70 Tahun Kiai Didin Hafidhuddin

70 Tahun Kiai Didin Hafidhuddin
Kiai Didin Hafidhuddin
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Hajinews.id – Tanggal 21 Oktober 2021 sebenarnya ada peristiwa penting dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Hari itu, adalah hari jadi ke-70 tahun, seorang ulama nasional, bernama Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin. Biasanya, oleh banyak tokoh, peringatan atau tasyakkkur usia 70 tahun dirayakan dengan acara spesial.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tapi, hari itu, di kampus UIKA, peringatan 70 tahun Kiai Didin dilakukan agak “terselubung”, berupa peluncuran buku terbarunya berjudul “Membangun Kemandirian Umat: Percikan Pemikiran di Bidang Pendidikan, Ekonomi, Politik, Dakwah, Sosial, dan Budaya.” (Bogor: UIKA, 2021).

Buku setebal 591 halaman ini merupakan kumpulan tulisan Kiai Didin Hafidhuddin di berbagai media. Sejumlah tokoh memberikan kata sambutan, seperti Wakil Presiden Prof. KH Ma’ruf Amin, Wakil Ketua MPR-RI Dr. Hidayat Nurwahid, Tokoh Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin, Rektor IPB Prof. Dr. Arif Satria, dan Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Dr. Adian Husaini.

Dalam pengantarnya, KH Ma’ruf Amin menyatakan, bahwa rekam jejak Kiai Didin dalam bidang ekonomi, politik, dakwah dan pendidikan, telah membuktikan bahwa Kiai Didin telah menjalankan peran keulamaan dengan baik. “Kita memerlukan kader-kader umat seperti beliau, sehingga bisa membawa kemaslahatan yang lebih besar pada umat dan bangsa. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika saya mengkategorikan beliau sebagai ulama muharrik (penggerak),” tulis Kiai Ma’ruf Amin.

Buku yang ditulis oleh Kiai Didin ini memang sangat penting dan mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan umat Islam. Memang, umat Islam bukan umat biasa. Umat Islam adalah “ummatud-da’wah” atau “ummatur-risalah”. Umat Islam mengemban tugas mulia untuk melanjutkan amanah risalah kenabian untuk menegakkan Tauhid dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan penuh rahmat.

Untuk mewujudkan misi yang agung itu, maka umat Islam diperintahkan untuk menjadi umat terbaik (khaira ummah) (QS Ali Imran: 110). Umat Islam juga diperintahkan memiliki sikap “izzah”, tidak merasa rendah diri apalagi menghinakan diri kepada kaum kuffar (QS al-Maidah: 54).

Karena itulah Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad saw agar mendidik generasi sahabat menjadi generasi hebat yang memiliki kekuatan berkali-kali lipat kaum kuffar. (QS Al-Anfal: 65-66). Rasulullah saw mengingatkan para sahabat dan kaum muslimin, bahwa mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dibandingkan mukmin yang lemah.

Hanya dalam waktu 23 tahun, Rasulullah saw telah berhasil mewujudkan perintah Allah untuk mewujudkan “umat terbaik”. Generasi sahabat itu disebut oleh Rasulullah saw sebagai “khairun naas”, sebaik-baik manusia. Generasi inilah yang hanya dalam waktu 5 tahun setelah Rasulullah saw wafat, sudah mampu menaklukkan Romawi dan membangun peradaban unggul di Jerusalem. Hanya dalam waktu 89 tahun setelah peristiwa Hijrah (tahun 622 M), umat Islam sudah memasuki Eropa dan memimpin Andalusia hampir 800 tahun (711-1492 M).

Umat Islam yakin, Rasulullah saw adalah suri tauladan yang terbaik (uswah hasanah). Beliau menjadi teladan bukan hanya dalam soal akhlak dan kehidupan pribadi, tetapi juga teladan dalam kepemimpinan, kehidupan keluarga, pendidikan, perekonomian, kenegaraan, dan sebagainya.

Generasi sahabat yang merupakan manusia-manusia terbaik itu bukanlah spesies yang berbeda dengan generasi kita saat ini. Secara anatomis-fisiologis, mereka juga mausia biasa seperti manusia lainnya. Yang menjadikan mereka berbeda adalah proses pendidikan yang mereka terima. Mereka menjalani proses pendidikan terbaik. Mereka dididik langsung oleh guru terbaik dan juga dengan kurikulum terbaik. Yakni, kurikulum yang langsung dipandu oleh wahyu.

Artikel-artikel dalam buku ini membentuk satu rangkaian gagasan besar untuk membangun atau melahirkan umat yang mandiri. Gagasan besar itu dimulai dari pembentukan pribadi-pribadi muslim yang memiliki keimanan yang kokoh dan akhlak mulia. Memang sudah seharusnya seperti itu. Kebangkitan umat harus dimulai dari perubahan dalam diri umat Islam itu sendiri. Perubahan itu dimulai dari jiwa insan, melalui proses tazkiyyatun nafs.

Akhlak mulia adalah refleksi iman yang sempurna. Rasulullah saw bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.” Perbaikan akhlak juga harus dimulai dari proses pembersihan jiwa. Hanya yang membersihkan jiwanya yang akan sukses. (QS al-Syams: 9-10). Selanjutnya, percikan gagasan kemandirian umat itu bisa disimak dalam artikel-artikel yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan.

Hanya saja, yang lebih penting dari buku ini, bukan gagasannya, tetapi penulisnya adalah seorang cendekiawan dan ulama pejuang yang sudah sangat dikenal luas pemikiran, kepribadian, dan kiprahnya dalam kancah dakwah nasional.

Karena itu, apa yang tertulis dalam buku ini bukan sekedar ilmu, tetapi juga percikan-pericikan hikmah yang diraih dari keikhlasan, ketekunan, dan kesungguhan dalam perjuangan yang sangat panjang. Hikmah adalah pemandu umat Islam agar mereka bebas dari kesalahan dalam menunaikan kehidupan dan perjuangan.

Sebagai pencari ilmu yang sudah belajar kepada Kiai Didin sejak tahun 1984, saya bersyukur diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk terus belajar kepada beliau, hingga saat ini. Kita doakan, di usianya yang ke-70 tahun, Kiai Didin Hafidhuddin terus diberikan kesehatan lahir-batin, sejahtera jiwa raga, agar terus bisa membimbing umat, menuju kepada kemandirian dan kemenangan. Aamiin. (Depok, 23 Oktober 2021).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *