Digerogoti Oligarki dan Otoritarianisme Korup, Demokrasi Tak Terbendung

Digerogoti Oligarki dan Otoritarianisme Korup, Demokrasi Tak Terbendung
Abdurrahman Syebubakar
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Abdurrahman Syebubakar

Hajinews.id – SOAL demokrasi, sebuah adagium yang hingga kini masih relevan, “Democracy is an evil we cannot do without”. Terjemahan kontekstualnya kira kira, demokrasi adalah sistem yang buruk diantara sistem-sistem lain yang lebih buruk.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Demokrasi bukanlah sistem sempurna dan final, yang sejak kemunculannya di Yunani kuno ribuan tahun silam, mengalami pasang surut. Robert Dhal (1989) mencatat, dalam sejarah perkembangannya, berbagai bentuk demokrasi muncul dan tenggelam.

Kritik dan pandangan negatif terhadap demokrasi sudah ada sejak kelahirannya. Plato dalam “the Republic” mencela demokrasi sebagai “theatherocracy” – ajang permainan dan sandiwara politik kekuasaan para elit politk. Sang filsuf khawatir rakyat lebih banyak digerakkan oleh emosi dan kepentingan jangka pendek daripada rasio dan kepentingan jangka panjang, yang berakibat pada berkuasanya politikus karbitan – pemain sandiwara.

“Democracy never lasts long”. Demokrasi tumbuh, lelah dan akhirnya bunuh diri. Demikian ungkap John Adams. Nada minor tentang demokrasi banyak terdengar dari para cendekiawan terkemuka di era presiden ke 2 Amerika Serikat ini (periode 1800- an), dan generasi intelektual berikutnya.

Lebih jauh, para kritikus kontemporer mendakwa demokrasi bertanggung jawab atas lesunya pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan global selama beberapa dekade terakhir. Milton Friedman, peraih hadiah nobel bidang ekonomi 1971 asal AS, misalnya, menyebut demokrasi sebagai mekanisme politik yang tidak efisien karena kecenderungan irrasionalitas para pemilih. Pandangan serupa juga dipegang Bryan Caplan, ekonom terkemuka, rekan senegara Friedman.

Sebaliknya, diyakini bahwa negara membutuhkan rezim otoriter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya, membantu mengurangi penderitaan rakyat miskin dan meningkatkan kesejahteraan publik. Keyakinan ini banyak dipengaruhi hipotesis Lee, dikaitkan dengan Lee Kuan Yew, pendiri dan mantan Presiden Singapura.

Terlepas dari semua “cerita horor” tentang demokrasi, laju demokratisasi di seluruh dunia mengalami percepatan. Saat ini, lebih dari separuh populasi dunia hidup di bawah naungan demokrasi dengan pelbagai bentuk dan tingkat kedalaman.

Berbagai studi, sejak tahun 1970-an, mengungkap bahwa demokrasi, secara meyakinkan, tampil jauh lebih baik daripada non-demokrasi di sejumlah indikator sosial-ekonomi seperti standar dan usia harapan hidup, angka kematian bayi, gizi buruk dan lain lain.

Saat demokrasi mengalami akselerasi dan pendalaman, Jeffrey Sachs (2005) mencatat terjadinya pengurangan kemiskinan ekstrim baik secara absolut maupun secara proporsional terhadap penduduk dunia antara tahun 1980 dan 2000.

Bahkan di tengah defisit kepercayaan terhadap demokrasi yang dibajak oligarki dan tekanan feodalisme, sistem politik ini unggul telak dalam berbagai hal dibandingkan negara-negara non-demokrasi.

Sebut saja beberapa diantaranya, Norwegia, Denmark, Swedia, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, dan Costa Rica, berada di peringkat tinggi dan sangat tinggi dalam indeks pembangunan manusia, tingkat kebahagian, indeks persepsi korupsi, dan rangking kota paling layak huni (Syebubakar, 2020). Terkecuali Singapore, sepuluh kota paling aman di dunia juga berada negara-negara demokrasi (EIU, 2021).

Ikhwal penanganan Covid-19, kendati di awal pandemi terkesan kewalahan, negara-negara demokrasi menunjukkan tingkat ketahanan yang jauh lebih baik daripada kelompok negara non-demokrasi. Hal ini terungkap dalam The Covid Resilience Ranking (Peringkat Ketahanan Covid) yang dirilis Bloomberg pada 28 Juli 2021.

Dengan keterbukaan data dan informasi serta kesiapan infrastruktur dan tenaga kesehatan, di bawah kepemimpinan demokratis dan kredibel, sejumlah negara demokrasi dapat menyintas gelombang serangan Covid secara terukur. Sistem perlindungan sosial yang solid dan luas, membuat mereka mampu menahan tergerusnya ketahanan sosial dan ekonomi rakyat.

Di sisi lain, beberapa negara seperti Singapura, China, Rusia, dan Arab Saudi di bawah cengkeraman rezim otoriter tampil cukup baik dalam pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia. Namun, tidak ada jaminan jika prestasi segelintir negara ini akan berkelanjutan. Dan yang pasti, negara-negara otokratis ini mengabaikan kebebasan politik, aspek maha penting dan asasi dari kemanusiaan.

Bagaimana dengan demokrasi di Indonesia?

Setelah mengalami gelombang pasang surut sejak awal kemerdekaan, lonceng kematian demokrasi berdentang sangat kencang, terutama sejak presiden Jokowi naik tahta pada 2014.

Negara yang pernah dijuluki “role model” demokrasi di dunia Islam ini, seketika mengalami titik balik, menjadi “malevolent authoritarianism.” Otoritarianisme jahat, yang ditandai dengan watak represif dan korup sekaligus, di bawah kendali oligarki dan tekanan feodalisme.

Pada saat yang sama, terjadi kemerosotan multidimensi, mulai dari lesunya pertumbuhan ekonomi, meluasnya korupsi, stagnasi pembangunan manusia, kemiskinan dan ketimpangan yang makin dalam, anjloknya tingkat kebahagian, hingga penegakan hukum diskriminatif dan ketegangan sosial (Syebubakar 2021).

Dalam rangking ketahanan Covid dari Bloomberg, Indonesia bertengger di peringkat paling bawah (terburuk) diantara 53 negara. Bahkan, menuju jebakan pandemi, ungkap Pandu Riono, Pakar Epidemiologi dari UI. Sementara, Epidemilog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, memprediksi Indonesia akan menjadi negara terakhir yang keluar dari krisis Covid-19.

Dus, secara simptomatis, sakratulmaut demokrasi berhubungan kuat dengan kerusakan di berbagai bidang. Fenomena ini sejalan dengan hipotesis Amartya Sen bahwa ketidakbebasan yang satu mempengaruhi ketidakbebasan yang lain. Dengan kata lain, anti-demokrasi, dalam wujud otoritarianisme korup, bertanggungjawab atas segala sengkarut yang mendera bangsa Indonesia saat ini.

Sebaliknya, dakwaan terhadap demokrasi sebagai penyebab krisis multi-dimensi berjarak cukup jauh dari realitas historis sistem politik, baik di tingkat global maupun di Indonesia.

Tidak hanya gagal dalam menelusuri kondisi obyektif demokrasi versus non-demokrasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, suara minor tentang demokrasi memahami sistem politik ini sebatas “ritus prosedural”, yang identik dengan pemilu lima tahunan.

Padahal, pemilu hanyalah serpihan kecil dari narasi besar demokrasi, yang atributnya bukan saja soal kekuasaan mayoritas. Partisipasi masyarakat, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebhinekaan, kebebasan multidimensi, kedaulatan rakyat, arus informasi bebas, persamaan di depan hukum, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, seluruhnya merupakan “bahan baku” demokrasi.
Esensi demokrasi juga bukan monopoli Barat, kendati “proyek” demokrasi dalam wujud formal kelembagaan memang berasal dari sana, yang uji coba perdananya dilaksanakan di Atena, kemudian direvitalisasi sejak abad 19.

Demikian pula, tegaknya demokrasi tidak ditentukan oleh sekularisme, proyek ideologi Barat yang tertutup dan telah “gagal,” yang meniscayakan pemisahan agama dari kehidupan politik kenegaraan. Faktanya, nyaris tak satupun bangsa barat yang bangunan kenegaraan dan kehidupan masyarakatnya terlepas dari nilai dan tradisi Yudeo-Kristianitas.

Namun, seperti ditulis Reza Aslan dalam bukunya yang tersohor “No god but God” (2011), kesiapan untuk menerima keberagamanlah yang menjadi fondasi demokrasi. Bagi bangsa Indonesia, keberagaman – suku, agama, ras dan antar golongan -merupakan kekayaan yang telah “berhasil” dikelola dengan segala dinamikanya.

Dus, demokrasi, terutama dimensi substantifnya, bukanlah gagasan dan sistem “asing” bagi bangsa Indonesia. Terlebih Pancasila dan UUD45 sarat dengan kandungan nilai-nilai demokrasi substantif, seperti keadilan, kedaulatan rakyat, kesetaraan, dan hak asasi manusia.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan Bung Hatta bahwa setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita cita demokrasi dalam denyut kehidupan bangsa Indonesia, yaitu faham dan tradisi kolektivisme yang berlaku di desa, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi serta persaudaraan antar manusia, dan faham sosialis Barat yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan Bangsa Indonesia.

Dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Kita” (1960), Bung Hatta bernubuat demokrasi yang berurat berakar di dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia tidak dapat dilenyapkan untuk selama lamanya. Demokrasi mungkin tersingkir sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi ia akan muncul kembali dengan tegap dan penuh keinsyafan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *