Dianggap Legalkan Sek* Bebas, PP Muhammadiyah Minta Permendikbudristek 30/2021 Dicabut

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews.id – Muhammadiyah memandang Permendikbudristek 30/21 tersebut justru bisa melegalkan sek* bebas di kampus. Sebab, ada dua hal yang dinilai mengandung masalah.

Menurut Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Lincolin Arsyad MSc PhD, dua masalah tersebut berkaitan dengan aspek formil dan materiil.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Untuk masalah formil, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Tidak terpenuhinya asas keterbukaan tersebut terjadi karena pihak-pihak yang terkait dengan materi Permendikbudristek itu tidak dilibatkan secara luas, utuh, dan minimnya informasi dalam setiap tahapan pembentukan,” ujar Prof Lincolin dalam keterangan resminya, Senin (8/11/2021).

Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan.

Berikutnya, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 juga tidak tertib materi muatan. Terdapat dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang melampaui kewenangan.

Pertama, Permendikbudristek itu mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, seperti mengatur norma pelanggaran sek*ual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional.

“Kedua, Permendikbudristek itu mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi (Vide Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) melalui pembentukan “Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Sek*ual” (Vide Pasal 23 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021),” tegasnya.

Adapun masalah materiil terbagi atas lima hal. Pertama, pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma tentang kekerasan sek*ual dengan basis
“ketimpangan relasi kuasa” mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor, padahal sejatinya multikausa. Adapun bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi “mu’asyarah bil-ma’ruf” (relasi kebaikan) berbasis ahlak mulia.

Kedua, perumusan norma kekerasan sek*ual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 juga mendegradasi substansi kekerasan sek*ual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”. Dalam artian, malah dapat melegalkan sek* bebas.

“Rumusan norma kekerasan sek*ual yang diatur dalam Pasal 5 Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 juga menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan sek* bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas sek*ual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” papar Prof Licolin.

Selanjutnya, pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yakni, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Terakhir, sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan sek*ual dalam Pasal 19 Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak proporsional, berlebihan, dan represif.

Muhammadiyah berpandangan, seyogianya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan.

“Karena itu, berdasarkan catatan terhadap masalah Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, Muhammadiyah mengajukan tiga rekomendasi,” katanya.

Pertama, Kemendikbudristek dalam menyusun kebijakan dan regulasi sebaiknya lebih akomodatif terhadap publik terutama berbagai unsur penyelenggara Pendidikan Tinggi, serta memperhatikan tertib asas, dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hal ini dimaksudkan agar pembentukan peraturan menteri memenuhi asas keterbukaan dan materi muatan sebagaimana ketentuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan lebih akomodatif terhadap pemenuhan publik, terutama para pemangku kepentingan, substansi peraturan menteri mendapatkan perspektif dari berbagai masyarakat (publik) serta tidak menemui kendala/hambatan apabila diimplementasikan. Standar pembentukan peraturan menteri sebaiknya ada tahapan public hearing, focus group discussion, dialog, dengar pendapat, jajak pendapat/survei, atau mekanisme lain yang pada prinsipnya bisa melibatkan dan mengakomodasi publik (para pemangku kepentingan terkait).

Kedua, Kemendikbudristek sebaiknya merumuskan kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Ketiga, Kemendikbudristek sebaiknya mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 agar perumusan peraturan sesuai dengan ketentuan formil pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara materil tidak terdapat norma yang bertentangan dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tegas Prof Lincolin.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *