Tuntutan Hukuman Sang Koruptor Bansos

Tuntutan Hukuman Sang Koruptor Bansos
Tuntutan Hukuman Sang Koruptor Bansos
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, dituntut hukuman 11 tahun penjara. Tuntutan ini dipertanyakan banyak pihak karena dinilai cukup ringan. Sebab korupsi yang dilakukan Juliari adalah bantuan sosial (bansos). Apalagi kejadiannya saat pandemi!

Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, mempertanyakan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) hanya menuntut 11 tahun penjara. Menurut ICW, tuntutan hukuman Juliari bisa seumur hidup. Denda uang pengganti 14,5 miliar juga kurang dari setengah dana yang dikorup, 32,5 miliar rupiah. Mengapa tidak diminta mengembalikan dana yang dikorup.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Semangat KPK yang akan menuntut hukuman berat bagi sang koruptor bansos Covid-19 juga dimentahkan dengan tuntutan JPU KPK tersebut. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya mengakomodasi penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup.

Ini tidak memberi efek jera. Seharusnya korupsi bansos pandemi Covid-19 diberi unsur pemberatan agar menjerakan. Sangat jahat tindakan menteri sosial yang seharusnya bekerja keras menolong masyarakat yang ditimpa pandemi, tapi malah menelan dana jatah mereka.

Lagi pula kejahatan tersebut dilakukan seorang menteri sosial. Sungguh sebuah ironi. Menteri Sosial telah mencederai kepercayaan Presiden dan rakyat. Juliari bukan hanya gagal mengemban amanat, lebih dari itu dia mengkhianati pemberi amanat.

Ke depan Presiden harus cermat dalam memilih seorang menteri sosial karena banyak yang ternyata korupsi seperti Bachtiar Camsyah. Dia juga mengorupsi bantuan sosial. Mereka sampai hati menelan uang kaum miskin. Padahal para menteri korup tersebut sudah bergelimpangan harta dibanding orang-orang miskin yang bantuannya mereka telan.

Hukuman koruptor di negeri ini memang banyak dinilai terlalu ringan. Contoh saja kasus Djoko T yang diperingan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun. Kemarin masyarakat menyoroti penurunan hukuman ini.

Hukuman itu terkait penyuapan dua jenderal polisi: Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo terkait pengurusan penghapusan DPO di Imigrasi serta memberi suap ke Pinangki Sirna Malasari selaku jaksa pada Kejagung berkaitan dengan upaya permohonan fatwa MA agar namanya tidak dieksekusi. Jaksa Pinangki dijerat dengan dakwaan berlapis, yakni suap, pemufakatan jahat, hingga pencucian uang.

Mengapa ada penurunan hukuman? Menurut Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, keringanan hukuman yang diputuskan majelis hakim PT DKI Jakarta terhadapnya sebagai dampak pemangkasan hukuman atas jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Logika hukumnya, penyuap mesti mendapat hukuman lebih ringan dari penerima suap (Pinangki). Karena Pinangki telanjur divonis 4 tahun, maka penyuap ‘harus’ lebih ringan atau di bawah penerima suap. “Begitu rumus hukum Indonesia, selama ini,” kata Boyamin.

Sebelum penurunan hukuman pelaku cesie Bank Bali itu, majelis hakim PT DKI Jakarta memang lebih dulu memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Mak! Turun 6 tahun! Nah, ini yang perlu diselidiki Komisi Yudisial. Sebab empat dari lima hakim yang menangani putusan tingkat banding Djoko sama dengan mereka yang memotong hukuman Pinangki.

Komisi Yudisial harus turun tangan meneliti, mengapa hakimnya sama? Apakah ini wajar? Apakah begitu besar kesalahan pengadilan negeri, sehingga PT menurunkan dari 10 tahun menjadi empat tahun untuk Pinangki? Sebuah angka penurunan yang fantastis. Mestinya dalam situasi negara seperti ini tidak mudah mengobral keringanan hukuman.

Sumber: koran

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *