Hajinews – Kriteria ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) didasarkan pada tugas organisasi yang diamanatkan dalam muktamar mendatang. Aspek kompetensi kepemimpinan harus diletakkan di atas senioritas.
“Memang banyak nama yang sudah beredar. Tapi nanti kita lihat dulu amanahnya apa. Jadi bukan melihat orangnya dulu. Kalau orangnya dulu kan belum tahu amanah (organisasi)-nya seperti apa,” kata Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jember Abdullah Syamsul Arifin.
Ke depan, menurut Abdullah, NU harus menyiapkan program-program yang menjadikan organisasi itu hadir dalam hajat dan kebutuhan warga nahdliyyin, terutama masyarakat Indonesia. “Artinya untuk urusan ideologi, ekonomi, dan isu-isu aktual lainnya yang sekarang jadi hajat hidup orang banyak, NU harus hadir,” katanya.
“Jadi harus mengusung beberapa program di mana pendampingan itu nyata terhadap masyarakat. Advokasi itu nyata. Pembelaan itu nyata terhadap kepentingan umat. Tinggal rumusannya nanti disesuaikan,” kata Abdullah.
Aspek senioritas penting dalam memilih nakhoda NU. “Tapi ada unsur-unsur lain yang diajarkan dalam Islam dalam memilih pemimpin. Kalau kita mengacu pada salat berjemaah, urutannya adalah orang yang paling memiliki kompetensi dan kapabilitas,” kata Abdullah.
Jika kandidat ketua yang ada memiliki kompetensi dan kapabilitas yang sama, menurut Abdullah, acuannya adalah senioritas. “Artinya senioritas masih di bawah kompetensi,” katanya.
Abdullah mencontohkan kisah dua tokoh NU yang berebut tidak menjadi pemimpin, yakni KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri. “Kiai Bisri tidak berkenan (menjadi Rais Am Pengurus Besar NU), karena beliau menganggap Kiai Wahab lebih alim. Tapi Kiai Wahab tidak berkenan karena Kiai Bisri lebih sepuh. Akhirnya yang tidak bisa menolak adalah Kiai Wahab yang berarti didasarkan pada ‘kompetensi’,” kata Abdullah.(dbs)