Kenapa: Trial By The Press Kepada Islam ?

Trial By The Press Kepada Islam
Trial By The Press Kepada Islam
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh : Abdurrahman Lubis, Pemerhati Keislaman

Hajinews.id – Suatu seminar jurnalistik Islami di gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor, Jl Padjajaran No 10 Kota Bogor. Fadhilah Zein hadir sebagai pembicara.
Seminar digagas oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Bogor Raya bekerjasama dengan Bidik Global Foundation, Fadhil pemateri sesuai judul buku karyanya, “Kezaliman Media Terhadap Umat Islam“.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Apakah kezaliman media terhadap umat Islam. Ia contohkan dalam pemberitaan kasus terorisme di Indonesia.

“Metro TV pernah menuduh Rohani Islam (Rohis) di sekolah dan universitas sebagai sarang teroris baru pada 5 September 2012. Sementara demonstrasi massif di kota-kota besar menolak pemberitaan Metro TV “Rohis Sarang Teroris” pada Minggu, 23 September 2012, tidak diliput oleh koran nasional. Hanya Republika yang menaikkan berita foto di halaman belakang,” ungkap Fadhil.

Trial by the press, yang paling kasat mata, yakni issu Covid-19 yang melanda umat Islam, khususnya jamaah tabligh.
Hanya ROL (Republika Online) yang jujur dan minta maaf atas tuduhan positif Covid-19 terhadap jamaah di mesjid Jami Kebon Jeruk.
Media mainstrem sambil goyang kaki menikmati “angpau” kemunafikannya jadi “pelacur informasi” yang lebih hina dari pelacur sesungguhnya yang menjajakan diri di pinggir jalan.

Dalam pemberitaan kasus terorisme, Fadhil mengutip pendapat Sudaryono Achmad yang mengatakan bahwa ekslusivitas yang ditayangkan TVOne dan Metro TV, bukan sebuah prestasi jurnalisme dalam melakukan investigasi, tetapi hanya sekedar kemampuan akses ke aparat kepolisian.

Contoh lain misalnya, pemberitaan media terhadap gerakan Islam seperti Front Pembela Islam (FPI). Pemberitaan kedatangan petinggi FPI ke Kalimantan Tengah untuk merayakan Tabligh Akbar dan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 11 Februari 2012. Saat itu, media massa mainstream menggiring opini bahwa FPI ditolak di seluruh wilayah di Indonesia.

Selain itu, Fadhil juga mengungkap bagaimana media dan gerakan Islamphobia dilakukan di luar negeri. Menurutnya gerakan Islamphobia itu seperti ada industri yang menciptakannya.

Dengan penjelasan Fadhil tersebut, para peserta seminar mendapatkan informasi akurat sekaligus bukti bagaimana peranan media dalam memusuhi Islam. Selain Fadhil, hadir juga narasumber lain yaitu Munarman selaku Panglima Aksi Bela Islam yang memberikan materi tentang propaganda media dan Syaiful Falah dari Suara Islam yang memberikan materi tentang perjuangan umat Islam melalui media.

Ingat berita Covid-19 yang melanda jamaah tabligh ? Tak ada yang membantah, kecuali ROL (Republika On Line) yang minta konfirmasi dan menyediakan hak jawab, sesuai Kode Etik Jurnalistik PWI. Terakhir Maulana Saad DB, PEMIMPIN jamaah di Nizamuddin India, sempat difitnah pada sidang Pengadilan Tinggi Delhi, dengan tuduhan berlapis, penyebar virus Corona, penyalahgunaan visa jamaah tabligh, dari visa turis ke tabligh, memperkaya diri dan korupsi. Tapi pengadilan bebaskan Maulana Saad DB sebab pengacaranya, membandingkan sumbangan kemanusiaan, lebih tinggi dari tuduhan-tuduhan tak terbukti.

Maulana Saad DB dibebaskan dari segala tuduhan. Bahkan dianggap sebagai penyelamat kemanusiaan,
karena telah mendonorkan darahnya secara plasma kepada para koraban Covid-19 dan sembuh, bahkan seluruh keluarga dan para dai (Jamaah Tabligh) dari Nizamuddin dan mesjid Kebun Jeruk Jakarta. Telah mendonorkan darah. PMI, RSUP dan RSPAD, mengimbau jamaah Kebon Jeruk untuk mendonorkan darah.

Nah, dibanding sumbangsih Maulana Saad DB. Apalagi selama berpuluh tahun beliau mengajak manusia untuk dakwah. Taat kepada perintah Allah, hidup cara Nabi Saw. Banyak hamba Allah yang kembali kepada iman, makmurnya mesjid dan tersebarnya syiar dan amal Islam ke seluruh dunia, apakah jasa-jasa beliau tak perlu kita pandang ?

Separah itu kah “hati nurani” Pers kita.? Ataukah sudah terjadi degradasi moral ? Padahal dalam pasal 7 Kode Etik Jurnalistik PWI disebutkan, pentaatan Kode Etik Jurnalistik PWI sangat bergantung kepada hati nurani setiap wartawan Indonesia. Kalau saya (penulis) menafsirkan
hati nurani adalah “ketakwaan” wartawan yang bersangkutan.

Belum lama, pers diuji lagi idealismenya dalam syahidnya 6 “pahlawan” FPI yang syahid dihabisi polisi.

Peran Zurriyat Nabi

Untuk diketahui, Maulana Saad DB pemimpin Jamaah Tabligh dunia di India, adalah keturunan ke 36 dari Abu Bakar Siddiq Ra, Sahabat dan mertua Rasulullah Saw, (Aisyah R.Anha adalah putri Abu Bakar Siddiq yang isteri Nabi Saw.) Sedang IB HRS adalah keturunan ke 38 dari Rasulullah Saw. Jadi, apakah semestinya HRS diperlakukan khusus dan dimuliakan karena nasab dan pekerjaan/perjuangannya untuk menegakkan Dien Allah, yaitu kebenaran ?

Apakah pers masih menggunakan wajah aslinya yang idealis, sebagai “Nabi” alias “Pembawa Berita” ?

Memang, masalahnya semua orang merasa berhak untuk bicara dan ambil keputusan. Medsos dan Mainstrem, dijadikan handalan. Semua orang secara bebas menjadi “wartawan” cukup satu klikan di HP nya.

Cuma ada yang tidak atau belum dapat “diraba”, dari mana pusat pengendalian opini, sehingga panik dan euphoria, ini, demikian mencekam dan menakutkan.

Terutama di era Corona….karena Corona pun sudah jadi “komoditas politik”, padahal tak ditetahui di mana rimbanya.

Buktinya pemerintah Itali, Jerman,Inggeris dan Prancis, sudah membebaskan rakyatnya dari masker karena tidak percaya lagi dengan issu Corona. Membuat hancurnya ekonomi dan sosial negeri itu. Kematian 6 orang syahid di tangan para jagal lebih kongkrit dari pada kematian sebab Corona. Itu kebodohan dan dosa kita sendiri, yang telah menjadikan Corona sebagai “senjata makan tuan”. Bayangkan, berapa ribu acara pernikahan di waktu bersamaan di seluruh Indonesia, yang juga membuat kerumunan yang sama, kenapa mereka tak ditangkap dan dikasuskan, dipidanakan, kenapa HRS saja yang dikejar ? Lagi pula polisi pasti kehabisan energi dan biaya kalau mau mempidanakan semua kerumunan. Ramainya kerumunan lima waktu di mesjid-mesjid, setiap waktu di pasar-pasar.

Nah, di sinilah peran Pers. Dalam kaidah jurnalistik, Pers dapat menjadi the fourth estate (pilar ke empat, setelah eksekutif, legislatif dan yudukatif).

Asal pers mempertahankan eksistensi independensinya.

Sehingga Pers dapat menggunakan power-nya, untuk mengembalikan opini kepada yang ideal, yang semestinya.

Di negara penganut demokrasi liberal, pers bahkan bisa mempengaruhi dan menggulingkan kekuasaan yang otoriter.

Ingat, fungsi Pers sebagai pemberita (bahasa arabnya “Nabi” dan control sosial, tak terjebak untuk “pengarahan opini” apalagi “penguasaan opini”, yang, merugikan sepihak, menguntungkan

lain pihak.

Apapun alasannya, Pers harus tetap berprinsip “biar miskin asal sombong”.

Maksudnya, walau tak dapat “angpau”, Pers tetap tidak mau “menjual diri” untuk sebuah kecurangan opini.

Itulah idealisme Pers.

Dalam konteks ini kita masih melihat, Pers ternyata “terbelah dua”, yang “tergadai” dan yang “masih idealis”.

Apa yang harus kita lakukan ? Ya…paling-paling mengelus dada sembari ingat pernyataan Mochtar Loebis, dalam buku, “Manusia Indonesia”. Sifat “politik belah bambu”, pejabat, (mengangkat ke atas dan menginjak ke bawah). Mengambil keuntungan pribadi atau kelompok, meski berakibat penderitaan rakyat.

“Koteka di Wamena dilarang, tapi strip tease (tarian telanjang) di Mangga Besar diizinkan”, kata Mochtar Loebis.

Saya dan teman-teman Wartawan Istana pernah bersama Ibu Nani Sudarsono, waktu itu Menteri Sosial, kunjungan dan operasi koteka di Wamena. Setiap orang dikasi baju dan celana masing-masing, 3 pasang.

Baju itu dipakai sampai lusuh.

Setelah itu mereka telanjang lagi, pakai koteka lagi.

Ternyata belakangan ada protes dari organisasi turis dunia, tak akan mengirim turis lagi ke Papua. Itu artinya income Departenen Pariwisata berkurang.

Kenapa ? Usut punya usut, ternyata karena koteka dihapuskan.

Akhirnya, hingga kini koteka masih eksis di Papua.

Sikap ambivalens, mendua alias munafik, inilah, yang membuat rusak satu negara ataupun bangsa.

Sebagai salah seorang peserta Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas, sebagai embrio Lemhanas), saya ikut khawatir,

kalau Pers sudah tergadai, idealisme tinggal di atas kertas.

Sebuah negara atau kerajaan akan hancur jika pejuang idealismenya “siluman pecundang”.

Ummat jadi korban.

Dari dulu, kalau wajah Pers “mendua”, maka ummat pasti “terbelah”.

مَّا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ ۚ

Allah sekali-kali tak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam satu rongga dadanya. (QS al Ahzab 4).

Dua hati dalam satu rongga, itu tak boleh terjadi. Dua cinta satu hati apa lagi. Hanya kepada Allah SWT saja cintanya. Jadi sudah “kodrat hati”, tak boleh dua cinta. Pers yang masih punya idealisme atau Pers idealis, pun tak boleh membagi cintanya, apalagi untuk setumpuk angpau. Baik dari nara sumber maupun dari taipan. Para cukong politik.

Na’udzubillahi midzaalik….

Ummat ini mau dibawa ke mana ?

Ampun yaa Allah…

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *