Taliban Di Antara Aspirasi dan kekhawatiran dunia

Taliban Di Antara Aspirasi dan kekhawatiran dunia
Taliban Di Antara Aspirasi dan kekhawatiran dunia
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

Hajinews.id – Terlepas dari kicauan dan gonggongan yang terkadang memuakkan dari media dunia, khususnya Barat, keluarnya Amerika dari Afghanistan adalah sesuatu yang perlu diapresiasi. Minimal keputusan itu merupakan “bisikan nurani” mengakui salah satu kesalahan negara adi daya ini dari masa ke masa. Sejak Vietnam, Irak, hingga ke Afghanistan, semuanya telah menjadi kesalahan dan dosa sejarah yang memalukan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Invasi Amerika di Afghanistan 20 tahun lalu itu sebuah kesalahan fatal yang diambil oleh pemerintahan GW Bush. Masih terngiang di telinga saya, di saat mendampinginya berkunjung ke Ground Zero. Di sanalah pertama kali Bush mendeklarasikan: “they will hear us” (mereka akan mendengar kita). Teman saya membisikkan ketika itu: “ it’s a war declaration” (itu pengumuman perang).

Banyak yang ribut dengan keluarnya Amerika dari Afghanistan. Padahal yang harusnya diributkan selama ini Kenapa Amerika menduduki negara lain atas nama memerangi terorisme? Toh sekali lagi sejarah telah membuktikan bahwa Amerika gagal menangkap/membunuh Osama bin Laden di Afghanistan. Justeru Osama terbunuh di negeri Ali Jinnah (Pakistan) belakangan.

Afghanistan memang negara yang unik. Pada tataran tertentu menjadikan kita, atau saya pribadi, berdecak kagum. Negara itu kaya secara alam. Juga letaknya yang strategis, selain menghubungkan negara-negara Asia Tengah dan Asia Selatan, juga dikelilingi oleh negara-negara besar dan berpengaruh seperti Iran, India, Pakistan dan China.

Tapi kehebatan Afghanistan Sesungguhnya ada pada bangsanya. Bangsa ini dalam sejarahnya telah membuktikan mampu menaklukkan penjajah-penjajah dari kalangan bangsa-bangsa kuat dunia. Dari Inggris, Uni Soviet, dan kini Amerika. Sebagai mahasiswa IIU Pakistan di akhir tahun 80-an (88-95), saya tahu betul panasnya jihad dan ruh mujahidin di bumi Afghanistan ketika itu.

Sekitar Agustus 1992 itulah masa ketika Uni Soviet harus angkat kaki dari Afghanistan. Ada euphoria yang sangat tinggi di kalangan Umat Islam saat itu. Berbagai mimpi (atau slogan) tumbuh. Salah satunya: “dari Kabul ke Jerusalem”. Slogan “Khaebar Khaebar ya Yahuud. Jaesyu Muhammad saofa ya’uud” terdengar di mana-mana.

Tapi akhirnya apa yang terjadi? Darah anak-anak Afghanistan terus tertumpah di negeri itu. Jika darah di masa sebelumnya segar harum mengalir di bumi jihad itu, beralih menjadi darah yang berbau amis. Hal itu karena yang terjadi belakangan adalah peperangan antar kabilah. Masing-masing kabilah ingin pemimpinnya yang menjadi jagoan. Dari Sayyaf, ke Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar dan seterusnya.

Afghanistan pun tidak pernah pulih dari luka-luka lama akibat peperangan panjang. Pembunuhan dan saling membunuh, kerap juga atas nama membela agama dan kemuliaan seolah menjadi biasa. Kekuasaan juga silih berganti dari Sayyaf, Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar, dan lain-lain berlalu tanpa ada dampak positif bagi kehidupan orang-orang Afghan.

Bangsa Afghan memang bangsa yang hebat. Masih terbayang wajah anak-anak Afghan yang saya ajar di sekolah “Al-Hilal al-Ahmar As-Saudi” di pinggiran-pinggiran kampung Peshawar. Kerap di wajah mereka masih penuh dengan debu-debu bahkan tanah. Maklum rumah-rumah mereka hanya dari tanah liat, dan seringkali tanpa air untuk mandi. Air begitu mahal untuk sekedar minum dan masak. Tapi dengan semua kesulitan itu mereka hadir di kelas setiap hari dengan ceria dan senyuman.

Hingga akhirnya dua dekade lalu, di saat pemerintahan dan kehidupan di Afghanistan mulai menggeliat. Tiba-tiba timbul lagi sebuah kelompok, konon dari sekolah-sekolah Islam (madrasah) di kawasan perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan. Mereka mayoritasnya dari kalangan suku Pushtu yang berbahasa Pukhtun. Itu terjadi ketika yang pemerintahan Pakistan ada di bawah Presiden Musharraf yang sangat dekat dengan CIA.

Kelompok Taliban (arti literalnya pelajar) itu tiba-tiba secara misterius menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menaklukkan beberapa propinsi Afghanistan. Intinya mereka membentuk pemerintahan tersendiri di luar dari pemerintahan Afghanistan yang berpusat di Kabul lbukota negara.

Sementara itu Amerika terus merasa terancam dengan keberadaan Osama bin Laden di Afghanistan. Sosok yang dibesarkan oleh Amerika sendiri. Kini punya pengaruh besar di kalangan mereka yang kecewa dan marah dengan dominasi Amerika di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah pasca perang Irak pertama.

Karenanya dijadikannya kelompok Taliban ini dengan harapan untuk mengeliminir sosok Osama. Kenyataannya Taliban tidak merasa itu kewajiban dan juga tidak etis secara iman untuk menghabisi Saudara sendiri. Karenanya mereka justeru memberikan perlindungan kepada Bin Laden dan groupnya.

Akhirnya Amerika berbalik menjadikan Taliban sebagai musuh, bahkan dengan segela kemampuannya, termasuk kekuatan media, menjadikan kelompok Taliban sebagai kelompok terroris. Taliban pun menjadi musuh yang harus dieliminir. Tapi Pakistan yang punya kepentingan dengan eksistensi Taliban setengah hati menjadi untuk menjadi kaki tangan Amerika menghabisi Taliban. Taliban di Afghanistan berhasil diruntuhkan di beberapa wilayah. Tapi mereka yang di Pakistan justeru membangun kekuatan. Tidak mengherankan belakangan justeru Bin Laden lebih nyaman tinggal di Pakistan.

Sementara itu di Afghanistan pemerintahan yang terpilih harus sejalan dengan keinginan Amerika. Mungkin dalam bahasa lain harus dari boneka-boneka Amerika. Hal ini menjadikan Taliban semakin termotivasi untuk mengambil alih kekuasaan di Afghanistan. Maka sepanjang dua dekade terakhir, Taliban kerap membuktikan eksistensinya tidak jarang dengan wajah yang buruk. Termasuk melalui ragam bunuh diri yang telah menelan banyak nyawa dari kalangan sipil.

Dengan keputusan Amerika untuk meninggalkan Afghanistan, kini Taliban membuktikan bahwa mereka eksis. Bukan saja eksis. Tapi memiliki kekuatan dan ada di hati sebagian besar rakyat Afghanistan. Kalau tidak memiliki kekuatan dan tidak ada di hati mayoritas rakyat Afghanistan tentu pemerintahan Kabul tidak secepat itu terjatuh.

Amerika sendiri sesungguhnya telah lama ingin keluar dari Afghanistan. Hanya saja memang selama ini harus mencari cara untuk menutup muka agar “shamefulness” (rasa malu) itu dapat tertutupi. Hingga naiklah seorang Presiden yang tidak peduli. Selain karena memang tidak ada rasa malu, juga karena berotak hitung-hitung ekonomi. Tidak memiliki kalkulasi-kalkulasi pengaruh politik dan dominasi global. Itulah kelebihan dan sisi positifnya Donald Trump. Dialah yang mengeksekusi persetujuan dengan Taliban untuk meninggalkan Afghanistan melalui perjanjian Doha di Qatar.

Presiden Biden yang kini harus menanggung serangan kritikan, khususnya dari kalangan Republikan, hanya melaksanakan hasil persetujuan pemerintahan Trump dan Taliban. Biden tentunya tidak mengatakan jika keputusannya menarik tentara US dari Afganistan itu sekedar melaksanakan keputusan pendahulunya. Agar nampak tegas Biden mengatakan “this the right decision for America” (ini keputusan yang benar untuk Amerika).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *