedangkan Hudhuri itu tidak menganggap demikian karena setiap orang itu dilahirkan dial up (sudah terhubung) dan sudah dites sebelum dikeluarkan,” ungkap penulis buku Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an & Hadits ini.
Ia mengibaratkannya dengan sebuah ponsel yang apabila diisi oleh kartu selular maka ponsel tersebut akan berguna dan dapat menghubungkan komunikasi antar-perseorangan. “Begitulah manusia. Kecerdasan sudah melekat pada dirinya sendiri,” papar Prof Nasaruddin.
Sumber: nu
1 Komentar