RISALAH HARI KEMERDEKAAN : ‘Sebelum Jagung Berbunga’

RISALAH HARI KEMERDEKAAN : ‘Sebelum Jagung Berbunga’
Mohammad Joni, Advokat di Jakarta dan Ketua PP IPHI
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Mohammad Joni, Advokat di Jakarta dan Ketua PP IPHI

Hajinews.id – 17 Agustus 2021 ini  saya menyangkul lautan ilmu. Berkaos merah ‘Enjoy Belitong’. Pulau Belitong menghadap Laut Cina Selatan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Di mezanin, patik perlahan menginyam buku Mohammad Hatta bertitel ‘Sekitar Proklamasi’ (1970). Dari sebagian riset Hatta di East-West Center, Honolulu, 1968, seperti paragraf pertama Kata Pengantar Hatta.

Di meja 4 potong jagung rebus tersaji di pinggan ukuran sedang. Di bawah, istri saya sedang bla bla, kedatangan tamu cq. kandidat klien dadakan.

Mata saya berhitung, Proklamasi tak hanya himpunan 27 kata. Hati saya bergumam, Proklamasi itu tajam. Daya berangusnya dahsyat. Proklamasi bukan hanya kata-kata. Dahsyat yang mewakili tenaga perjuangan kemerdekaan. Yang yang bukan hadiah. Yang bukan pemberian. Bukan belas kasihan. Kalkulasi peta politik matang. Jagung menjadi metafora. Tamu menjadi indikasi. Akankah “lautan” sejarah dikuras?

Proklamasi membungkas akar tunggang penjajahan –yang bersatu mesra dengan ketidakadilan. Mempersatukan jamak ragam kebedaan yang tajam. Diskriminasi dan eksploitasi yang mengiris-iris nadi ketidakadilan. Mulai dari merdeka pemikiran, diris-iris tanpa etika.

Proklamasi hasil perjuangan dialektika inteligensia tajam. Angkat senjata demi merdeka. Aksi gerilya rakyat-cum-tentara, dan kekuatan perjuangan tajam mata pena berskala dunia.

Doa ulama dan air mata kaum tertindas se-nusantara, racun bagi penjajah yang mengerkah, rakus tak berbatas puas.

Diikat senasib penjajahan durjana. Dirangkai dalam satu bingkai: Bhinneka Tunggal Ika. Menjadikan tekat Indonesia Merdeka. Sejak 1925 bergema ‘Naar Republiek Indonesia’. Disusul ‘Indonesia Vrije’ (1928), dan ‘Indonesia Merdeka’ (1933).

Ini catatan sejarah beberapa hari sebelum Proklamasi. Sepulang Bung Karno dan Hatta dari Saigon bertemu Marsal Terauci, transit sehari di Singapura, 13 Agustus 1945. Kata Hatta mereka menginap di Sea View Hotel menghadap pantai. Hatta mendengar ada anggota PPKI dari Sumatera: Mr.Teuku Mohammad Hassan, Dr. Amir dan Mr.Abas juga menginap di sana. Tapi hari itu tak bertemu.

Esoknya, 14 Agustus 1945. Saat hendak bertolak ke Jakarta, Hatta membahas situasi aktual peta perang dunia kedua. Penyerbuan tentara Rusia ke Mansjuria. Diam-diam diketahui, Jepang terkulai menghadapi keruntuhan.

Apa reaksi Hatta?

“..kita harus setjepat-tjepatnya bekerdja memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, mengesahkan Undang-Undang Dasar dengan tidak banyak debat, jang rentjananja serba ringkas telah diperbuat oleh Panitia Penjelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia dan saudara-saudara dari daerah lekas pulang untuk menjusun Pemerintah Daerah beserta persiapan untuk menghadapi Belanda jang akan dibawa kembali oleh Sekutu untuk menguasai kita lagi” (Hatta, hlm.24-25).

Kembali ke Jakarta dengan bomber. Tiba di lapangan terbang Kemajoran jam 11. Disambut massa rakyat. Meneriakkan “Indonesia Merdeka!”. Bung Karno diminta pidato.

“Kalau dahulu saja berkata, sebelum djagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saja dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga”, sepetik pidato Bung Karno.

Rakyat menyambut tepuk tangan riuh. Bung Karno dan Hatta tak langsung pulang ke rumah. Ada episode “tamu” yang mendesak minta bertemu.

“Gunseikan Djenderal Yamamoto mendesak supaja kami ke istana dahulu, sebab Saiko Sikikan sudah menunggu.

Ini suatu penerimaan jang gandjil, tapi saja terpaksa mengalah”, tulis Hatta. (Hatta, hlm.26).

Hatta menorehkan lagi, seakan dia sangat paham watak kultural Jepang.

“semangat samurai tetap tahan udji, sekalipun dalam saat jang menghadapi keruntuhannja” (Hatta, hlm.27).

Hari demi hari berubah cepat. Rahasia takdir hari terkuak pelan-pelan. Merdeka harus cepat dan dikalkulasi cermat. Tikungan sejarah sedang dibuat. Dengan syaraf intelinjensia dahsyat dan kalkulasi pemikiran kuat.

Tak hendak mengikuti agenda 25 Agustus, cepat-cepat dibacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pas bulan puasa yang banyak berkah dari Allah.

Membaca Hatta saya membatin. Menengok jagung diam di pinggan cekung seakan kebun di lautan mengapung. Kesempatan kadang datang pelan-pelan dan nada suaranya diam-diam. Ambil-lah cepat-cepat. Selebihnya, ambil dengan cermat-cermat.

Esoknya, 18 Agustus 1945 dikokohkan konstitusi. Konstitusi yang mengabdi kepada cita-cita Proklamasi. Kausal terbit dan disahkannya konstitusi adalah demi memastikan cita Proklamasi. Demi merubah nasib pribumi. Proklamasi dan konstitusi beraksi sebagai Living Constitution. Usah didebat lagi. Jangan diperas lagi.

Fakta tak bisa diperas. Fakta itu jujur dan suci. Lautan melingkungi pulau Belitong menjaga Indonesia ke watas Laut Cina Selatan. Jagalah cermat-cermat.

Di televisi, saya menonton “Drain The Oceans”, teknik meniris lautan mencari fakta dan cerita: bangkai kapal penjelajah, tapak anjungan pengeboran minyak dan misteri kekayaan sejarah di teluk Meksiko yang menghadap lautan Atlantik.

Adaptasi teknik “Drain The Oceans” itu kepada sejarah Indonesia, pasti menemukan banyak jejak peran tulus kiai, dan ulama serta wakaf harta kaum bumi putra demi Indonesia Merdeka.

‘Enjoy Belitong’ bukan cuman sebuah kaos, namun pulau yang menjaga demarkasi daulat lautan Indonesia. Dari tubuh lautan Indonesia jika dikelola seksama dan cermat bisa ampuh membuat rakyat sejahtera.

Saya membatin, ketika seorang kawan mengungkap proposal disertasi hukum persilangan 13 instansi yang berwenang menjaga lautan, 6 instansi memiliki armada patroli. Kiranya BAKAMLA bukan satu-satunya. Saya membayangkan cuan kantor hukum laut di lepas pantai Belitong, menjadi kuasa biota laut. Ahaa, enjoy menerima tamu cq. klien yang bergelora, yang memerdekakan lautan dari persilangan watas kebun.

Apa risalah Merdeka? Saatnya memanen jagung di lautan kita. Ambil cangkulmu. Sejahtera alasan kita bernegara. Merdeka!!! Tabik  | Penulis  – Muhammad Joni, SH, MH Advokat di Jakarta

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *