Ketika harta menguasai hati, manusia menjadi hamba nafsu serakah. Segala cara dapat dilakukan untuk memiliki harta. Cara halal maupun tidak halal. Semua ditempuh. Tujuannya hanya satu: agar nafsu harta terpenuhi. Tapi saat terpenuhi, keinginan baru menyeruak. Keinginan itu selalu tak terpuaskan. Semakin mendapat harta, semakin orang menjadi kemaruk harta.
Sebaliknya jika hati menguasai harta, maka ada pengendalian diri terhadap harta. Nafsu harta dikendalikan dengan bijaksana. Hati tetap bersih dari keserakahan. Hati bebas dari obsesi memiliki harta sebanyak mungkin. Maka sikap dan perilaku dalam memiliki dan menggunakan harta diatur secara wajar. Tidak berlebihan. Tidak berkekurangan. Tapi selalu memadai dan berkecukupan.
Hati yang menguasai harta selalu damai, tenang, nyaman, bersyukur atas apa yang dimiliki, murah hati dalam berbagi, tidak takut rugi.
Dalam perspektif ajaran Yesus, hati yang penuh kasih itu sumber sukacita dan damai sejahtera. Hati penuh kasih adalah harta terindah. Memilikinya berarti memiliki kebijaksanaan. Hati yang bijaksana membuat hidup dikelola dengan tepat. Kebijaksanaan membawa berkat. Tuhan melimpahkan berkat tak terkira kepada orang yang memiliki hati penuh kasih.
Ia tidak gila harta dan tergila-gila pada harta. Tapi hidupnya dikelilingi oleh harta yang dikaruniakan Tuhan tepat waktu. Selalu ia berkecukupan dan murah hati kepada sesama. Harta yang mengikutinya dikelola dengan bijaksana untuk kebaikan bersama. Yesus memberi teladan dalam hal harta. HatiNya tidak sedikitpun dikuasai harta. HatiNya kaya akan kasih. Maka Ia memiliki segalanya.
Orang yang hatinya dipenuhi kasih akan memiliki segalanya. Kasih itu anugerah Allah. Itulah kekayaan hatinya. Dengan kasih, manusia berhati kasih mampu melampaui segala keinginan dan nafsu harta. Kasih itu membuatnya murah hati tanpa pamrih, rela berbagi tanpa takut rugi, memberi tanpa berkekurangan. Itu ko tidak. [radar]