Pandora Papers, Qorun dan Firaun Versi Kekinian

Pandora Papers
Pandora Papers, Qorun dan Firaun Versi Kekinian
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id Ekonom Indef, Dzulfian Syafrian, menyebut bahwa Pandora Papers yang memuat sejumlah nama dan penguasa untuk menghindari pajak merupakan Firaun dan Qorun versi abad 21.

Pandora Papers ini sebenarnya adalah Qorun dan Firaun di zaman abad 21, di zaman milenial ini,” kata Dzulfian dalam bincang virtual bertajuk “Oligarki dan Pandora Papers” pada pekan ini.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dzulfian menceritakan kisah Qorun dan Firaun yang terjadi di masa silam. Qorun merupakan simbol kapitalisme. Sistem kapitalisme ini tidak akan hidup tanpa akumulasi kapital yang dikumpulkan oleh para orang kaya atau kapitalis.

“Kalau istilah sekarang tuh top 1%, atau orang-orang yang income-nya itu ada di 1%, 1% itu bisa didefinisikan di dunia Global atau dalam konteks negara ya, 1% di negaranya, tergantung konteks dan skup bagaimana kita analisisnya, ” ujar dia.

Sifat alami dan perilaku para kapitalis adalah ingin terus memupuk kekayaannya. Ini sudah terjadi di era Nabi Musa AS. Saat itu, ada seorang laki-laki kaya raya bernama Qorun. “Orang yang gemar mengakumulasi kapital, kekayaan, itu direpresentasikan oleh Qorun,” katanya.

Selain Qorun, ada juga yang memupuk kapital bukan dalam bentuk harta atau perekonomian, namun dalam bentuk kapital politik atau kekuatan atau kekuasaan (power). “Itu kalau di zaman nabi-nabi direpresentasikan oleh Firaun. Jadi ada Qorun dan ada Firaun,” ujarnya.

Dengan demikian, adanya orang-orang kaya atau yang masuk dalam daftar Pandora Papers, ini bukan merupakan fenomena anyar karena sudah terjadi di masa lalu.

“Fenomena ini sudah terlihat jelas itu, bahkan sudah diperingati, ini akan merusak tatanan masyarakat jika Firaun dan Qorun ini terlalu kuat,” katanya.

Menurutnya, Pandora Papers ini menunjukkan seperti itu, yakni adanya penguasa dan orang kaya. “Nah, makanya juga yang paling berbahaya adalah orang kaya menjadi penguasa pula, atau orang penguasa menjadi orang kaya. Jadi mereka menguasai dua kapital sekaligus, yaitu ekonomi kapital, sumber daya ekonomi, mengusai uang dan mereka juga menguasai sumber daya politik, kekuasaan. Ini adalah 2 hal jika disatukan itu sulit sekali untuk dikalahkan,” katanya.

Dzulfian melanjutkan, orang minoritas yang menguasai atau top 1% ini merupakan oligarki. Konteks saat ini, baik di Indonesia maupun negara lain, yakni para orang kaya ingin menjadi politikus atau politikus mau menjadi orang kaya.

“Firaun mau jadi Qorun, Qorun juga mau jadi Firaun. Jadi ini mereka yang awalnya dahulu zaman nabi, mereka dua orang yang berbeda,” katanya.

Saat ini, lanjut Dzulfian, “Firaun” dan “Qorun” bermetamorfosis atau berevolusi menjadi 1 orang. “Mereka berkomplot, bertemulah mereka di surga pajak negara-negara. Mengapa, karena berawal dari kritik terhadap kapitalisme itu sendiri bahwa kapitalisme adalah menumpuknya kekayaan, maka hal ini disetop karena jika ada yang menumpuk kekayaan maka di sisi lain ada yang tidak kebagian, ada yang tersedot bahkan. Tersedot itu dialihkan ke mereka gitu. Jadi ditampung sehingga yang lainnya tidak kebagian,” ujarnya.

Agar hal itu tidak terjadi, maka adanya negara atau state yang berfungsi mengintervensi bahwa sebagian kekayaan yang dimiliki “Qorun” ini harus diambil oleh negara dan dialihkan kepada mereka yang paling membutuhkan.

“Dalam konsep-konsep agama zaman nabi-nabi dahulu bahkan sampai sekarang, itu pun ajaran itu masih diteruskan lewat pajak. Karena itu sudah ada kritik dan cara bagaimana meredistribusi kekayaan Qorun tersebut,” katanya.

Namun “Qorun” dan “Firaun” tidak menerima begitu saja. Mereka kemudian memutar otak agar tidak kehilangan harta maupun kekuasaannya. “Qorun” dan “Firaun” pun berkolaborasi melakukan kongkalikong.

“Ketemulah solusi menciptakan suatu daerah yang dikenal dengan bebas pajak, tax heaven, meletakkan kekayaan mereka di sana. Jadi mereka terbebas dari membayar pajak,” katanya.

Konsekuensinya, ujar Dzulfian, masyarakat miskin atau dhuafa, lemah, dan paling bawah kehilangan haknya, yakni kehilangan mendapatkan redistribusi dari pajak karena negara tidak bisa memungut pajak dari “Qorun” dan “Firaun”.

Yang terjadi di Indonesia saat ini, kata dia, bahwa fraksi terbesar di DPR itu konon katanya adalah fraksi pengusaha. “Itu tadi yang saya bahasakan bahwa yang orang pengusaha mau jadi politik, politik mau jadi pengusaha. Nah, ini akhirnya membahayakan bagi kehidupan sebagian besar orang yang 99% itu karena mereka dikontrol oleh oligarki atau 1% ini,” ujarnya.

Seperti yang disampaikan sebelumnya, ujar Dzulfian, dalam konsep tata negara modern, distribusi kekayaan untuk si miskin, yakni melalui mekanisme penarikan pajak dari orang kaya yang dilakukan oleh negara. Semakin kaya seseorang, dia wajib membayar pajak lebih besar daripada mereka yang miskin, bahkan si miskin itu bebas pajak, atau mereka yang mendapatkan manfaat dari pajak.

“Idealnya seperti itu. Tetapi kan tidak terjadi di Pandora Papers, mereka menghindari pajak, mereka tidak membayar pajak sebagaimana halnya orang miskin. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, sering kali karena pengusaha menjadi penguasa, penguasa menjadi pengusaha, mereka justru mendapatkan manfaat dari pajak berupa pemotongan-pemotongan seperti tax amnesty atau insentif-insentif lainnya. Jadi paradoksnya di sana,” ujarnya. [ gatra ]

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *