Bagaimana Elite ‘Pribumi’ Indonesia Melihat Perkembangan Orang Tionghoa Saat Ini

Bagaimana Elite ‘Pribumi’ Indonesia Melihat Perkembangan Orang Tionghoa Saat Ini
Bagaimana Elite ‘Pribumi’ Indonesia Melihat Perkembangan Orang Tionghoa Saat Ini
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Sebagian elite pribumi atau penduduk asli Indonesia telah memandang etnis Tionghoa dengan lebih positif dan toleran. Namun ada juga yang masih memandang dengan negatif, dan itu seharusnya mengkhawatirkan.

Hajinews.id – Pembakaran dan penjarahan beberapa kuil Buddha di Kota Tanjung Balai di Sumatra Utara pada 2016, memicu kekhawatiran tentang sentimen anti-Tionghoa. Kelompok Muslim terbesar kedua di Indonesia Muhammadiyah saat itu, menyerukan toleransi agama dan ras yang lebih besar.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pihak berwenang Indonesia mengatakan, insiden itu dihasut oleh media sosial, sementara 12 orang telah didakwa dengan perampokan dan perusakan. Dr Johanes Herlijanto, peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura yang meneliti hubungan China-Indonesia, menganalisis di Today Online bagaimana elite pribumi Indonesia memandang komunitas minoritas Tionghoa di negara ini.

Pada April 2016, kelompok besar Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) berdemonstrasi di luar Balai Kota Jakarta. Unjuk rasa tersebut adalah salah satu dari banyak peristiwa yang diselenggarakan sepanjang tahun untuk menuntut pengunduran diri Basuki Tjahaja Purnama dari posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta atau setidaknya agar ia kalah dalam Pilkada Jakarta 2017.

Secara umum, para pengunjuk rasa menuduh bahwa kebijakan yang diambil oleh gubernur etnis Tionghoa itu hanya menguntungkan taipan etnis Tionghoa dengan mengorbankan warga Jakarta yang miskin, banyak di antaranya adalah orang Indonesia “pribumi”.

Meskipun latar belakangnya adalah kebencian terhadap orang Tionghoa Indonesia kaya, tetapi gelombang protes itu menandai munculnya kembali persepsi negatif terhadap etnis minoritas itu secara keseluruhan.

Dalam dekade terakhir, bias terhadap orang Tionghoa Indonesia telah menurun berkat promosi multikulturalisme, keputusan pemerintah untuk menghapus undang-undang dan peraturan yang diskriminatif, dan upaya yang dilakukan oleh orang Tionghoa Indonesia untuk meningkatkan citra dan posisinya di masyarakat Indonesia.

Hingga sejak 2016, pandangan negatif terhadap etnis Tionghoa kembali menjamur. Pesan yang memperingatkan penduduk pribumi Indonesia tentang dominasi berbagai kelompok Tionghoa (termasuk pendatang dari China) telah beredar luas di media sosial sepanjang tahun itu. Tema yang sama juga tampak pada forum-forum reguler yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok aktivis politik.

Fenomena itu menimbulkan beberapa pertanyaan: Seberapa mirip atau berbeda persepsi negatif atas etnis Tionghoa saat ini dibandingkan dengan yang ada di masa lalu? Apakah perkembangan terakhir dalam hubungan China-Indonesia berperan dalam pembentukan persepsi tersebut? Apa yang terjadi dengan suasana simpatik yang terlihat di awal era Reformasi pasca-Soeharto?

Stereotipe lama, kecurigaan baru

Menurut analisis Johanes Herlijanto di Today Online, stereotipe lama atas etnis Tionghoa sebagai keturunan orang asing yang mendominasi perekonomian masih bertahan, sementara loyalitas politiknya terhadap Indonesia masih dipertanyakan.

Ekspresi publik atas sentimen itu mengalami penurunan stabil pada pertengahan 1990-an sebelum krisis keuangan Asia 1997, akibat tumbuhnya kepercayaan kelas menengah Indonesia.

Sejak awal era Reformasi, pandangan atas masyarakat Tionghoa Indonesia yang merupakan korban utama kerusuhan Mei 1998 semakin simpatik, seiring penerapan serangkaian kebijakan yang lebih akomodatif terhadap kelompok itu oleh pemerintah pasca Orde Baru.

Oleh karena itu, munculnya kembali sentimen anti-Tionghoa di ruang publik Indonesia, khususnya di kalangan elite, perlu mendapat perhatian khusus.

Sentimen seperti itu terlihat jelas di kalangan elite pribumi. Mereka termasuk para pemimpin beberapa organisasi Islam dan nasionalis yang menaruh kecurigaan terhadap kekuatan asing (asing dan aseng) dan beberapa di kalangan elite yang sudah berada di pertengahan karir di tahun-tahun terakhir era Orde Baru Soeharto.

Ketakutan mereka tampaknya berakar pada kemungkinan dominasi ekonomi, budaya, dan politik Tionghoa atas mayoritas pribumi. Ekspresi budaya yang meningkat dan partisipasi politik etnis Tionghoa adalah salah satu kekhawatiran yang sering disebutkan oleh para elite itu.

Pada 2012, Profesor A. Dahana, sejarawan senior dan ahli sinologi dari Universitas Indonesia, menyuarakan keprihatinannya tentang kritik terhadap “perayaan berlebihan” identitas budaya Tionghoa. Protes besar-besaran terhadap perayaan budaya itu belum terlihat, tetapi keluhan tentang budaya Tionghoa di mana-mana tampak jelas dalam percakapan dan diskusi yang kurang dipublikasikan di kalangan elite pribumi.

Dalam sebuah wawancara, seorang pakar senior politik dan keamanan Indonesia mengungkapkan ia menganggap seringnya kemunculan barongsai dan bentuk-bentuk budaya Tionghoa lainnya sebagai intimidasi terhadap komunitas pribumi.

Bendera Indonesia di samping Barongsai, dalam acara adat masyarakat Tionghoa di Indonesia. (Foto: Tempo.co)

Kecenderungan di antara beberapa etnis Tionghoa untuk tetap mengidentifikasi diri mereka sebagai korban juga telah menimbulkan tanggapan yang tidak menyenangkan dari beberapa elite pribumi Indonesia.

Dalam pandangan mereka, identifikasi semacam itu bertentangan dengan kenyataan bahwa bertahun-tahun setelah Indonesia memasuki era reformasi, etnis Tionghoa terus menikmati posisi dominan dalam perekonomian, seperti yang mereka rasakan pada masa Orde Baru, dan menonjol dalam politik negara.

Lebih dari ekspresi identitas budaya Tionghoa, partisipasi politik orang Indonesia Tionghoa telah hangat dibicarakan oleh kelompok elite pribumi. Hal itu harus dipahami mengingat argumen bahwa 70 persen ekonomi Indonesia ada di tangan orang Tionghoa, argumen yang telah dipublikasikan oleh Presiden Soeharto sendiri pada 1968 dalam sebuah ceramah di Tokyo.

“Mitos Dominasi China” itu kembali populer hampir tiga dekade kemudian, menyusul pernyataan yang dibuat oleh analis Australia Michael Backman yang menyatakan bahwa “Orang Tionghoa Indonesia mengendalikan sekitar 73 persen perusahaan yang terdaftar berdasarkan kapitalisasi pasar”.

Apa pun masalahnya, terlepas dari kekuatan ekonomi yang dimiliki sebagian dari mereka, etnis Tionghoa pada umumnya tetap menjadi “minoritas yang lemah secara politik” di bawah pemerintahan Orde Baru.

Namun, gambaran yang berbeda telah muncul belakangan ini. Dalam pikiran banyak orang pribumi Indonesia, etnis Tionghoa saat ini sedang membuat terobosan politik. Mereka mengutip politisi Tionghoa Indonesia seperti Hasan Karman (mantan Wali Kota Singkawang di Kalimantan Barat), Christiandy Sanjaya (Wakil Gubernur Kalimantan Barat), Basuki Tjahaja Purnama dan adiknya Basuri Tjahaja Purnama (mantan Bupati Belitung Timur).

Keinginan BTP untuk ikut serta dalam Pilkada Jakarta 2017, mimpinya menjadi presiden Indonesia, dan persiapan partai politiknya untuk ikut serta dalam Pilpres 2019 berikutnya secara populer dikutip sebagai contoh keinginan Tionghoa Indonesia untuk maju secara politik.

Pandangan yang populer menyebutkan bahwa setelah mendominasi ekonomi Indonesia, Tionghoa sekarang mencoba untuk mendominasi politik Indonesia juga, Johanes Herlijanto menyoroti dalam analisisnya di Today Online.

Bagi orang-orang tersebut, keberhasilan politik BTP adalah bagian dari strategi yang lebih besar oleh etnis Tionghoa untuk mendominasi orang Indonesia lainnya.

Menurut Ismail Yusanto, petinggi organisasi Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), strategi tersebut dilakukan dalam tiga langkah berbeda. Etnis Tionghoa pada masa Orde Baru konon menggunakan hubungan dekat mereka dengan elite penguasa untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan.

Sementara itu, di era Reformasi, mereka mengadopsi dua strategi yang berbeda, yaitu “memiliki” elit penguasa negara dengan menjadi pemodalnya, dan berusaha menjadi penguasa sendiri. Keyakinan itu didukung oleh beberapa perkembangan: munculnya politisi Tionghoa Indonesia, perilaku taipan etnis Tionghoa, dan penguatan hubungan China-Indonesia.

Para taipan Tionghoa memperkuat jaringan bisnis bekerja sama dengan pengusaha etnis Tionghoa dari negara lain. Misalnya, Mochtar Riady, taipan senior Tionghoa Indonesia, dilaporkan mengundang pengusaha Tionghoa dari seluruh dunia untuk menginvestasikan uang mereka di properti, infrastruktur, dan pertambangan Indonesia.

Undangan tersebut diumumkan pada konferensi ke-13 World Chinese Entrepreneurs Convention (WCEC) yang diselenggarakan di Bali pada September 2015. Seruan itu disambut dengan kekhawatiran beberapa anggota elite pribumi, beberapa di antaranya menafsirkan itu sebagai undangan untuk “menjajah” ekonomi Indonesia dalam tiga bidang tersebut.

Memang, pembangunan properti dan penguasaan tanah oleh etnis Tionghoa adalah dua isu terkait yang menjadi pusat wacana dominasi etnis Tionghoa di Indonesia. Dr. Sri Bintang Pamungkas, ulama dan politikus terkenal yang populer karena keberaniannya mengkritik Soeharto di awal tahun 1990-an, membahas tentang kepemilikan sejumlah besar tanah di Bandung dan banyak kota lain di Jawa Barat oleh keturunan etnis pengusaha Tionghoa.

Ia juga mengungkapkan kekhawatiran atas rencana sekelompok pengusaha etnis Tionghoa, termasuk keluarga Riady, untuk membangun pelabuhan dan infrastruktur pendukung lainnya di Cirebon, karena akan membuat kota itu didominasi oleh orang Tionghoa, seperti yang sudah terjadi di Bandung.

Ketakutan akan dominasi oleh Tionghoa telah menjadi lebih luas dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu juga didasarkan pada kecurigaan bahwa sejumlah besar orang Tionghoa dari China Daratan akan bermigrasi ke Indonesia, sehingga meningkatkan jumlah etnis Tionghoa yang sudah ada di negara ini.

Kecurigaan itu mulai muncul pada akhir Mei 2015, menyusul pernyataan Wakil Perdana Menteri China saat itu Madame Liu Yandong, dalam kunjungannya ke Jakarta. Pernyataan Madame Liu bahwa China akan lebih mempromosikan hubungannya dengan Indonesia melalui pertukaran orang ke orang memicu kekhawatiran tentang kedatangan besar-besaran migran China ke Indonesia. Bagi beberapa kelompok elite pribumi, para migran tersebut mungkin juga sangat kaya.

Dalam pesan yang beredar melalui akun Twitternya, Nazaruddin Sjamsuddin, mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbagi pandangannya bahwa kebijakan BTP, yang menurutnya telah meningkatkan biaya hidup di Jakarta secara signifikan, akan mengusir warga miskin dari kota (banyak di antaranya adalah pribumi). Jakarta pada gilirannya akan didominasi tidak hanya oleh orang Tionghoa Indonesia, tetapi juga oleh orang Tionghoa dari belahan dunia lain, termasuk China.

Pesan tersebut sudah beredar pada akhir Januari 2016. Penjelasannya mulai mendapatkan kredibilitas pada April 2016, setelah proyek reklamasi lahan di Teluk Jakarta menjadi perhatian publik. Kecurigaan bahwa properti di pulau-pulau buatan akan dijual ke China Daratan pun tersebar luas, terutama setelah beredarnya iklan versi Mandarin untuk apartemen dan kompleks perbelanjaan yang akan dibangun di salah satu pulau itu.

Jakarta bukan satu-satunya daerah yang dikhawatirkan elite pribumi bisa didominasi oleh Tionghoa. Hubungan baik antara pemerintah Indonesia saat ini dan China telah memungkinkan China untuk berinvestasi di beberapa proyek infrastruktur besar di beberapa bagian negara ini.

Meskipun sebagian besar dilakukan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia atau badan usaha milik negara, mereka diyakini menguntungkan pengusaha etnis Tionghoa yang mungkin menganggap proyek tersebut sebagai peluang untuk memperluas bisnis properti mereka dengan membangun apartemen atau kompleks perbelanjaan di dekat area tempat proyek-proyek dilakukan.

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung adalah salah satu contoh yang sering disebut-sebut. Proyek itu didanai melalui pinjaman dari Bank Pembangunan China (CDB) dan akan dibangun oleh China Railway International Co. Ltd. Rumor bahwa sejumlah besar tanah di dekat beberapa titik di jaringan kereta api tersebut dimiliki oleh seorang taipan etnis Tionghoa telah menimbulkan kecurigaan atas pengaruhnya dalam desain proyek.

Singkatnya, ketakutan akan dominasi etnis Tionghoa di Indonesia mencakup kecurigaan adanya aliansi antara etnis Tionghoa, birokrat Indonesia (termasuk birokrat pribumi tertentu), dan China.

Dalam “imajinasi konspirasi” tersebut, pemerintah maupun masyarakat negara adidaya baru terlihat memainkan beberapa peran berbeda, mulai dari pembeli properti, pemodal proyek infrastruktur, hingga menjadi kekuatan asing yang bisa berpengaruh signifikan terhadap para politisi Tionghoa Indonesia.

Lebih banyak pandangan inklusif

Pastinya, ada banyak anggota elite pribumi yang memiliki pandangan simpatik dan inklusif terhadap etnis Tionghoa. Masyarakat Tionghoa Indonesia sampai batas tertentu dipandang sebagai sekelompok orang yang terpisah dari taipan dan politisi etnis Tionghoa.

Bahkan mereka yang kritis terhadap etnis Tionghoa tetap merasa bahwa beberapa lebih baik daripada yang lain dalam hal nasionalisme Indonesia mereka. Sebagian besar percaya bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah orang Indonesia pertama dan terutama, mengutip para pahlawan seperti Laksamana Muda John Lie (etnis Tionghoa yang bertugas di Angkatan Laut Indonesia segera setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai contoh orang Tionghoa Indonesia yang berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.

Beberapa pemimpin LSM dan serikat pekerja tidak hanya memiliki pandangan simpatik terhadap etnis Tionghoa, tetapi juga berharap mereka akan lebih terlibat dalam gerakan mereka. Arif Nur Alam, ketua kelompok LSM yang menamakan diri “Koalisi Nawacita”, menyatakan bahwa ia dan rekan-rekannya “merasa bangga dan siap memberikan dukungan jika seorang Tionghoa Indonesia mau menjadi pemimpin, karena partisipasi seperti itu akan berkontribusi pada suasana demokrasi yang lebih baik di Indonesia” dan membantu menetralisir isu etnis.

Seperti yang diamati oleh seorang pemimpin serikat pekerja muda, kebencian terhadap individu Tionghoa Indonesia biasanya lebih didasarkan pada status mereka sebagai majikan atau perwakilan perusahaan, daripada pada latar belakang etnis mereka.

Terakhir, persepsi elit pemerintah terhadap etnis Tionghoa juga penting untuk dicermati. Dalam artikel yang baru-baru ini diterbitkan oleh mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan, ia berpendapat bahwa pengkategorian etnis Tionghoa sebagai non-pribumi tidak lagi dapat diterima, karena orang Tionghoa Indonesia adalah bagian dari Indonesia dan dengan demikian harus diperlakukan seperti halnya orang Indonesia lainnya.

Selama wawancara Johanes Herlijanto di Today Online dengan beberapa pejabat pemerintah, termasuk perwira militer, beberapa mengatakan hal yang sama. Misalnya, Ina Krisnamurthi, pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri RI, menyatakan bahwa perbedaan etnis antara Tionghoa Indonesia dan etnis lain di Tanah Air tidak menjadi perhatian lagi. Bagi perempuan Jawa itu, orang Tionghoa Indonesia sama Indonesianya dengan dia.

“Kita sudah move on dari masalah etnis ini, kita harus move on,” simpulnya.

Persepsi etnis Tionghoa di kalangan elite pribumi Indonesia masih tetap tidak seragam. Beberapa segmen elite pribumi memiliki pandangan negatif terhadap orang Tionghoa Indonesia, sementara yang lain cenderung memiliki sikap yang lebih toleran dan simpatik. Namun, kebangkitan sentimen negatif baru-baru ini patut mendapat perhatian khusus, Johanes Herlijanto menyimpulkan di Today Online.

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *